Rina Tresna Sari,S.Pdi*: Menuai Predikat Terbaik Di Balik Tujuan I’tikaf

Berita390 Views
Rina Tresna Sari,S.Pdi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Setiap tiba bulan Ramadhan secara keseluruhan, Umat Islam di dunia menyambutnya dengan suka cita yang luar biasa. Pasalnya bulan Ramadhan ini, bukan saja bulan yang penuh rahmah, barokah dan kebaikan tapi memang karunia besar yang Allah berikan kepada umat ini. 
Karenanya untuk menyambut bulan mulia ini, umat muslim melakukannya dengan  bermacam cara. Respons tertinggi kaum muslimin adalah menyambutnya dengan rasa syukur yaitu menggunakan nikmat tersebut secara maksimal dalam ridhaNya. 
Salah satu bentuk mensyukuri nikmat itu adalah dengan mengisi 10 malam terakhir di bulan ramadahan dengan amalan yang secara kuat disunnahkan atau dalam bahasa agama menjadi “sunnah muakkadah” yaitu  i’tikaf selama 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Secara bahasa i’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah karena Allah SWT. Defenisi sederhana ini sesungguhnya dapat disimpulkan sebagai “mujadah” dan fokus penuh dalam beribadah kepada Allah selama hari-hari tersebut. 
Rasulullah SAW menyunnahkan kepada umatnya beri’tikaf selama sepuluh hari. Beliau pun melakukan hal yang sama bahkan di akhir-akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. 
Dari apa yang  Rasulullah SAW contohkan  sendiri dapat  dipahami bahwa itikaf ini bertujuan untuk melakukan konsentrasi penuh dalam melakukan mujahadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah melalui ragam ibadah selama 10 hari terakhir Ramadhan. 
Lalu apa saja tujuan (goals) dari i’tikaf yang kita lakukan? 
Pertama, i’tikaf bertujuan membangun kedekatan dan kebersamaan dengan Allah SWT.  Dengan cara ini akan tumbuh rasa kebersamaan dengan Allah (ma’iyyatullah) dan dengannya seorang hamba akan menjadi kuat, damai, tenteram, tidak mudah goyah oleh goncangan hidup duniawi. 
Kedua, i’tikaf bertujuan membangun komitmen pengabdian (ibadah) dengan segala jiwa dan hati. Di saat inilah dunia untuk sementara dikesampingkan dang yang ada hanya jiwa ubudiyah kepada Allah SWT. I’tikaf yang juga dapat dikatakan “mengurung diri” di masjid-masjid itu memang bertujuan agar Ibadah-ibadah lebih fokus tanpa gangguan apapun. 
Ketiga, i’tikaf juga dimaksudkan bertafakkur. Dalam agama Islam tafakkur menjadi sangat fundamental dalam proses menemukan “hidayah”. Alquran yang turun pertama kali dengan perintah khusus “Iqra’” memaknai urgensi bertafakkur sebagai proses menemukan kebenaran itu.  Karenanya i’tikaf menjadi moment terbaik untuk mempertajam pemikiran, tidak saja pemikiran akal tapi yang terpenting adalah pemikiran batin (jiwa dan hati). 
Keempat, i’tikaf juga dimaksudkan sebagai masa-masa introspeksi diri. Dalam bahasa agama melakukan introspeksi ini dikenal dengan isitlah “muhasabah” atau melakukan hitung-hitungan terhadap diri sendiri. Jika tafakkur berakhir dengan hidayah, muhasabah ditujukan untuk menemukan diri kita sendiri. Dan semakin kita kenal diri kita sendiri, akan kita dapati segala kekurangan dan kenaifan itu. Sehingga tujuan terutama dari muhasabah ini adalah istighfar atau memohon ampunan Allah SWT.
Kelima, i’tikaf juga menjadi momentum untuk menemukan jati diri manusia. Ketika berbicara tentang jati diri maka yang pertama akan ditemukan adalah nurani kemanusiaan itu sendiri. Nurani itulah yang biasa disebut “kata hati” yang tidak akan pernah melenceng. Itulah “fitrah” manusia yang “laa tabdiila” (tak akan berubah). Karenanya dalam dunia yang penuh kepura-puraan ini, menemukan kembali fitrah itu menjadi sebuah tuntutan. 
Keenam, tentu i’tikaf juga tidak dimaksudkan sepenuhnya mengabaikan tanggung jawab kekhilafahan manusia. Yaitu tanggung jawab untuk membangun dunia yang lebih baik (thoyyibah) dalam naungan Allah, di mana semua hukum-hukum Allah diterapkan sehingga semua manusia bahkan semua makhluk Allah dapat hidup tenang, tentram dan bahagia. 
I’tikaf seperti inilah yang akan membawa predikat terbaik dan mendorong kita menjadi Khoiru ummah. Apalagi bahwa di malam-malam inilah memang diturunkannya Alquran sebagai sumber petunjuk dan standar hidup bagi manusia yang apabila diterapkan akan membawa manusia pada derajat terbaik.
Semua yang disebutkan di atas hanya akan terwujud ketika Alquran menjadi THE WAY OF LIFE, pedoman hidup. Malam diturunkannya Alquran itu seolah menyimpulkan keseluruhan hidup manusia. Maka sangat wajar jika nilainya jauh lebih tinggi ketimbang seribu bulan.
Semoga kita termasuk hamba-hambaNya yang mampu bersyukur dengan hari-hari terakhir Ramadan. Bukan sebaliknya menjadi semakin tidak sadar akan makna dan nilai yang ada di hari-hari terakhir ini. Semoga![]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment