Rini Astutik*: Politik Dinasti, Bukti Kerusakan Demokrasi

Opini600 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini media sosial ramai memberitakan tentang politik dinasti, aroma tak sedap pun mewarnai kanca perpolitikan tanah air. Suhu politik kian memanas serta dibumbui adanya persaingan antar parpol dan penguasa elit tak bisa disembunyikan lagi. Bak bola salju yang menggelinding liar makin lama makin membesar. Inilah yang menjadi perbincangan hangat saat penguasa nomor satu bangsa ini sedang membangun politik dinasti.

Dilansir dari (kompas.com18/07/2020) menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal ini terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakubuming Raka, yang maju dalam pemilihan walikota Solo 2020.

Gibran berpasangan dengan Teguh Prakoso saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat jokowi bernaung. Selain Gibran, menantu Jokowi, Boby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju dipemilihan wali kota Medan 2020.

Ujang juga menilai pencalonan keluarga besar presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Sebab, presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, hukum, finansial dan lain-lain.

Ujang menambahkan, indonesia saat ini memang sedang diwarnai oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya dilevel Nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah, ‘’dan ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik.

Politik dinasti sebetulnya bukan cerita baru dalam kanca perpolitikan demokrasi saat ini. Sudah berlangsung sejak a masa orde baru publik telah disuguhkan dengan politik dinasti.

Setelah Reformasi, politik dinasti tetap berlangsung salah satunya diperankan oleh Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten periode 2012-2014, Ratu Atut beserta keluarga memegang kendali kekeuasaan dan jabatan di pemprov Banten. Namun kekeuasaannya berakhir manakala dia tersandung kasus jual beli jabatan dan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.

Bahkan di tingkat Nasional, kita melihat regenerasi di level ketua umum. Seperti partai PDI-P sejak memenangkan pemilu 1999 partai ini tidak pernah berganti pimpinan.

Bahkan saat kembali memenangkan kontestasi pada pemilu 2019 lalu, justru menempatkan putri sang ketua umum sebagai ketua DPR RI (Samarindapos.com12/07/2020).
Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini masih berlaku politik oligarki di negeri ini.

Oligarki merupakan suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan politik dipegang oleh sebuah kelompak elit kecil yang berasal dari masyarakat, hal ini dapat dibedakan dari keluarga, kekayaan serta dukungan kekuatan militernya.

Politik oligarki semakin diperkuat dengan adanya dinasti politik. Dinasti politik adalah kekuasaan secara turun temurun yang dilakukan dalam lingkaran keluarga yang masih ada keterikatan hubungan darah, yang mana tujuannya untuk mendapatkan dan mampertahankan kekuasaan.

Dengan modal jabatan, kekuasaan dan berkantong tebal menjadi patokan elit politik yang memegang kendali kekuasaan tertinggi.

Hingga hanya dengan cara memboyong keluarganyalah cara untuk mampu menduduki tambuk kursi pemerintahan atau kekuasaan.
Selain itut menurut pakar analis Geo politik Hendrajit berpendapat, oligarki politik dalam sistem pemerintahan berdampak pada sektor ekonomi.

Indikator itu bisa dilihat dari kebijakan ekonomi yang lahir dari oligarki politik sangat berbahaya. Maka dari itu, setiap regulasi yang keluar dari legislatif perlu diawasi. Karena berpengaruh pada implementasi kebijakan itu sendiri(Gatra.com19/10/2019).

Memahami dari arti politik oligarki dan dinasti politik tersebut maka bisa dipastikan bahwa politik oligarki yang dibangun parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah bentuk keniscayaan dalam demokrasi.

Sebab sudah menjadi watak dari demokrasi yaitu meniscayakan kemenangan didapat melaului suara terbanyak. Yang bisa diraih asalkan memiliki modal dana yang cukup besar, ketenaran serta pengaruh jabatan dan kekuasaan yang dimiliki.

Oleh karena itu politik dinasti dalam sistem demokrasi merupakan hasil mutlak, dan ini sangat berbahaya. Sistem ini wajib ditolak atau dibuang karena akan menimbukan banyak sekali kemudhorotan.

Karena orentasinya hanyalah dunia, berbagai cara dan upayapun akan dilakukan guna mendapatkan jabatan dan kekuasaan. karena dengan memiliki jabatan dan kekuasaan seseorang akan dengan mudah menetapkan suatu kebijakan, yang tujuannya untuk mengejar kebahagiaan duniawi. Tanpa lagi memikirkan apakah itu sesuai dengan hukum syara atau justru melanggarnya.

Dilain sisi bayang-bayang oligarki pun siap mengancam kesejahteraan rakyat, akibat kebijakan yang tak rasional. Padahal berdasarkan konstitusi negara, sebuah pemerintahan dibentuk untuk melindungi, melayani dan menyejahterahkan rakyat. Bahkan demokratisasi politik itu sendiri menghendaki pembangunan kesejahteraan sosial oleh rakyat, dari rakyat untuk rakyat.

Namun itu hanyalah slogan semata tanpa bisa terealisasi dalam kehidupan nyata. Faktanya justru kesejahteraan hanyalah bagi mereka yang memegang kendali kekuasaan.

Ini merupakan bukti kongkrit bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang utopis. Yang tak melahirkan kebijakan yang tidak benar-benar diperuntukan oleh rakyat.

Tentu hal ini berbeda dalam sistem pemerintahan Islam yang meniscayakan bahwa yang berhak melegalisasi atau menetapkan undang-undang adalah Allah SWT bukan manusia. Maka jika dipandang dalam sistem demokrasi saat ini penetapan hukum yang ditetapkan oleh manusia merupakan suatu tindak kejahatan yang cukup besar.

Karena sejatinya demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang berbeda demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat aturan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa Allah SWT yang menciptakan manusia dengan lengkap dengan aturanNya.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Islam berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan demokrasi. Dimana dalam sistem demokrasi meniscayakan terjadinya politik dinasti sedangkan dalam Islam untuk memilih seorang pemimpin (kholifah) melalui proses pembaiatan yang dipilih langsung oleh umat.

Dalam islam seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam ketaatan serta mampu menerapkan hukum -hukum Allah sebagai acuhan dalam melaksanakan kepemimpinanya. Sebab, untuk menjadi seorang pemimpin didalam Islam tidaklah mudah , karena memikul beban berat dan tanggung jawab terhadap urusan umat.
Rasulullah SAW bersabda “Imam(kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya”.

Kepemimpinan menurut sabda Rasulullah SAW ialah sebuah konsep periaayahan terhadap urusan umat yang tidak hanya berorientasi dunia tetapi juga diakhirat.

Oleh karena itu, sistem pemerintahan Islam (khilafah) sangat berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi, dimana dalam sistem demokrasi kepemimpinan hanya bertujuan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan demi sebuah kepentingan segelintir kelompok dan golongan, sedangkan dalam Islam kepemimpinan diciptakan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi umat agar tercipta kehidupan yang Rahmatan lil A’laamiin.
Lalu masihkah kita berharap pada kepemimpinan ala-ala demokrasi yang terbukti banyak sekali memberikan kerusakan dan kemudhorotan bagi kehidupan kita?. Wallahu A’lam Bishowabh.[]

 

Comment