Shafayasmin Salsabila*: Fenomena Generasi Mati Rasa

Opini480 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Serangkaian serangan bertubi mengarah kepada bangunan keluarga. Anak-anak pun dibidik. Generasi muda dalam bahaya. Dapat kita saksikan di layar kaca, juga tersaji dalam berbagai media, kasus seputar anak.

Sampai detik ini, anak kerap menjadi korban, bahkan tak jarang menjadi aktor tindakan kriminal. Bangunan rumah tidak lagi mampu melindungi mereka dari ancaman dan agal menghadirkan keselamatan.

Lihatlah realita yang menggambarkan kondisi itu. Pada kamis sore (5/3), nyawa balita tak berdosa melayang di tangan NF, seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Sisi feminimnya tidak menyurutkan nafsu untuk membunuh. Rasa tak tega dan iba membusuk lama, digantikan oleh kesenangan di setiap momen penyiksaan.

Urat takwa putus bersama keimanan yang tandus. Setelah puas membunuh, gadis belia ini dengan tenang melaporkan dirinya sendiri kepada polisi tanpa keraguan dan rasa bersalah.

Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, tindakan sadis yang dilakukan oleh pelaku, mengindikasikan adanya gangguan mental dan jiwa. Kemungkinan lainnya dari kesalahan pola asuh dan kurangnya perhatian orangtua terhadap tumbuh kembangnya. Meskipun menurut pengakuan pelaku, pembunuhan tersebut terinspirasi dari beberapa film horor kesukaanya. (Liputan6.com, 12/5)

Publik dibuat heran dan tak habis pikir bagaimana bisa remaja mungil berwajah innocent, sekejap berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Sebagian menghujat sebagian lagi berempati, karena pelaku sebenarnya juga korban dari rapuhnya bangunan keluarga. Ada apa di balik kejadian luar biasa ini?

Tingah laku seseorang dipengaruhi oleh pemahamannya. Sedang pemahaman dibentuk oleh pemikiran demi pemikiran yang berjejalan atau dijejalkan sehari-hari.

Singkatnya perilaku seseorang, baik terpuji atau pun tercela, lahir dari isi kepalanya. Lantas dari mana isi kepala berasal? Berangkat dari sinilah, sebuah sistem memiliki andil besar.

Sekulerisme menjadi nyawa bagi sistem kapitalis yang bercokol di negeri mayoritas Muslim ini. Membius akal sehat, dan mengikis iman. Baik anak remaja hingga orang tua tidak bisa terlepas begitu saja dari jeratannya. Kerangka berpikir yang diimpor dari Barat, memaksa setiap individu Muslim menanggalkan identitasnya sebagai hamba penurut.

Allah yang diyakini sebagai Pencipta, disembah hanya pada saat ibadah ritual semata. Standar agama tidak boleh hadir mengatur aktivitas sehari-hari, baik di rumah, sekolah, kantor, juga di dalam gedung DPR, pun istana negara.

Inilah sekulerisme sejati, pemisahan agama dari berbagai level kehidupan, mulai di level keluarga, masyarakat hingga negara. Jadilah ketiga unsur tadi kering dari tuntunan agama.

Negara yang terpapar oleh virus sekulerisme akan mengejawantahkannya dalam aturan perundang-undangan. Lalu menginfeksi masyarakat dan menyusup masuk menggerogoti bingkai keluarga. Mengisi kepala umat dengan nilai nilai rusak, semacam toxic. Di antaranya membengkokkan akidah dan menyesatkan arah pandang kehidupan umat.

Gaya hidup liberal menjadi pilihan. Dalam lingkup keluarga, fungsi suami dan istri pun dirusak. Munculah problematika pelik semacam KDRT, perselingkuhan, tukar pasangan, jual beli manusia, broken home, inses, stunting, sampai bunuh membunuh di antara anggota keluarga.

Keyakinan kepada Allah, tidak lantas mengabdikan seluruh waktu hidup di atas ketundukan. Sebaliknya, hawa nafsu yang disembah. Bukan Allah yang diagungkan tapi uang, harta, jabatan dsb.

Tidak sadar posisi, sebaliknya menggeser posisi Allah sebagai Asy- syari’ (yang berhak membuat hukum), lalu digantikan dengan akal.

Jumawa, menganggap urusan manusia dapat diselesaikan dengan kejeniusan. Dari sini lahirlah kebijakan-kebijakan congkak, melanggar batas langit. Tidak ada penjagaan atas akidah umat. Dari sinilah lahirlah generasi mati rasa.

Generasi mati rasa ini, adalah generasi yang sudah tidak memiliki getaran lagi terhadap Sang Pencipta. Memandang ringan dosa, seumpama lalat di hidung. Mudah ditepis oleh tangan. Limbung dengan hidupnya.

Orientasi kebahagiaan sebatas kepada terpenuhinya kebutuhan jasmani dan terpuaskannya naluri, semata mengejar kesenangan duniawi. Maka tak aneh, saat seorang anak kurang merasa diperhatikan, ia akan mencari sendiri penyalurannya.

Maka pada titik ini, pembekalan agama dipandang amat penting dan genting.

Islam, adalah jalan hidup menuju keselamatan dan kebahagiaan. Ajarannya tersaji sempurna dibawakan melalui Rasul yang mulia.

Mengajak berpikir, agar manusia taat beragama dengan mengawali keimanannya melalui pengamatan dan pengumpulan bukti-bukti. Bukan sebatas doktrin, dogma ataupun warisan orangtua.

Keimanan yang matang akan membawanya pada pandangan jernih. Bahwa dunia adalah medan pembuktian iman. Menjalani hidup dalam koridor dan batas yang ditetapkan Alquran. Melanggarnya berimbas sengsara dunia akhirat. Halal haram menjadi standar sebelum memilih aktivitas. Ridho Allah menjadi tujuan.

Generasi Islam, tidak akan bingung menerjemahkan kebahagiaan. Selagi ada pahala di situ ada bahagia. Karena pahala artinya balasan sempurna. Diberikannya di surga. Nikmat surga selamanya.

Inilah yang dinamakan kemenangan agung. Saat seorang hamba pulang menghadap Allah Ta’ala dengan hasil perjuangan menegakkan agama dengan predikat “Summa Cum Laude” atau an nafsu al muthmainnah.

Dunia tempatnya berkarya, bukan waktunya berleha-leha, apalagi berenang-senang dengan dosa. Kelak pasti wafat dan dihisab. Amal baik dan amal buruk akan ada balasannya. Jika sepanjang hidup komitmen memegang agama, maka akan mudah akhiratnya.

Paradigma berpikir seperti ini akan dapat menghidupkan hati yang hampir mati. Tidak lagi ambigu memaknai bahagia. Remaja bermental sekuat baja, tahan banting dan cuaca akan terwujud.

Namun, sekumpulan pemikiran ini, hanya akan diadaptasi oleh negara dengan sistem yang ramah iman dan nantinya menjadi dasar dan memagari keberlangsungan negara dan ditularkan kepada setiap keluarga, memberikan corak khas pada masyarakatnya.

Menciptakan kedamaian, kesejahteraan dan menjadi mercusuar dunia. Tentu negara dengan visi besar, bukan berdiri di atas tumpukan utang dan dominasi negara besar. Hanya negara yang siap berkibar dunia akhirat saja, yang berani memilih aturan Allah.

Dari negara yang tidak terpapar sekulerisme inilah akan lahir generasi tangguh. Keluarga yang utuh, patuh pada peran dan fungsi masing-masing.

Terwujudlah perubahan. Kesehatan mental menjalar menggantikan kerapuhan dan kegelapan, bersama dengan segenap ikhtiar perjuangan menjemputnya. Generasi mati rasa bermetamorfosa menjadi generasi peka. Sigap pada pahala, enggan mendekati dosa.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS. Ar Ra’du: 11)
Wallâhu a’lam bish-shawab.

*Pengasuh Muslimah Cinta Quran Indramayu

Comment