Suap, Budaya Masyarakat Sekuler

Opini479 Views

 

 

 

Oleh : Desi Yunise, Institut Kajian Politik dan Perempuan

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Suap menyuap sudah membudaya di tengah masyarakat, bukan lagi sebagai problema individu semata.

Bila dicermati, sebuah masyarakat tersusun dari sejumlah individu yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan dan aturan dalam mewujudkan berbagai kepentingan. Karena itulah tegaknya sebuah masyarakat bergantung dari ketiga unsur ini.

Dalam masyarakat sekuler, mereka memiliki pemikiran yang menjauhkan agama dari kehidupan. Mereka berpikir untuk bebas bertingkah laku dan tujuan menghalalkan segala cara.

Suap-menyuap dianggap sesuatu yang biasa demi mewujudkan kepentingan tertentu. Kita menyaksikan bahwa seolah menjadi rahasia umum setiap meloloskan suatu proyek musti disertai dengan suap menyuap. Tanpa suap proyek berjalan sangat lambat.

Dalam hal perasaan, masyarakat pun memandangnya sebagai suatu yang biasa. Sehingga saat menerima suap pun tak memiliki perasaan bersalah atau membenci atas tindakannya. Maklum, banyak juga yang melakukannya. Mereka menyukai praktik suap-menyuap sebab ada kepentingan yang didapat.

Di bidang hukum pun, kita menyaksikan tidak adanya kepastian di masyarakat sekuler. Hukum bisa berubah sesuai waktu dan situasi. Bagaimana bisa putusan hukum yang sebelumnya sudah ditetapkan atas pelaku suap 4,5 tahun penjara lalu disunat menjadi 3,5 tahun penjara? Artinya hukuman bisa berubah tanpa ada satu kepastian.

Karena suap-menyuap ini adalah persoalan masyarakat, maka penanggulangannya harus menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Menuntaskan problem ini pun harus berbasis agama. Semakin menjauhkan agama dalam menyelesaikan probelamatika masyarakat makin sulit lah penanggulangannya. Kita patut melihat bagaimana Islam melihat masalah suap menyuap ini.

Suap adalah harta apa saja (uang atau materi apapun) yang diberikan kepada seseorang dengan maksud agar dipenuhinya suatu kepentingan yang semestinya dikerjakan si penerima suap tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Kepentingan ini dapat berupa manfaat atau mencegah mudharat. Baik kepentingan itu benar secara syar’i maupun bathil. (Syakhsiyyah Islamiyyah juz II/285).

Semua suap hukumnya haram, apapun bentuknya, jenisnya, banyak maupun sedikit. Pelakunya dan yang menerima suap adalah orang yang dilaknat Allah SWT dan Rasulnya. Rasulullah SAW bersabda :

“Rasulullah telah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara di antara keduanya “ (HR Ahmad, At Thabrany, Al Bazzar dan Al Hakim).

Celaannya sangat keras berupa laknat. Sehingga dalam suasana keimanan dan ketaqwaan yang tinggi maka seseorang tentu menjauhinya. Inilah yang sulit terwujud dalam masyarakat sekuler. Dimana pendidikan sekuleristik tak melahirkan individu yang bertaqwa. Melainkan individu yang tak peduli agama dan hanya berorientasi kemanfaatan sesaat. Mereka meremehkan firman dan hadits Rasulullah SAW.

Tergolong dalam kategori suap juga adalah uang atau apa saja yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kedudukan dengan pejabat agar pejabat tersebut mau menggunakan pengaruhnya guna memenuhi kepentihan si penyuap. (Asy syakhsiyyatul Islamiyyah II/ 287).

Dalam hal ini yang menerima suap bisa saja bukan pejabat yang bersangkutan melainkan orang yang dekat dengan pejabat tersebut. Uang yang diterimanya adalah imbalan atas kesediaannya mempengaruhi pejabat tersebut.

Masyarakat yang menjunjung tinggi perintah dan larangan Allah SWT adalah masyarakat Islam. Mereka selalu berpikir sesuai syariah. Suasana ketaqwaan dan mencari ridho Allah SWT menjadi orientasi individu dan masyarakat secara kolektif.

Di masyarakat Islam, perasaan suka dan bencinya pun dibingkai oleh syariah. Taqwa yang terbentuk di lingkungan pendidikan berbasis aqidah Islam akan menjadikan rakyat memiliki perasaan yang benar. Saat mereka disuap mereka membencinya. Saat mereka menyaksikan kegiatan suap-menyuap mereka resah, apalagi menyangkut aparat atau pejabat.

Rakyat sangat menyukai lingkungan yang bersih dari suap menyuap terlaknat. Perasaan yang benar ini akan mendorong mereka untuk mencela perbuatan tersebut, sebab ini adalah bagian dari aktifitas amar makruf nahi munkar yang diperintahkan Allah SWT.

Dalam masyarakat Islam, peratuan atau undang-undang dibuat guna mewujudkan kepentingan luhur dan mulia. Semua harta yang diperoleh dari suap dipandang sebagai harta haram yang tidak berhak untuk dimiliki . Harta ini harus disita dan diserahkan ke baitul mal (kas negara Islam).

Bagi penyuap, yang disuap dan perantara suap akan dijatuhi hukuman berat. Terutama bila pelakunya adalah aparatur negara. Hukuman ini dapat berupa hukuman penjara yang lamanya bergantung dari tujuan suap dan menurut kejadian dan keadaannya yang berbeda beda.

Dalam peradilan Islam pun putusan hakim sifatnya tetap dan mengikat, tidak ada peradilan banding seperti dalam peradilan sekuler demokrasi.

Dalam masyarakat Islam suap-menyuap hanyalah kasuistik. Lain halnya dalam masyarakat sekuleristik, ia menjadi budaya yang tumbuh subur sebagai konsekuensi dari sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Karena itulah, agar suap-menyuap ini benar benar lenyap maka harus ada perubahan di tengah masyarakat, baik menyangkut pemikiran, perasaan dan peraturannya kearah Islam. Wallahu a’lam.

Comment