Suhaeni, M.Si: Sistem Zonasi: Solusi atau Bikin Frustasi?

Berita457 Views
Suhaeni, M.Si
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dunia pendidikan Indonesia kembali gaduh. Pasalnya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 dibuka dengan sistem zonasi. Sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020. Sebenarnya, tahun 2019 bukanlah tahun pertama diterapkannya sistem ini. Tahun sebelumnya juga sudah diterapkan. Dan, tidak luput dari protes wali murid. 
Buruknya sistem zonasi tahun 2018 diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Pada pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih kurang baik, sehingga masih perlu evaluasi dan perbaikan. Bahkan, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Salim menilai ada empat masalah sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB 2018. 
Diantaranya adalah masalah munculnya jalur SKTM di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, berpindahnya tempat tinggal secara tiba-tiba, menerima sebanyak 90% siswa yang dekat dengan lokasi sekolah dan tidak meratanya jumlah sekolah. Seperti dilansir dalam Tirto.id (19/06/2019).
Lalu, apakah tahun 2019 ini sudah semakin membaik? Tidak! Masalah masih sama. bahkan bisa jadi lebih pelik. Seperti keluhan salah satu orang tua murid asal Karawang, “Sistem zonasi bikin naik darah. Halal haram tidak lagi dipedulikan, yang penting bisa masuk sekolah yang diinginkan.”
Ya, para orang tua menjadi gusar, resah dan frustasi. Siapapun orang tuanya pasti ingin memberikan pendidikan yang terbaik. Seperti di Kabupaten Karanganyar, warga panik dengan sistem adu cepat mendaftar hingga mereka rela menginap di depan sekolah agar bisa mendapatkan urutan pertama. 
Tidak usah jauh-jauh, di Kabupaten Karawang pun banyak siswa yang terancam tidak diterima di sekolah yang mereka inginkan. Seperti dilansir portaljabar.net (20/06/2019), peserta pendaftaran PPDB online 2019 SMKN 1 Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, di hari ke empat mencapai 950 peserta didik. Adapun kuotanya sendiri hanya 14 Roumbel (504 siswa) dengan per kelasnya 36 siswa. Dengan kouta yang sudah ditentukan, otomatis separuh peserta pendaftar tidak akan diterima. 
“bagi saya sih sistem zonasi tidak ngaruh, toh saat ini sekolah swasta kan banyak yang kualitasnya bagus, jadi gak masuk di sekolah negeri pun gak apa-apa,” tegas seorang wali murid. 
Sungguh, pernyataan ini sangatlah tidak elok. Ya, kita tahu bahwa sekolah swasta banyak yang kualitanya TOP, tapi tidak semua orang tua bisa mengaksesnya. Mahalnya biaya pendidkan di sekolah swasta membuat orang tua berpikir beribu kali untuk menyekolahkan anaknya kesana. Maka ekstrimnya, bisa jadi nanti banyak anak yang akhirnya pustus sekolah,  tidak sekolah di negeri maupun swasta.  
Sistem zonasi apakah memberikan solusi atau malah bikin frustasi?
Sebenarnya tujuan sistem zonasi itu baik. Yakni didasari keinginan pemerintah untuk menghilangkan kastanisasi di bidang pendidikan. Jadi tidak ada lagi sekolah favorit dan non favorit. Setiap siswa harus sekolah di sekolah terdekat dari rumahnya demi mewujudkan keadilan dan pemerataan pendidikan. Sehingga anak-anak yang pintar secara akademis akan terdistribusi secara merata di setiap sekolah. Sebenarnya ini keinginan yang sangat bagus, namun, pemerintah tidak mempersiapkan dengan baik. Akhirnya, alih-alih bisa memberikan solusi malah bikin frutasi. 
Sebelum menerapkan sistem zonasi, seharusnya pemerintah menyelesaikan terlebih dahulu masalah mendasar yang ada di dunia pendidikan kita. yaitu, kualitas, kuantitas dan lokasi. Dari sisi kualitas, terjadi banyak ketimpangan terkait sarana, prasarana dan layanan pendidikan sehingga akhirnya muncul istilah sekolah favorit dan non favorit. Maka untuk menyelesaikan mutu/kualitas pendidikan, pemerintah harus meningkatkan mutu/kualitas pendidikan secara adil dan merata, baik dari sarana, prasarana, guru, dsb. 
Dari sisi kuantitas, masih banyak daerah yang tidak memiliki sekolah. Seperti di Kabupaten Karawang, ada beberapa kecamatan yang memiliki jumlah sekolah yang minim, tidak sebanding dengan jumlah anak didik. Kemduian dari sisi lokasi, banyak sekolah yang berpusat di kota, sementara di pingiran jumlahnya minim. Solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan pemetaan jumlah sekolah dan sebaran penduduk di suatu daerah. Lalu diterapkan rasio ideal antara jumlah sekolah dan jumlah penduduk. Selanjutnya dibangun sekolah sesuai rasio tersbut. Mulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Sehingga ketika mau diberlakukan sistem zonasi tidak akan jadi masalah. 
Sistem Pendidikan Islam adalah Solusi
Sistem pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan ala Barat. Sistem pendidikan Islam didasarkan pada aqidah islam, yang mengharuskan tujuan kurikulum, materi dan metode pembelajaran  yang digunakan merujuk pada pemikiran dan konsep yang terpancar pada aqidah Islam. 
Negara atau pemerintah memposisikan sebagai pelayan dan pengurus masyarakat. Sehingga masyarakat bebas sekolah dimana saja dengan biaya murah bahkan disediakan secara gratis. Tentuya dengan kualitas dan strandar pendidikan yang baik. Jadi tak ada cerita ada siswa yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya. Tak ada lagi orang tua yang frustasi karena sistem zonasi. 
Dana pendidikan berasal dari pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan yang dimiliki negara, misal, tambang, hutan, laut, dan sebagainya. Bukan dari pajak hasil malak rakyat, apalagi hasil ngutang dari luar negeri. 
Banyak ilmuan, ilmu pengetahuan, teknologi serta karya yang berhasil ditorehkan hasil dari pendidikan Islam. Dan keberhasilan  ini sudah diakui oleh dunia. 
Jadi, masalah sistem zonasi sebenarnya hanya masalah cabang, yang perlu dibenahi adalah masalah fundamentalnya. Islam sudah terbukti mampu menyelesaiakn persoalan pendidikan, bahkan persoalan lain di luar pendidikan. Maka sudah selayaknya, kita menerapkan Islam secara kaffah baik dalam bidang pendidikan maupun di bidang lain selain pendidikan. Wallahu a’lam bishawab.[]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment