Suhaeni, SP., M.Si*: Utang Melonjak, Ekonomi Terguncang, Siapa yang Salah?

Opini448 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia kembali berhutang. Tak main-main jumlahnya cukup besar dalam waktu yang relatif berdekatan. Baru dua minggu yang lalu Indonesia berhutang kepada Australia sebesar 1,5 miliar dollar Australia atau sebesar Rp. 15,45 triliun (kurs Rp.10.300). Kemudian pada hari Jumat tepatnya pada 14 November 2020, Indonesia kembali berutang ke Negara Jerman sebesar 550 juta euro atau sekitar Rp. 9,1 triliun.

Utang ke Negara Jerman masuk dalam kategori utang bilateral seperti dilansir pikiran rakyat (19/11/2020). Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru tersebut diperuntukan untuk kegiatan penanggulangan pandemik Covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Dengan demikian maka jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia terus melonjak. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, sampai akhir tri wulan ketiga, atau September, total utang valuta asing (valas) sudah mencapai Rp. 408,5 miliar.

Utang ini terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar USD 200,2 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 208,4 miliar.

Kondisi ini mendapat sorotan dari anggota DPR fraksi Gerinda, Fadli Zon. Bahkan ia menyebut Manteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati sebagai tukang utang keliling.

Kritik lain tak kalah pedas pun datang dari Mantan Menteri Keuangan, Rizal Ramli. Ia menyebut bahwa pemerintah dinilai keliru jika terus menambah utang luar negeri.

“Terbitkan surat utang (bonds) bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi. Makin parah,” tulis Rizal Ramli di akun Twitter pribadinya.

Menambah utang baru seolah menjadi pilihan satu-satunya bagi pemerintah dalam menghadapi pandemik covid-19. Padahal dengan utang, kedaulatan negara tergadaikan, baik kedaulatan ekonomi maupun politik. Apalagi dengan tambahan utang baru, maka hal ini dipandang sebagai musibah untuk negeri ini.

Pemerintah selalu berdalih bahwa posisi utang negeri ini masih aman. Padahal posisi utang negara semakin melonjak hingga membuat cadangan devisa turun, karena bayar utang pemerintah. Bahkan sebelumnya pernah dinyatakan bahwa Indonesia sudah mulai masuk resesi sejak awal kuartal I/2020.

Seperti diketahui Bersama bahwa ekonomi Indonesia sudah mengalami penurunan saat itu. PDB Indonesia awalnya berada pada kisaran 5 persen turun menjadi 2,97 persen pada kuartal I/2020. Penurunan terus berlanjut ke kuartal II realisasinya minus 5,32 persen.

Meskipun pada kuartal III/2020 mengalami pertumbuhan 5,05 persen, namun secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indoensia kuartal I – kuartal III masih alami 2,03 persen.

Dengan kondisi ini, Indonesia resmi resesi. Indonesia resesi karena dua kali berturut-turut pertumbuhan ekonominya minus.
Pemerintah Indoensia selau mengeluarkan kebijakan menambah utang untuk mengatasi masalah perekonomian Indonesia.

Padahal, dengan kebijakan ini terdapat ancaman yang nyata hiangnya kedaulatan negara, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Utang sejatinya adalah bentuk neokolonialisme yang dilancarkan oleh negara-negara kapitalis.

Dengan utang, mereka bisa lebih leluasa untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam dan menancapkan cengkaramannya. Kondisi ini membuat ketidakmandirian negara baik secara politik maupun ekonomi.

Beginilah ketika pengelolaan negeri didasarkan pada sistem kapitalis, yang hanya mengutamakan para investor sebagai pemberi utang dari pada nasib rakyat. Sementara kekayaan alam yang ada diserahkan kepada pihak asing.

Padahal jika kekayaan alam dikelola dengan baik oleh negara, Indonesia tidak perlu berhutang. Selama negeri ini masih setia dengan sistem kapitalisnya, setia dengan kebijakan berhutang untuk menghadapi permasalahan ekonomi, maka negeri ini akan semakin terpuruk.

Kedaulatan negeri kian hari kian runtuh.
Sebelum pandemik covid 19, kondisi ekonomi Indonesia sudah buruk, ditambah pandemik maka kian memburuk. Defisit kian melebar, karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran meningkat.

Sudah saatnya mencari sistem akternatif lain dalam penyelesaian masalah ini, yakni sistem Islam. Sebuah sistem yang datangnya dari Allah SWT. Lalu bagaimana sistem Islam menyelesaikan permaslaah ini.

Pertama, meningkatkan pendapatan negara. Ada empat cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan, yakni (1) mengelola harta milik negara.

Misal menjual atau menyewakan harta milik negara. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di tanah Khaibar Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah diperbolehkan mengelola lahan pertanian milik negara.

Semua pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut dapat menambah pendapatan negara. (2) Negara melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Hima adalah pengkhususan yang dilakukan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk keperluan khusus, dan tidak diperbolehkan untuk keperluan lain.

Misal yang dilakukan Rasulullah SAW dulu, beliau pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’ diperuntukkan khusus untuk menggembalakan kuda kaum muslimin.

Misal kondisi saat ini, khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus penanganan Covid-19. (2) menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan Syariah. Dalam sistem Islam pun pajak ada, namun aplikasinya tidak seperti pajak saat ini.

Pajak dalam sistem Islam dilakukan ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat. Dan biasanya diambil dalam kondisi darurat saja. (3) mengoptimalkan pemungutan pendapatan.

Kedua, negara menerapkan skala priotitas dalam penggunaan anggaran. Cara ini untuk menghemat dan meminimalisir pengeluaran yang tidak begitu mendesak atau bahkan tidak begitu penting. Tolok ukurnya adalah kepentingan rakyat, bukan kepentingan sekelompok orang.

Ketiga, berhutang (istiqradh). Dalam sistem Islam, negara boleh berhutang untuk menggatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah.

Haram hukumnya Khalifah mengambil utang dari negera-negara kafir harbi. Karena dengan negara kafir harbi tidak ada hubungan luar negeri apapun termasuk utang. Selain itu, tidak boleh adanya riba dan tidak mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara.

Khalifah hanya boleh berhutang dalam kondisi darurat, ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana Baitulmal tidak segera tersedia. Jadi, jika dana di bitulmal tidak cukup, khalifah boleh memungut pajak.

Jika kondisi masih belum tersedia dan kondisi semakin memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya, khalifah boleh berhutang.

Sementara dalam sistem kapitalisme, utang menjadi satu-satunya solusi dalam menyelesaikan masalah. Bahkan bukannya solusi yang didapatkan malah menambah sejumlah masalah. Wallahua’lam bishawab.[]

*Dosen Unsika Karawang

Comment