Tes PCR Turun Harga, Akankah Rakyat Gembira?

Opini512 Views

 

 

Oleh: Eno Fadli, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Presiden Jokowi memerintahkan menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin turunkan harga tes PCR dengan kisaran Rp450 ribu hingga Rp550 ribu. Jokowi seperti dilansir detik.com (15/08/2021) memerintahkan agar hasil tes PCR dipercepat keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam. Diharapkan dengan harga tes PCR yang turun dapat memperkuat testing atas kasus Covid-19.

Alhasil pemerintah melalui Kementerian Kesehatan pada tanggal 16 Agustus yang lalu, resmi menurunkan harga tes PCR di pulau Jawa dan Bali menjadi Rp495 ribu, sedangkan diluar Jawa dan Bali sebesar Rp500 ribu. Sebelumnya harga awal PCR ditetapkan Kemenkes dengan tarif tertinggi sebesar Rp 900 ribu.

Meskipun harga PCR turun sebesar 50%, harga ini dinilai masih sangat mahal, dan jika dibandingkan negara-negara lain seperti India yang mematok harga Rp96 ribu.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah seperti dikutip tirto (15/08/2021) menilai pemerintah perlu memperjelas alasan pematokan harga Rp450 ribu – Rp550 ribu per tes PCR, karena harga ini dinilai masih mahal dan perlu ada baseline dan perlu dilihat komponen pembentuk harga untuk pemeriksaan PCR apa saja. Sebab, sesuai dari hasil penelusuran ICW harga reagen PCR sebesar Rp 180 ribu, maka harga yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tentunya masih mahal.

Penurunan harga tes PCR pun dinilai karena banyaknya kritikan masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan tes antigen mandiri.

Lagi-lagi ini membuktikan bahwa negara selalu melakukan perhitungan secara ekonomi dengan rakyat sehingga bisa saja muncul asumsi negara seakan berbisnis dengan rakyatnya.

Hal seperti ini menjadi suatu yang lumrah dalam sebuah negara yang menganut sistem kapitalis, di mana negara selalu melahirkan kebijakan dengan orientasi ekonomi.

Saat pandemi banyak masyarakat yang kesulitan ekonomi, dan belum bisa menjangkau harga PCR yang baru.  Dari jumlah testing yang ditargetkan pemerintah jauh dari yang diharapkan. Padahal testing merupakan serangkaian penting dalam upaya penanganan wabah.

Berbeda dengan Islam, kepala negara (Khalifah) bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT atas pengurusan pada rakyatnya dan atas kepemimpinannya. Serangkaian upaya yang diberikan oleh negara dalam Islam perihal wabah, teruji mampu mengatasi wabah, seperti melakukan Lockdown dan memisahkan antara orang sehat dan yang sakit, sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadis riwayat Bukhari :

“ Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat” (HR. Bukhari).

Dengan serangkaian penanganan wabah ini, negara akan memberikan kompensasi dengan membebaskan biaya yang dibutuhkan, karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara.

Pelayanan kesehatan gratis sudah menjadi tanggung jawab negara dan ini akan diperoleh setiap individu warga negara. Maka haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan kesehatan masyarakat apalagi sampai menjadikan sektor pelayanan kesehatan sebagai lembaga bisnis.

Tentunya semua akan bisa terlaksana dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam yang mempunyai kemampuan finansial memadai.

Seharusnya pandemi ini menambah kesadaran pada kita bahwa solusi dari setiap permasalahan negeri hanya dengan kembali pada kehidupan Islam.Wallahu a’lam bishshwab.[]

Comment