Ummu Athifa*: Adaptasi Dengan “New Normal Life” Adaptasi Hidup Baru

Opini442 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Wabah covid-19 sejatinya belumlah berakhir. Dunia masih berusaha untuk menanganinya. Mulai penerapan karantina wilayah, PSBB, lockdown, hingga menyiapkan vaksin oleh WHO. Tetapi nyatanya belum membuahkan hasil yang signifikan. Korban covid-19 semakin bertambah dari waktu ke waktu.

Negara yang paling banyak korbannya ternyata Amerika mencapai 1.706.150 orang positif covid-19.
Indonesia sendiri hingga saat ini sudah mencapai 23.851 orang yang positif covid-19.

Indonesia pun menjadi negara terbesar di ASEAN dalam beberapa hari yang masih memperlihatkan kenaikan jumlah korban covid-19. Akibat wabah covid-19 yang tak kunjung pergi berdampak pada sektor perekonomian dan perdagangan.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah melakukan PSBB dari bulan Maret. Beberapa daerah pun masih terus meneruskan PSBB hingga bulan Juni. Namun kemungkinan besar PSBB sendiri akan mulai dilonggarkan, karena melihat beberapa daerah yang sudah menjadi zona hijau. Artinya penyebaran virus covid-19 sudah mulai menuruh di daerah tersebut.

Akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membuka kembali perkantoran, perusahaan BUMN, mall-mall, moda transportasi, ataupun restoran-restoran. Kebijakan ini akan berlaku awal Juni. Tentu ini perlu perhatian yang fokus agar penyebaran virus covid-19 dapat terkendali dengan baik.

Kebijakan ini dinamakan new normal life atau berdamai dengan korona. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengungkapkan new normal life yang akan dijalankan seperti biasa ditambah dengan protokoler kesehatan.

New normal dilakukan karena menyelamatkan perekonomian Indonesia yang hampir punah. Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Raden Edi Prio Pambudi mengatakan skema ini tergantung dua hal, yaitu kondisi kesehatan yang sudah membaik dan kepatuhan masyarakat untuk mematuhi dan menjalankan pola hidup baru menjaga kesehatan.

Hanya saja, masyarakat tetap harus berjuang untuk terus menekan sebarannya. Risiko tertular Covid-19 masih tinggi. Masyarakat harus disiplin, menerapkan aturan tetap jaga jarak, jaga kebersihan, dan jaga kesehatan sebagai new normal life.

Tetapi, apakah rakyat Indonesia sudah siap dengan aturan tersebut? Karena kenyataan belum terdapat persiapan-persiapan aturan tersebut.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dr Hermawan Saputranew memaparkan perlu empat syarat untuk menerapakan new normal life. Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus.

Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih memawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal. (merdeka.com/25Mei2020).

Dari persyaratan tersebut, tentu belum terlihat kesiapan apapun dari pemerintah pusat.

Masyarakat tentu masih was-was akan penyebaran virus covid-19. Tetapi pemerintah pusat hanyalah memikirkan perekonomian dapat terselamatkan. Karena kebijakan PSBB yang berkepanjangan sangat berdampak erat pada sektor perekonomian yang kian melemah.

Maka tak heran, jika pemerintah, new normal life atau berdamai dengan corona menjadi pilihan “terbaik” di tengah rasa putus asa atas ketidakmampuan memberi jalan keluar.

Dalihnya, wabah corona adalah wabah tak biasa. Dia merebak sejalan dengan pergerakan manusia. Maka apa boleh buat, harus berdamai, bahkan bersahabat dengan corona.

Maka ketika wabah terbukti meluluhlantakkan perekonomian global di berbagai sektor, mempropagandakan narasi new normal life dan membiarkan rakyat dunia “bekerja” menyambung nyawa.

Karena apa pun dampaknya, toh artinya keuntungan buat mereka (baca: para penguasa di pemerintahan). Rakyatlah yang kembali menjadi korban atas kebijakan tersebut.

Kebijakan ini hanyalah keinginan untuk menyelematkan ekonomi Indonesia, tanpa memperhatikan kesehatan rakyatnya.

Pemerintah masih saja mementingkan kepentingan sendiri. Memutar roda perekonomian alias menormalisasi sistem ekonomi yang mandek dipandang jauh lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa rakyatnya.

Namun ‘ala kulli haalin, wabah corona memang telah memberikan banyak pelajaran. Salah satunya bahwa kekuasaan yang tak berbasis pada akidah Islam hanya akan melahirkan kefasadan yang jauh di luar nalar.

Berbeda jauh dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan.

Harta, kehormatan, akal, dan nyawa rakyatnya dipandang begitu berharga. Pencederaan terhadap salah satu di antaranya, dipandang sebagai pencederaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena semuanya adalah jaminan dari penegakan hukum syara’.
Fakta akan hal ini akan tampak saat negara dalam keadaan ditimpa kesulitan.

Baik karena bencana maupun karena serangan musuh-musuhnya. Pada situasi seperti ini, kekuasaan selalu tampil sebagai perisai utama di mana penguasa siap membela rakyat dan mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka dibanding kepentingan dirinya.

Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam dengan penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat dengan akidah dan syariat. Hingga kehidupan akan kembali dilingkupi keberkahan dan kemuliaan.Wallahu’alam bi shawab.[]

Comment