Ummu Dzakiyah: Ketika Cinta Kepada Rosul  Muhammad Diuji

Opini551 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Allohummasolli’ala Sayyidina Muhammad wa ala aali Sayyidina Muhammad. Kala kecintaan dan kerinduan ummat terhadap Nabinya membuncah ujian pun datang.

Ujian itu datang dari sebuah majalah Charlie Hebdo terbit 2 September 2020, yang sangat tendensius dengan menerbitkan karikatur penghinaan kepada Nabi Muhammad saw.

Bukan kali pertama majalah sayap kanan ini menghina Nabi saw. dan ajaran Islam. Walaupun mendapatkan banyak kecaman dari berbagai negara, nyatanya Pemerintah Prancis mendukung ulah majalah tersebut.

Pemerintah Prancis pimpinan Emmanuel Macron la’natulLâh pun sengaja memajang kartun penghinaan Nabi Muhammad saw. tersebut di dinding gedung pemerintah daerah di negara tersebut dan di tempat-tempat umum.

Islamofobia kronis yang dihembuskan penguasa Prancis telah menyulut kebencian warganya terhadap kaum Muslim. Hingga pada 18 Oktober 2020, terjadi peristiwa penusukan kepada dua orang Muslimah di bawah menara Eiffel.

Mereka ditikam beberapa kali hingga menembus paru-parunya, hanya karena mereka berhijab. Bahkan pelaku menyebut Muslimah tersebut dengan panggilan “orang Arab kotor” (Republika, 22/10/2020).

Gelombang protes atas tindakan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW terus muncul, ermasuk dari kalangan pemuka agama serta ribuan ummat Islam di penjuru dunia juga indonesia.

Begitupun ribuan massa dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di Surabaya kembali menggelar aksi damai bela Nabi Muhammad SAW, Jumat (6/11/2020).

Massa yang hadir kembali menuntut permintaan maaf Presiden Prancis Emmanuel Macron dan menuntut pemerintah Indonesia untuk segera memutus hubungan dengan Pemerintah Prancis dan mengajak seluruh umat muslim di Indonesia melakukan aksi boikot seluruh produk-produk asal Prancis.( news.detik.com 6/11/2020)

Prancis saat ini menjadi ‘musuh bersama’ bagi umat Islam di seluruh dunia. Demonstrasi menentang Prancis, Charlie Hebdo dan Macron marak di sejumlah negara.

Pantas, bahkan wajib, umat Islam marah, sebab bukan pertama kalinya majalah Charlie Hebdo menghina Islam. Pada tahun 2015, mereka pernah mencetak ulang karikatur Nabi Saw yang berakhir dengan penyerangan kantor majalah tersebut.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, majalah satire yang berpusat di Prancis itu kerap memprovokasi umat Islam.

Berulang kali Islam dilecehkan, dihina, dan diolok-olok. Berulang kali pula negeri muslim mengecam, mengutuk, dan memboikot.

Namun, apakah dengan kecaman itu Prancis kapok? Apakah dengan pemboikotan, negara mereka bangkrut? Apakah dengan pengusiran duta besar, Prancis takut?

Fakta bahwa hingga kini mereka tetap baik-baik saja. Malah bertambah arogansinya. Tidak merasa salah dan enggan meminta maaf. Semua berlaku atas nama kebebasan.

Meski demikian, kita patut mengapresiasi respons umat yang marah karena Nabi Saw. dihina. Ekspresi itu ditunjukkan dengan kecaman, kutukan, pemboikotan produk, dan tuntutan pengusiran duta besar Prancis.

Hanya saja, umat Islam dunia bagai buih di lautan. Banyak, tapi tidak memiliki kekuatan. Hanya berbekal lisan dan seruan tapi lemah menghadapi penghinaan Nabi Saw. yang dilakukan kaum kafir.

Yang dilakukan pemimpin muslim hingga kini hanya sekadar mengecam. Adakah pemimpin-pemimpin muslim berani memutus hubungan diplomatik dan menyeru jihad kepada kaum muslim sebagaimana yang sudah pernah terjadi, panasnya bela Nabi saw akan menyurut seiring berjalannya waktu.

Inilah kelemahan umat. Tersekat oleh paham nasionalisme. Tidak punya kekuatan bersatu padu melawan dan menekan Prancis ataupun Barat baik secara politik maupun ekonomi. Para pemimpin muslim lebih memikirkan dampak buruknya bila terus berkonfrontasi dengan Prancis.

Pada akhirnya, mereka lebih mengutamakan kepentingan nasional negara masing-masing dibanding membela kehormatan Nabi Saw.

Nasionalisme telah membesar dan memecahkan  tubuh umat Islam yang satu menjadi puluhan negara. Dulu, saat Islam memiliki kedigdayaan, Prancis yang ingin mengadakan teater mengenai Nabi Saw pun dibuat merinding dengan ancaman Abdul Hamid II. Muruah kaum muslim saat itu begitu disegani dunia.

Namun, kemuliaan itu sirna setelah figur kepemimpinan Islam hancur akibat paham nasionalisme. Barat membagi-bagi wilayah islam dengan konsep nation state. Mengoyak tubuh Islam menjadi bagian-bagian kecil negeri muslim sebagaimana kita saksikan hari ini.

Menghadapi negara bebal seperti Prancis itu harus dengan kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan mereka. Pernyataan Macron mestinya menyadarkan kita semua bahwa tanpa kekuatan politik, umat tidak berdaya. Tanpa institusi yang menjalankan politik pemerintahan, Islam akan terus ditindas dan dihina.

Umat butuh persatuan yang tidak sekedar persatuan karena bersatunya perasaan namun juga bersatunya pemikiran. Tatkala perasaan dan pemikiran menyatu, bukan tidak mungkin rumah besar umat akan terwujud. Ya, rumah besar kita sebagai umat terbaik seperti yang telah dan pernah terbangun dulu,  bukan demokrasi sekuler.

Umat membutuhkan persatuan politik dan ukhuwah Islam agar bermunculan kembali sosok sultan Sulaiman Al Qanuni yang disegani Barat. Agar terlahir kembali sosok pemimpin seperti Abdul Hamid II yang tegas membela kehormatan Rasulullah dan Islam.

Kepemimpinan Islam dunia menjadi urgensi yang tak bisa ditunda lagi. Dengan kepemimpinan muslim dunia, penghina Nabi Saw merasakan efek jera. Tanpa itu, Islam hanya akan jadi tempat bully-an para pembencinya. Wallohua’lam Bi As showab.[]

Comment