Ustadz Felix Siauw.[Googleplus] |
Sebagai warga Jerman yang terkenal tepat waktu dan sangat saklek dan disiplin, dia bener-bener minta maaf pada saya, padahal telatnya ya cuma 15 menitan
Dia bilang, “Tadi traffic sangat teribble, hampir 30 menit saya tertahan di jalan, baru sekali ini dalam bertahun-tahun”. Saya tersenyum, membayangkan macet di Jakarta
.
“Tiap hari!” Dia terkejut setelah saya sampaikan kondisi Jakarta. “Disini macet di jalan itu bisa masuk headline, dan bakal jadi alasan untuk memakzulkan menteri”, selorohnya
Tidak hanya di Jerman, di Amerika, di Jepang, juga sama ketika saya berkunjung disana. Di Amerika dan Jepang, ada menteri yang mundur hanya karena salah ucap saja
Bicara nrimo, bentuk lain dari toleransi, saya pikir tidak ada yang melebihi Indonesia. Hanya di Indonesia, kakimu diinjak lalu kamu bisa tersenyum lalu bilang, “maaf kaki saya keinjek”
Sulit untuk menemukan intoleransi di Indonesia, lihat di tataran ummat di bawah, beda tak pernah jadi masalah, tak sama sudah biasa, tapi di elit penguasa, intoleransi jadi jualan
Yang terjadi, justru intoleransi ini jadi alat penjajahan. Supaya kaum kaya bisa terus berkuasa, supaya kelompok tertentu bisa tetap melanjutkan perampokan atas negeri ini
Coba lihat di negeri ini, 4 orang terkaya memiliki kekayaan sama dengan 100 juta orang termiskin. Kasarnya, kalau 4 orang di Indonesia itu bagi-bagi duit, 100 juta tambah kaya 2x lipat
Intoleransi yang mana? Muslim Indonesia 85% katanya, tapi tetap santai ketika Desember besok seluruh mal dan televisi menayangkan syiar agama lain, intoleransi?
Saya hanya bisa membayangkan, andai penguasa seperti ini memimpin di Jerman, Jepang atau Amerika, mungkin sudah dari dulu dikasuskan, dimasalahkan dan diprotes
Untungnya mereka tinggal di mayoritas Muslim, yang masih mendoakan dan mengharapkan, mudah-mudahan penguasa kini segera sadar dan kembali pada agama Allah.[]
Comment