Utang Membengkak, Masih Saja Mengelak. Ada Masalah?

Opini488 Views

 

 

 

Oleh: Mutiara Aini,  Pegiat Literasi

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sudah menjadi kebiasaan umum jika kurang modal dalam usaha, jalan satu-satunya adalah berutang. Padahal negeri ini utangnya sudah melilit pinggang.

Utang pemerintah Indonesia yang kini di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kembali meningkat. Per akhir September 2021, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 6.711,52 triliun.

Berdasarkan publikasi di APBN KiTa Kementerian Keuangan per akhir September 2021, utang pemerintah Indonesia Jokowi-Ma’ruf Amin bertambah sekitar Rp 86 triliun dibandingkan sebulan sebelumnya.

Utang pemerintah Indonesia Jokowi-Ma’ruf Amin per akhir Agustus 2021 yakni Rp 6.625,43 triliun. Penambahan utang pemerintah Indonesia Jokowi-Ma’ruf Amin ini lebih besar dibandingkan pada periode Agustus 2021 yang hanya Rp 55,27 triliun.(Kontan.co.id).

Meningkatnya utang Indonesia pun kerap menjadi perbincangan di berbagai pihak. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku senang.
“Banyak orang lihat keuangan negara detail, saya senang banget sekarang semua orang urusin utang. Semua orang bicara itu. It’s good, kita punya ownership terhadap keuangan negara,” kata Sri Mulyani dalam acara Peluncuran Buku 25 Tahun KONTAN: Melintasi 3 Krisis Multidimensi, (Konten co.id. Minggu 24/10).

Karena menurutnya, pada saat krisis tahun 1997-1998 maupuun tahun 2008, tidak ada orang yang memperhatikan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, kenaikan ULN pemerintah terjadi di tengah penerbitan Global Bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta Euro. Ini merupakan salah satu penerbitan SDG Bond konvensional pertama di Asia. Penerbitan SDG Bond ini menunjukkan upaya Indonesia dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan dan langkah yang signifikan dalam pencapaian SDG.

Akar Masalah

Keterpurukan korporasi ini tak lain merupakan imbas dari pandemi. Pandemi berhasil memukul setiap sektor terutama perusahaan, tak terkecuali korporasi. Padahal, pemerintah telah memilih tidak melakukan karantina total. Dengan alasan menjaga keseimbangan ekonomi. Namun ternyata, meskipun telah mengupayakannya, masalah ini tetap terjadi.

Pandemi ini pun berakibat pada minimnya mobilitas masyarakat. Sehingga masyarakat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga kesulitan ini berdampak pada PHK para pekerja.

Menurut Abdurahman Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001), menyatakan, bahwa utang luar negeri ibarat instrumen penjajahan, karena salah satu aspek buruk dari membengkaknya utang luar negeri berdampak pada hilangnya cita-cita kemandirian sebuah bangsa. Hal ini disebabkan oleh syarat dan kondisi yang ditetapkan oleh negara pemberi utang. Negara tersebut bisa mendikte perekonomian suatu negara sesuai yang ia kehendaki.

Perihal utang negara yang melibatkan pihak asing sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, utang yang didasarkan pada riba. Bunga utang jelas dilarang oleh Islam, apapun bentuknya.

يَا أيَُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتقَُّوا اللَََّّ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِِّبَا إِنْ كُنْتمُْ مُؤْمِنِينَ ) ٢٧٨ (فَإنِْ لَمْ تفَْعَلُوا فَأذَْنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللََِّّ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تبُْتمُْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أمَْوَالِكُمْ لا تظَْلِمُونَ وَلا تظُْلَمُونَ ) ٢٧٩

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah: 278-279).

Kedua, dapat merendahkan martabat suatu bangsa. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi intregitas suatu bangsa. Selain itu nilai manfaat yang diterima oleh negara, belum tentu berbanding dengan beban yang ia tanggung.

Di sisi lain, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kafir mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin dalam jeratan utangnya. Maka dari itu, kaum Muslim tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Karena islam tidak menganjurkan adanya utang luar negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat genting dan mengancam kesejahteraan rakyat banyak.

Utang luar negeri telah banyak diterapkan di berbagai negara untuk kebijakan perekonomian dan menutupi budget deficit yang memang sengaja diterapkan.

Islam Menyelesaikan Masalah

Penyelesaian masalah ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Islam akan menyelesaikan masalah ini sampai ke akarnya. Hal-hal yang dilakukan adalah, Pertama, Islam mewajibkan Khalifah sebagai kepala negara untuk bekerja mengurus rakyat, memenuhi apa yang menjadi hak mereka dan haram menyusahkannya. Kepengurusan ini meliputi segala aspek. Termasuk di bidang ekonomi, negara wajib menyediakan apa yang dibutuhkan rakyat, khususnya sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Negara juga memfasilitasi agar rakyat mudah mendapatkannya. Menyediakan lapangan pekerjaan, bahkan permodalan dan subsidi jika ada kesulitan dalam usaha juga difasilitasi. Tentunya dengan pinjaman nonriba.

“Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua, mengenai sumber pendanaan. Bisa diambil dari harta milik negara, kepemilikan umum, zakat khusus bagi fakir miskin dan mekanisme lainnya. Pendapatan itu semua akan menghasilkan sumber pendanaan ribuan triliun. Kas negara akan cukup membiayai beragam kebutuhan rakyat. Sehingga negara tidak perlu utang, apalagi ULN.

Islam sendiri telah mengharamkan ULN, bukan saja karena berbasis riba, namun ULN menjadi salah satu jebakan negara penjajah kepada wilayah jajahannya. Padahal haram bagi mukmin untuk menggantungkan nasibnya pada orang kafir.

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141).

Islam tidak melarang transaksi hutang, baik dalam hal praktik individu, maupun praktik dalam bernegara. Namun demikian, praktik utang tersebut harus tetap mengacu pada mekanisme akad yang sesuai dengan norma dan nilai Islam. Sehingga hutang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen pembiayaan dalam pembangunan negara untuk menargetkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga diharapkan kebijakan hutang yang diterapkan oleh negara yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat secara umum.

Menurut pandangan islam, utang luar negeri ini dapat mencederai kedaulatan negara. Telah banyak kasus di dunia dimana negara peminjam didikte perekonomiannya oleh negara yang memberi pinjaman. Selain itu, bunga pinjaman tak pernah lepas dari utang luar negeri.

Bunga pinjaman tentunya dilarang oleh islam. Dan terbukti, utang luar negeri jika diterapkan telah menyebabkan kekacauan ekonomi dunia, seperti kasus di Uni Eropa. Sudah sepatutnya kita kembali kepada prinsip-prinsip syariah, untuk menjaga kestabilan perekonomian dunia. Wallahu àlam bisshowab.[]

Comment