Utang Semakin Menumpuk, Giring Negara Menuju Kehancuran?

Opini524 Views

 

 

Oleh: Eva Arlini, S.E (Blogger)

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Masyarakat Indonesia harus terus menyadari kalau negeri kita tidak baik-baik saja. Salah satu kondisi yang mengancam negeri kita adalah tumpukan hutang negara yang terus menggunung.

Hingga April 2021, utang negara naik menjadi Rp6.527,29 triliun. Jumlah ini naik dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya yakni sebesar Rp6.445,07. (https://finance.detik.com/ 07/062021).

Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun. (https://www.gelora.co/ 05/06/2021).

Dengan demikian total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Didik pun memperkirakan utang ini akan terus bertambah hingga akhir periode pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Angka utang saat itu bisa tembus hingga Rp10.000 triliun. Utang negara sudah lampu kuning, warisan utang menanti pemerintahan periode berikutnya.

Pemerintah sendiri mengaku tetap mengelola Utang Luar Negeri (UlN) secara terukur dan berhati-hati untuk mendukung belanja prioritas pemerintah.

Belanja prioritas yang didanai dengan utang tersebut diantaranya sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial, sektor jasa pendidikan, sektor konstruksi serta sektor jasa keuangan dan asuransi.

Pemerintah pun menenangkan publik dengan menyatakan bahwa posisi ULN pemerintah itu relatif aman dan terkendali, karena hampir seluruhnya merupakan ULN berjangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN Pemerintah. (https://money.kompas.com/17/04/2021).

Selain menambal defisit belanja negara, tentu saja kita memahami bahwa utang digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang yang lama, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Didik J Rachbini (https://www.gelora.co/ 5/06/2021).

Lalu apakah utang negara yang banyak itu penggunaannya memang maksimal sebagaimana pembelaan pemerintah?
Ternyata tidak. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy mengatakan bahwa tahun lalu belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hanya 80 persen.

Menurut Yusuf salah satu belanja PEN yang tidak tereksekusi dengan baik adalah belanja kesehatan. Kapasitas test, tracing dan isolasi masih kurang jika dibandingkan negara-negara lain. (https://finance.detik.com/ 07/06/2021).

Bahaya Tumpukan Utang Negara
Kita menyadari prinsip tata pergaulan dalam sistem kapitalisme saat ini, tidak ada makan siang yang gratis.

Utang bukan sekedar utang, tapi ada konsekuensi berat di dalamnya. Utang tidak diberikan secara cuma-cuma sebagaimana layaknya konsep utang dalam Islam yang merupakan konsep tolong menolong.

Negara pendonor memberi utang pasti karena mengharap keuntungan. Selain memungut bunga, lebih dari itu utang diberikan karena ingin mengeksploitasi ekonomi serta mengintervensi politik negara penerima utang.

Inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Misalnya utang kepada Cina. Dalam kurun waktu beberapa tahun ini penambahan utang Indonesia pada Cina naik cukup signifikan, yaitu US$ 17,75 miliar pada 2019, atau meningkat 11% dibandingkan pada 2017. (https://theconversation.com/27/11/2020).

Di masa pemerintahan Jokowi, Cina menjadi salah satu investor terbesar untuk Indonesia.

Secara ekonomi Indonesia bisa terancam dan bernasib sama seperti Sri Langka. Ketika Sri Langka terjebak utang yang besar pada Cina dan mengalami kesulitan pembayaran, Sri Langka harus rela kehilangan 70 persen saham pelabuhan yang dibangunnya dengan utang tersebut. Artinya infrastruktur negara yang dibangun dari utang berpotensi dimiliki asing.
Bahaya politik pun menghadang.

Terjerat utang kepada Cina salah satunya menyebabkan Indonesia kesulitan memberi perlawanan tegas atas Cina yang semakin agresif di laut China Selatan. Pemerintah akan segan pada Cina dan takut Cina memutuskan kerjasama perdagangan dan menarik investasinya dari negeri ini.

Membangun Negara Tanpa Utang
Perencana Keuangan Finansialku, Yosephine P. Tyas, CFP® mengatakan bahwa salah satu cara menghindari utang adalah dengan membuat anggaran.

Dari perencanaan pengeluaran, akan dapat dikontrol agar pengeluaran tidak melebihi pemasukan. Indonesia juga membuat anggaran belanja setiap tahunnya.

Mengapa perencanaan pengeluaran selalu dibuat melebihi pemasukan? Mengapa porsi utang selalu disediakan setiap tahunnya dengan alasan menutupi defisit belanja negara?

Jawabnya adalah karena sejak awal membangun negeri ini, Indonesia berhasil dirayu lembaga asing seperti IMF dan World Bank untuk membiayai pembangunan dengan utang.

Bersamaan dengan itu, pemberlakuan sistem demokrasi menghendaki adanya kebebasan, salah satunya dalam berekonomi – ekonomi dan kapitalisme liberal.

Sehingga kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk dikelola sebagai sumber pemasukan negara yang utama.

Alhasil rakyat dicekik dengan berbagai jenis pajak dan harus rela membiarkan kekayaan alamnya dinikmati asing. Parahnya lagi negara terus gali lobang tutup lobang dalam hal utang, menggiring negeri ini menuju jurang kehancuran.

Membangun negara tanpa utang mesti dimulai dari perubahan paradigma berpikir secara utuh, dari dasar hingga menyeluruh. Dasar berpikir hidup kita saat ini yakni sekulerisme, telah meniscayakan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis eksis.

Maka mau tidak mau kita harus merubah paradigma berpikir yang buruk itu dengan paradigma berpikir yang baik yakni Islam.

Dalam perspektif ekonomi Islam, Baitul Mal sebagai institusi keuangan pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan dan mekanisme pengalokasian pengeluaran tersendiri sesuai ajaran Islam.

Dalam buku berjudul “Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Utang” karya Endah Kartika Sari, ST, MEI, dijelaskan bahwa Negara Khilafah Islamiyah tidak menjadikan pajak dan utang sebagai sumber pemasukan negara yang utama.

Sumber pemasukan negara dibagi menjadi tiga pos yakni bagian kepemilikan negara seperti fai, kharaj dan lain sebagainya, bagian kepemilikan umum meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut dan lain sebagainya serta bagian terakhir adalah shadaqah yang terdiri dari bermacam-macam jenis zakat.

Dengan memaksimalkan sumber pemasukan negara dari kekayaan alam saja misalnya, serta adanya harga diri untuk tidak berutang, tentu Indonesia bisa menjadi negara mandiri.

Perubahan fundamental semacam ini dapat dilakukan dengan sepenuhnya mencampakkan sekulerisme dan berpegang pada akidah Islam serta patuh pada syariah Allah swt secara kaffah. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment