Warastiawati : CAP GO MEH Bolehkah Muslim Merayakan ?

Berita417 Views
Warastiawati 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Berselang beberapa hari setelah hebohnya perayaan V-Day yang dianggap sebagai hari kasih sayang sedunia, kini di tanah air dan bahkan di belahan dunia lainnya yang terdapat etnis China Tionghoa selalu mengadakan perayaan yang satu ini setiap tahunnya. 
Dan bahkan budaya ini telah diadobsi sebagai tradisi yang sudah mengakar di Indonesia. Ya apalagi kalau bukan Cap Go Meh. Cap Go Meh merupakan budaya etnis Tionghoa China, dimana perayaan ini biasanya dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 menurut penanggalan Imlek dan berakhir pada hari ke-15 atau tanggal 15 (Cap Go Meh) bulan pertama tahun Imlek mereka. Perayaan Imlek tahun 2019 jatuh pada 5 Februari kemarin. Sedangkan Cap Go Meh dilakasanakan pada hari ke 15 setelah Imlek pada tanggal 19-20 Februari 2019. Istilah Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkian yang bila diartikan secara harafiah bermakna “15 hari atau malam setelah Imlek”. 
Bila dipenggal per kata, ‘Cap’ mempunyai arti sepuluh, ‘Go’ adalah lima dan ‘Meh’ berarti malam. Jika ditilik pada sejarah maka akan ditemukan bahwa rangkain kegiatan Imlek dan Cap Go Meh tersebut merupakan adat istiadat dan akulturasi kebudayaan yang bersumber dari berbagai mitos yang diyakini dan sebagai kepercayaan yang dianut oleh bangsa China kuno. 
Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan. Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut – suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia. (Bangkapos.com). Selain itu Cap Go Meh memiliki ritual penyembahan kepada dewa dan berhala yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan aqidah islam dan tidak ada toleransi dalam hal syariat-Nya. 
Namun sungguh sayang apabila dari umat muslim sendiri mendukung dan berbaur di dalamnya dengan dalih saling menghargai perayaan dan juga bahkan beranggapan hanya sekedar tradisi budaya saja. Bogor, merupakan salah satu kota dengan julukannya “Bogor Beriman”. Namun apalahdaya, pemerintahnya sendiri justru memfasilitasi perayaan hajat besar Valentin-Tionghoa (Cap Go Meh) ini dengan suka cita yang dikemas dalam acara Bogor Katumbiri Street Lightning Festival. 
Meski ada suasana pro dan kontra yang melingkupinya. Bapak Walikota sendiri beralasan karena Cap Go Meh telah menjadi warisan budaya dari masa ke masa. Kegiatan seperti ini juga terbukti menjadi simbol pemersatu, selain juga menarik wisatawan datang ke Kota Bogor. Sehingga Pemkot Bogor akan tetap memberikan ijin sekaligus memfasilitasi kegiatan ini. Menurut Sekretaris FMB, Sukirman Abdu Syukur, pihaknya tidak dalam rangka melarang perayaan Cap Go Meh. Dia menyesalkan, jika ada yang mengatakan bahwa CGM merupakan acara budaya. Sedangkan, banyak momen yang dapat dimanfaatkan untuk menaikan event kebudayaan, semisal hari jadi Bogor (HJB). 
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyerukan kepada semua masyarakat untuk saling menghormati perayaan Imlek di Indonesia yang bertepatan pada Februari 2019. “Saya mengajak semua kita untuk saling menghargai, menghormati tradisi yang sudah cukup lama ada dan hidup di tengah-tengah kita. Jadi bentuk penghormatan dan penghargaan yang berbeda dengan kita itu sama sekali tidak mereduksi, mengurangi keimanan kita,” ujar Lukman Hakim Saifuddin di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin, 28 Januari 2019. (Viva.com) 
Sebagai seorang muslim yang beriman tentunya dapat menimbang ketoleransian dengan kacamata aqidah islam yang merupakan konsekuensi dari keimanannya. Sehingga segala bentuk perbuatan sesuai dengan koridor syariat. Yang landasannya sesuai alquran, as-sunnah, ijma sahabat dan qiyas. Bukan atas dasar suka dan tidak suka bagaikan prasmanan yang bisa kita pilih-pilih sesuai selera. Namun anehnya kata toleransi banyak disalah artikan oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, jika ada para pemuda Islam atau umat Islam yang ikut-ikutan merayakannya, berarti secara tidak mereka sadari akan terjerumus dalam perilaku kemusyrikan dan terjebak dalam kemurtadan dari Islam tanpa disadarinya Padahal Allah SWT telah berfirman di dalam kitabbullah-Nya: 
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati (mengikuti) orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang kepada kekafiran, lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. (Ali Imran (3):149). 
Bahkan para ulama telah menegaskan bahwasannya haram hukumnya seorang muslim terlibat dalam perayaan semacam ini berikut beberapa pendapat Ulama mengenai ikut serta dalam perayaan agama lain : 
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235). 
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110). 
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201). 
Dari pemaparan ayat dan pendapat para ulama merupakan hujjah yang shohih. Dimana tidak ada kata toleransi dalam syariat islam untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Sebab toleransi dalam islam yakni membiarkan agama lain dengan ajaran dan ritual agamanya. Bukan kita sebagai seorang muslim ikut meleburkan diri kedalamnya yang justru mencederai keimanan kita sendiri. Sebab islam berprinsip dan berdiri diatas prinsip “Lakum dienukum waliyadi”. Tanpa umat muslim turut sertapun perayaan ritual imlek atau bahkan agama lainnya akan tetap terlaksana sebagaimana mestinya.[]

Penulis adalah Mahasiswi Universitas Khairun Ternate, Fakultas: Pertanian, prodi Peternakan. 
Semester: 6

Berita Terkait

Baca Juga

Comment