Wulan Amalia Putri, S.S.T*: Hijab Anak Disoal, Bukti Menguatnya Liberal?

Opini478 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Deutch Welle (DW), sebuah media asal Jerman, membuat konten Video yang mengulas sisi negatif anak pakai jilbab sejak kecil. Konten video ini dibagikan DW melalui akun twitternya @dw_indonesia pada Jumat 25 September 2020. “Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?” tulis DW Indonesia.

Sebagai penguatan konten video, DW Indonesia mewawancarai perempuan yang mewajibkan putrinya mengenakan hijab sejak kecil. Tidak hanya itu, DW juga mewawancarai Psikolog Rahajeng Ika. Menurut Rahajeng Ika, masalah yang mungkin ditimbulkan adalah terjadinya kebingungan pada anak dalam pergaulan karena perbedaan pandangan soal pakaian.

Sementara itu, feminis muslim Darol Mahmada yang diwawancarai mengkhawatirkan terbentuknya pola pikir eksklusif pada anak.

“Tetapi kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif karena dari sejak kecil dia ditanamkan untuk misalnya “berbeda” dengan orang yang lain,” kata Darol Mahmada. (jurnalgaya.pikiran-rakyat.com, 26/09/2020)

Islamophobia Akut
Konten yang diangkat DW banyak diperdebatkan di masyarakat. Reaksi mengecam pendapat ini bermunculan. Anggota DPR yang juga Wakil Ketua Umum Parta Gerindra, Fadli Zon bahkan menyatakan bahwa liputan ini menunjukkan sentimen “islamophobia”.

“Liputan ini menunjukkan sentimen “islamophobia” dan agak memalukan untuk kelas @dwnews,” kata Fadli Zon melalui akun Twitternya, @fadlizon.

Mengusik ranah aqidah, permasalahan ini hangat di media. Netizen menganggap bahwa postingan ini “nyeleneh”. Bukan masalah pilihan, tetapi membiasakan anak memakai hijab di usia dini adalah upaya orang tua untuk menanamkan nilai-nilai positif dan religius kepada anak.

Seperti komen netizen “Kasihan lu min, ga ada pilihan sehingga mesti merecoki yang beginian. Anak-anak itu ibarat kertas putih, dari kecil mereka diajar kebaikan dan nilai-nilai keagamaan……”masithah-oliver.

Tidak heran memang ketika masyarakat riuh bersuara menanggapi postingan ini. pembiasaan hijab sejak dini bagi anak perempuan adalah sesuatu yang mulia. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Permasalahan hijab adalah permasalahan sensitif, karena ini ranah keyakinan (belieft).

Apalagi, masyarakat melihat bahwa selama ini adalah upaya pengarusan opini dan stigmatisasi negatif pada simbol-simbol Islam. Sebut saja Cadar (niqob), Janggut, Peci dan Celana dengan potongan tertentu yang sering dikaitkan dengan pelaku terorisme.

Akhirnya masyarakat merasa terintimidasi dengan keberadaannya sebagai muslim yang ingin taat pada Syariah Islam.

Di sisi lain, kehidupan yang semakin liberal dan hedonis membuat banyak orang tua khawatir. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak menjadi momok menakutkan bagi mereka.

Pada kurun waktu Januari-September saja, terdapat 18 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengungkapkan bahwa kekerasan seksual masih cukup banyak terjadi di Indonesia.

Bintang membeberkan bahwa berdasarkan data Simfoni PPA dari 1 Januari 2020 hingga 31 Juli 2020 menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa mencapai 3.179 kasus dengan 3.218 korban. (m.tribunnews.com,6/8/2020)

Tidak jarang ditemukan bahwa terjadinya kasus kekerasan pada perempuan dan anak diawali karena pelaku melihat korban yang berpenampilan seksi.

Dengan fakta ini saja sudah cukup bagi para orang tua untuk melakukan tindakan pencegahan dengan membiasakan anak perempuannya berhijab sejak dini.

Dari sisi syariat Islam, hijab adalah persoalan kewajiban seorang wanita muslimah yang sudah dewasa (baligh). Karena itu, untuk dapat sampai pada tahapan memahami kedudukan hijab di mata Syariah Islam, tentu perlu dilakukan edukasi sejak dini. Sama halnya dengan membaca Al Qur’an dan salat, tentu harus diajarkan sejak dini.

Lalu apakah dengan pengajaran ini anak tidak punya pilihan, merasa terpaksa dan akhirnya haknya sebagai anak terbaiakan?

Tentu tidak. Justru pengajaran nilai-nilai positif terutama nilai keagamaan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua. Anak adalah tanggung jawab orang tua karena itu orang tua harus menanamkan sejumlah nilai kebaikan yang menjadi bekal bagi anak untuk mengarungi bahtera kehidupan di masa dewasanya.

Apakah orang tua harus mengajarkan joget Tik Tok untuk menunjukkan kebebasan memilih bagi anak? Apakah ini hal yang akan membanggakan? Dilihat dari sisi Syariah, tentu bukan hal yang perlu diajarkan. Yang mesti dipahami oleh anak adalah bahwa kebahagiaan seorang manusia setinggi-tingginya adalah ketika dapat melaksanakan seluruh perintah Rabb-nya dan menjauhi laranganNya.

Video yang diposting oleh DW menunjukkan ketakutan akan yang berlebih dengan berkembangnya ajaran Islam di tengah generasi muda. Hal yang seharusnya membanggakan bagi orang tua diaruskan sebagai bentuk pemaksaan dan ekslusivitas.

Padahal, pembiasaan hijab dan etika Islam lain sedari dini adalah upaya orang tua untuk mengajarkan nilai agama dan kebaikan yang berguna bagi masa depannya.

Memandang Isu Kebebasan

Kebebasan adalah kata yang sangat bermakna dalam situasi hari ini. Bahkan pengajaran agama sedari dini dianggap mengekang kebebasan, membentuk ekslusivitas atau bahkan bisa jadi membawa perasaan “berbeda” bagi anak di lingkungannya. Namun apakah kebebasan harus “sebebas” itu?

Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah SWT, kehidupan tidak dijalani semau-maunya. Ada rambu dan tata aturan yang harus dipatuhi selama hidup di dunia. Jadi, jika kata kebebasan dimaknai dengan “bebas untuk taat atau tidak taat pada aturan Allah SWT”, makna ini tentu saja salah.

Dalam Islam, tanggung jawab untuk melahirkan generasi terbaik (khairu ummah) ada pada keluarga, lingkungan dan negara. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pendidikan dalam lingkungan keluarga dan sekolah yang melatih serta membiasakan anak untuk senantiasa dalam ketaatan pada Allah SWT. Juga melindungi anak dari permikiran rusak dan budaya yang serba permisif.

Jika ada fakta seorang anak merasa bingung dengan lingkungannya karena pakaian yang digunakan di lingkungannya berbeda, maka jangan salahkan ketaatan anak tersebut atau pengajaran orang tuanya tentang Syariah Islam. Justru yang harus dipertanyakan adalah mengapa lingkungannya tidak menyuarakan ketaatan yang sama? Mengapa justru pemikiran dan kebiasaan rusak yang mendominasi lingkungan?

Dari sini maka perlu disadari bahwa pembiasaan pada ketaatan harus diemban oleh semua pihak. Agar tidak terjadi kebingungan ini maka lingkungan pun harus terbiasa dengan ketaatan.

Sinergitas keluarga, lingkungan dan negara sangat penting. Salah satu tugas negara dalam hal ini adalah tidak membiarkan masyarakat terwarnai dengan budaya dan ide-ide rusak tentang kebebasan itu sendiri.

Kemuliaan manusia terletak pada tingkat dan derajat ketakwaannya kepada Allah SWT, sebagaimana pada firman Allah dalam Q.S Al Hujurat: 13. Sebagaimana Ath Thobari rahimullah berkata,” Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya kepada Allah yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir At Thobari, 21:386). Wallahu a’lam Bishawwab.[]

*Pemerhati Sosial

Comment