Wulandari Rahayu, S.Pd*: Mengakhiri Derita Rohingya

Opini554 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Rohingya seakan menjadi suku yang paling menderita di dunia ini. Secara geologis Rohingya berada dan bagian negara Myanmar yang berpenduduk mayoritas budha.

Otoritas negara Myanmar telah melakukan slaughtering terhadap suku Rohingya yang berpenduduk muslim dengan cara yang sangat keji seperti yang terjadi di Bosnia Herzegovina pada beberapa dekade lalu.

Akibat hal ini gelombang pengungsi suku Rohingnya membludak tak terbendung. Kebanyakan dari mereka melarikan diri ke Bangladesh, sebuah negara yang sangat berdekatan dengan Rohingya. Para pengungsi Rohingya tentunya sangat menggantungkan harapannya kepada pemerintah Bangladesh dengan alasan adanya kesamaan akidah dalam bingkai Islam yang dianut mayoritas penduduk Bangladesh.

Republika melansir bahwa selama di Bangladesh pengungsi dengan jumlah yang banyak itu tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan kondisi yang sangat tidak layak. Kamp pengungsi Kutapalong merupakan yang terbesar dan menampung 600 ribu pengungsi Rohingya. Di kamp tersebut, mereka tinggal berdesakan. Setiap gubuk dengan luas 10 meter diisi oleh 12 orang sehingga penuh sesak.

Para ahli dan aktivis telah memperingatkan bahwa para pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh rentan terinfeksi virus corona jenis baru atau Covid-19. Kondisi kamp-kamp penampungan yang buruk merupakan tempat tumbuhnya berbagai macam penyakit. Salah satu tokoh Rohingya, Sayed Ullah, mengatakan banyak informasi hoaks tentang Covid-19 yang beredar di kamp-kamp pengungsian.

Hal ini disebabkan oleh pemutusan jaringan internet oleh pemerintah Bangladesh.

“Sebagian besar dari kita tidak tahu tentang penyakit ini. Orang-orang hanya mendengar bahwa itu telah membunuh banyak orang. Kami tidak memiliki internet untuk mengetahui apa yang terjadi. Kami hanya mengandalkan rahmat Allah,” ujar Ullah dalam laman yang sama.

Namun pada Jumat (04/12/2020), menurut laporan kantor berita Reuters, pihak berwenang Bangladesh mulai memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke pulau terpencil meskipun ada kekhawatiran tentang keamanan mereka. Sekitar 1.600 pengungsi dipindahkan ke Pulau Bhasan Char.

Otoritas Bangladesh telah membangun pulau itu selama tiga tahun, dengan biaya US$350 juta atau sekitar Rp5,1 triliun. Tujuan mereka adalah merelokasi lebih dari 100.000 pengungsi untuk meredakan ketegangan di dalam kamp-kamp di Bangladesh.

Namun, kelompok pegiat hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan bahwa banyak yang dipindahkan ke pulau itu di luar keinginan mereka. Kelompok-kelompok HAM telah lama berpendapat bahwa pulau itu terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan, rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk permukiman manusia.

Human Rights Watch, Amnesty International dan Fortify Rights sangat menentang relokasi para pengungsi ke pulau itu.

Sungguh sangat prihatin melihat kondisi yang dialami oleh suku Rohingya. Mereka terusir dari tempat tinggalnya dan mengungsi ke Bangladesh namun tidak mendapat kehidupan yang layak dan harus dipindahkan ke pulau terpencil yang tak berpenghuni dan tidak terjamin keamanannya.

Penderitaan Rohingya seolah tak pernah usai. Lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR dan PBB hanya mengeluarkan resolusi dan tak dapat membawa perubahan yang berarti.

Seperti pada tahun 2019. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi yang mengutuk keras pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap muslim Rohingya dan minoritas lainnya, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, serta kematian dalam proses penahanan.

Badan dunia yang beranggotakan 193 negara itu memberikan dukungan 134 suara berbanding 9 suara yang menentangnya, dengan 28 suara menyatakan abstain atas resolusi tersebut pada Jumat (27/12/2019).

Resolusi yang dikeluarkan PBB tidak mengikat secara hukum sehingga itu hanya gambaran pendapat dunia. Kendati sudah banyak fakta dan bukti bahwa Myanmar melanggar HAM dan melakukan kekejaman yang sangat keji namun PBB tidak mengeluarkan hukuman tegas bagi Myanmar.

Bagaimana dengan negara tetangganya yaitu Bangladesh? Bangladesh malah menawarkan solusi yang tak manusiawi. Memindahkan para pengungsi Rohingya ke pulau tak aman dan rawan banjir serta bencana.

Inilah sisi negatif nasionalisme yang tidak disadari. Hanya karena berbeda wilayah dan negara seolah Rohingya bukanlah saudara, dianggap pengungsi dan pencari suaka belaka. Padahal jelas di dalam islam bahwa kaum muslim itu seperti satu tubuh.

”Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim).

Solusi demi mengakhiri derita Rohingya adalah hanya dengan junnah atau kepemimpinan islam. Masalah Rohingya yang tak kunjung selesai karena islam tidak memiliki junnah, sebagai pelindung nyawa umatnya. Padahal terbunuhnya satu nyawa umat muslim itu lebih berharga dari dunia dan seisinya.

‘an ‘Abdillah ibni Amru ‘an an-Nabiy shallallâh ‘alayhi wa sallama, qâla: “lazawâlu ad-dunyâ ahwanun ‘indallâhi min qatli rajulin muslimin –Dari Abdullah bin Amru dari Nabi SAW, Beliau bersabda:

“Sungguh lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah dari pembunuhan seorang muslim-”. (HR an-Nasaiy, at-Tirmidzi, al-Baihaqi).

Bisa kita lihat kisah khalifah Mu’tashim Billah saat mendapat seruan dari seorang muslimah. Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah.

Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Wallahu’alam bi ashowab.[]

*Pegiat Literasi

Comment