Zaim Saidi: Bermula Dengan Konstitusi Menggeser Wahyu Ilahi

Berita402 Views
Zaim Saidi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Mushaf Al Qur’an acap dinista, kadang dibakar, isinya dilecehkan, karena kita semua telah bersikap inkar atas perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Hari ini, kita semua, tak terkecuali kaum Muslim hidup di bawah sistem kufur, yang diterima, diterapkan, dan ditaati. Yakni di bawah konsep dan bentuk strulktur politik negara bangsa, yang dalam perkembangannya kini berbubah menjadi negara fiskal, yang tak lain adalah sistem riba yang haram.
Gagasan tentang bangunan politik negara-bangsa yang dipromosikan sebagai bagian dari modernisme ini dan cara hidup kapitalistik yang dibawanya diawali di Eropa pada abad ke-16 oleh gerakan Renaisans (Kelahiran Kembali). Gerakan intelektual ini kemudian berlanjut dan mengalami puncaknya pada abad ke-18 melalui gerakan Pencerahan (Enlightenment). Sebelum Renaisans masyarakat Eropa memiliki pandangan dunia yang didasarkan kepada wahyu ilahi. Mereka menerima, tanpa keraguan, bahwa Tuhan menciptakan manusia dan dunia seisinya, dan bahwa keseluruhan ciptaan ini diatur oleh hukum Tuhan.
Dalam pandangan dunia sebelumnya manusia memahami bahwa realitas fisik alam semesta hanyalah bagian kecil saja dari realitas kosmologi yang juga mencakup realitas spiritual dan gaib. Hidup di dunia ini hanyalah pengantar ke alam akhirat yang akan membawa manusia hanya pada dua kemungkinan: Surga atau Neraka, tergantung cara hidup dan ketundukan masing-masing kepada hukum Tuhan. Kebenaran Absolut ada pada Tuhan. Cara pandang ini memosisikan manusia di atas alam semesta namun sebatas dalam hubungannya dengan Tuhan, dan segala perbuatan atas alam semesta, harus dipertanggungjawabkan.
Kemudian datanglah para filosof, dimulai oleh Francis Bacon, Rene Descartes, Immanuel Kant, dan para pengikutnya kemudian, yang menghadirkan rasionalisme sains modern. Filsafat yang mereka ajarkan membuat manusia melihat dirinya sebagai mandiri dari sumber ilahiah dan mengubah sama sekali cara pandang manusia atas realitas. Kalau semula manusia mengukur Kebenaran (dengan ’K’ besar) atas dasar Kebenaran Wahyu, kini ukuran kebenaran adalah apakah ia sesuai dengan nalar manusia atau tidak.
Manusia didefinisikan sebagai ’binatang yang berpikir’. ”Saya berpikir maka saya Ada.” Bagi manusia modern kebenaran, bahkan satu-satunya kebenaran, adalah kebenaran ilmiah atau kebenaran yang harus sesuai dengan strukur akal manusia. Sedang Kebenaran, yang kadang kala tampak tidak masuk akal dalam pemahaman ilmiah yang terbatas ini, menjadi sesuatu yang tidak pasti (contingent) atau menjadi sesuatu yang pasti sebagai kebenaran metafisik (dalam pengertian logika).
Pada akhirnya, hanya logika yang dijadikan dasar pencarian kebenaran, hanya sesuatu yang logislah yang dianggap riil dan dapat di-benar-kan. Eksistensi yang tidak riil, tidak dapat diverifikasi secara empiris, tidak dapat dianggap benar. Empirisme dan metode ilmiah yang dikembangkan para ilmuwan ini dianggap telah mampu memberikan penjelasan atas semua fenomena alam. Campur tangan Tuhan di alam semesta, dan eksistensi dunia spiritual, dienyahkan dari realitas alam atau dibatasi dalam wilayah kebenaran ilmiah. Peran Kitab Suci digantikan oleh formula-formula matematik. Manusia menjadi makhluk rasional semata: jika fakta ilmiah tampak bertentangan dengan nas wahyu, maka wahyu ditolak atau direinterpretasikan demi kepentingan sains.
Dengan cara pandang yang baru ini kebanyakan manusia modern tidak lagi percaya pada Tuhan atau mereka yang masih percaya menempatkan Tuhan sebagai penyebab sekunder. Bagi manusia modern Tuhan telah menciptakan alam semesta dan isinya namun, setelah itu, semuanya sepenuhnya bergerak sendiri. Tuhan diintegrasikan ke dalam cara berpikir saintifik. Tuhan menjadi ’Tuhan Pembuat Jam’: setelah jam itu selesai dibuat, ia akan bergerak sendiri sepenuhnya, secara mekanis. Pandangan manusia atas alam semesta juga telah berubah sama sekali. Manusia menempatkan alam semata-mata sekadar sebagai ’stok investasi’, bahkan mendudukkan manusia sendiri sebagai ’sumber daya manusia’.2014
Maka, wajarlah umat Islam dalam posisi tertindas, teruruk, dan dipernbudak. Saatnya bagi umat Islam untuk k embali kepada model kehidupan sosial politiknta sendiri. Mengikuti Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Selama ratusan tahun umat Islam hidup dalam model fitrah ini, yakni Sultaniyya, dengan pra sultan dan amir sebagai pemimpin. Umat Islam harus kembali mempelajari kaidah-kaidahnya dan menerapkannya secara bertahap.
Beberapa rujukan dasar telah kembali terjedia dalam bahasa Indonesia. Misalnya sejoli buku Di Ambang Runtuhnya Demorkasi dan Sultaniyya.[]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment