Penulis: Reni Rosmawati | Pegiat Literasi Islam Kafah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Perkembangan teknologi digital kerap dipuji sebagai simbol kemajuan zaman. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, algoritma platform digital justru menghadirkan ancaman serius bagi generasi muda.
Judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) menjadi bukti nyata bagaimana ruang digital berubah menjadi ladang eksploitasi, terutama bagi kelompok muda dengan keterbatasan ekonomi.
Sebagaimana ditulis Kompas.id (5/12/2025), algoritma platform digital secara sengaja menargetkan pemuda laki-laki dengan sumber daya finansial terbatas sebagai sasaran utama iklan judol dan pinjol.
Penelitian di Spanyol bahkan menunjukkan iklan produk keuangan berisiko lebih banyak diarahkan kepada anak muda kelas sosial ekonomi bawah, sementara kelompok ekonomi atas justru disuguhi iklan perjalanan dan gaya hidup.
Algoritma media sosial bekerja dengan membaca jejak digital pengguna—mulai dari usia, jenis kelamin, interaksi, waktu tonton, hingga kecenderungan emosional. Data ini kemudian diolah untuk menyajikan konten yang paling berpotensi memengaruhi keputusan pengguna.
Semakin sering seseorang berinteraksi dengan konten judol dan pinjol, semakin intens pula konten serupa membanjiri linimasanya.
Sejumlah negara seperti Inggris dan negara-negara Eropa merespons ancaman ini dengan regulasi ketat terhadap platform digital dan perlindungan data pribadi.
Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah memblokir sekitar 5,7 juta konten terkait judol dan pinjol. Namun langkah ini belum menyentuh akar persoalan.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat sekitar 8,8 juta orang terlibat judi online, dengan 71 persen di antaranya berasal dari kelompok berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Indonesia bahkan menempati posisi teratas jumlah pemain judol di Asia Tenggara.
Fenomena pinjol tak kalah mengkhawatirkan. Sebagaimana dilansir KompasBandung.com (28/11/2025), riset Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menemukan 58 persen Gen Z menggunakan pinjol untuk kebutuhan gaya hidup dan hiburan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat lonjakan signifikan generasi muda yang terjerat utang berbunga tinggi.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa persoalan judol dan pinjol tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menguasai ruang digital. Dalam sistem ini, data pengguna diperlakukan sebagai komoditas, sementara algoritma dijalankan demi keuntungan semata.
Di saat yang sama, kemiskinan struktural akibat pengelolaan sumber daya yang tidak berpihak pada rakyat mendorong generasi muda mencari jalan pintas keluar dari tekanan ekonomi.
Selama logika kapitalisme tetap menjadi fondasi, pemblokiran konten hanya bersifat sementara. Platform digital akan terus menyuplai konten serupa selama masih ada pasar dan keuntungan.
Islam menawarkan solusi yang lebih mendasar. Islam tidak menolak teknologi, tetapi mengaturnya agar berfungsi untuk kemaslahatan umat. Dalam Islam, ruang digital tidak diserahkan pada mekanisme pasar, melainkan diawasi negara agar tidak menjadi sarana penyebaran kemaksiatan seperti judol dan pinjol sejak dari desain sistemnya.
Sistem ekonomi Islam juga mewajibkan negara menjamin kebutuhan dasar rakyat dan menyediakan lapangan kerja yang luas, sehingga generasi tidak terdorong mencari solusi instan melalui praktik haram. Pendidikan Islam pun diarahkan untuk membentuk kepribadian yang menjadikan halal dan haram sebagai standar hidup.
Ketika akidah tertanam kuat, godaan algoritma digital tak lagi menentukan nasib generasi. Judi dan riba tetap jelas sebagai perbuatan haram sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, perlindungan generasi muda dari jerat algoritma digital tidak cukup dengan regulasi teknis semata. Diperlukan perubahan sistemis yang menempatkan teknologi, ekonomi, dan pendidikan dalam kerangka nilai Islam agar generasi benar-benar selamat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]









Comment