Amerika Shutdown, Paksa Israel Gencatan Senjata Dengan Hamas

Dari Redaksi321 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Pemerintah Amerika Serikat kembali mengalami shutdown setelah Kongres gagal mencapai kesepakatan anggaran. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar lembaga federal berhenti beroperasi, memicu gejolak politik dan ekonomi di dalam negeri.

Namun, dampaknya tak berhenti di Washington. Ketegangan fiskal Amerika kini ikut mengguncang Timur Tengah, khususnya dalam konflik panjang antara Israel dan Palestina.

Krisis fiskal tersebut menyoroti keterkaitan erat antara kebijakan ekonomi domestik Amerika dan manuver politik luar negerinya. Dalam situasi ini, Israel menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.

Dukungan besar AS—baik militer, finansial, maupun diplomatik—selama ini menjadi tulang punggung kekuatan Israel di kawasan. Ketika Amerika menghadapi kebuntuan anggaran, prioritas global pun terpaksa disesuaikan.

Krisis Fiskal Amerika dan Imbas Global

Utang publik Amerika kini telah menembus 35 triliun dolar AS, dengan defisit yang terus melebar akibat besarnya belanja militer dan bantuan luar negeri. Kondisi tersebut menimbulkan tekanan kuat terhadap Gedung Putih untuk menata ulang alokasi dana.

Akibatnya, sebagian program luar negeri mengalami pembatasan, termasuk paket bantuan tahunan sebesar 3,8 miliar dolar AS untuk Israel. Sejumlah analis menyebut bahwa melemahnya kemampuan fiskal Amerika turut mempercepat keputusan Washington untuk menekan Tel Aviv agar menerima gencatan senjata.

“Dalam kondisi shutdown, opini publik Amerika mengarah ke pemulihan ekonomi dalam negeri, bukan mendanai perang di luar negeri,” ujar Mark Thompson, analis politik dari George Washington University. “Washington kini menilai, menghentikan perang justru menjadi cara untuk menghemat biaya dan menjaga citra global.”

Fakta di Gaza: Tragedi Kemanusiaan Tak Berhenti

Sementara tekanan politik meningkat, kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza tetap mengenaskan. Data otoritas kesehatan Palestina hingga awal Oktober 2025 mencatat lebih dari 60.000 warga Palestina tewas sejak 7 Oktober 2023, termasuk lebih dari 28.000 perempuan dan anak-anak.

Lebih dari 127.000 orang terluka, dan ribuan lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa 543 petugas kemanusiaan tewas selama konflik, menjadikannya perang paling mematikan bagi pekerja kemanusiaan dalam sejarah modern.

Kerusakan infrastruktur juga luar biasa. Data pemantauan satelit menunjukkan lebih dari 191.000 bangunan rusak atau hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik. Nilai kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 20 miliar dolar AS, atau hampir setara dengan separuh PDB Palestina sebelum perang.

“Gencatan senjata sementara” yang diumumkan beberapa pekan lalu hanya memberi ruang terbatas bagi distribusi bantuan. Serangan udara sporadis masih terjadi di wilayah Khan Younis dan Rafah, memperlihatkan bahwa jeda perang belum berarti damai.

Israel dan Bayang-bayang Amerika

Kekuatan militer Israel selama ini ditopang penuh oleh Amerika. Dari sistem pertahanan udara Iron Dome hingga jet tempur F-35, hampir seluruh perangkat kunci militer Israel merupakan hasil kerja sama strategis dengan Washington.

Namun shutdown kali ini memperlihatkan sisi rapuh dari ketergantungan itu. Tanpa suplai anggaran stabil, Israel menghadapi kesulitan dalam mempertahankan operasi militer jangka panjang.

“Israel kuat karena Amerika,” kata pengamat politik Timur Tengah, Ibrahim al-Nashir, dari Al Jazeera Centre for Studies. “Begitu Amerika sibuk dengan urusan dalam negerinya, kekuatan Israel ikut melemah. Itu sebabnya tekanan untuk gencatan senjata meningkat.”

Gencatan Senjata: Diplomasi atau Strategi Bertahan?

Sejumlah analis menilai gencatan senjata kali ini bukan hasil kesepakatan damai yang tulus, melainkan strategi bertahan dari Israel.

Benar bahwa gencatan ini dilakukan israel sebagai sebuah strategi dan keterpaksaan karena Amerika yang kini menghadapi kondisi pelik di dalam negeri sehingga menghadapi government shutdown.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menegaskan bahwa Israel “tidak pernah benar-benar berhenti menyerang.” Sementara diplomat Eropa menyebut bahwa Tel Aviv tengah memanfaatkan gencatan senjata untuk menurunkan tekanan global sekaligus menata ulang kekuatan di lapangan.

Dalam sejarah konflik, Israel memang kerap menggunakan jeda gencatan senjata untuk memperkuat pos militernya dan mengamankan opini publik internasional. Setelah tekanan mereda, serangan biasanya kembali terjadi dengan alasan keamanan nasional.

Umat Islam Tolak Solusi Dua Negara

Pandangan ini mencerminkan sikap luas umat Islam dunia. Mayoritas organisasi Islam internasional dan kelompok perlawanan Palestina, termasuk Hamas, menolak konsep two-state solution.

Mereka menilai, solusi dua negara hanya akan melegitimasi pendudukan Israel atas tanah yang sejak 1948 secara sepihak diambil dari rakyat Palestina.

“Solusi sejati adalah Palestina merdeka, dan Israel meninggalkan seluruh wilayah pendudukan,” kata Khaled Meshaal, tokoh senior Hamas, dalam pernyataannya baru-baru ini.

Pernyataan senada datang dari OIC dan sejumlah pemimpin Muslim dunia, yang menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya akan lahir bila prinsip keadilan ditegakkan.

Dalam perspektif dunia Islam, gencatan senjata sejati berarti berakhirnya penindasan dan kembalinya hak rakyat Palestina atas tanah, air, dan kedaulatannya. Itulah prototipe perdamaian yang hakiki—bukan perdamaian semu yang bergantung pada kepentingan politik global.

Berbagai negara Islam terus memperkuat diplomasi kemanusiaan. Turki dan Qatar aktif memediasi pembicaraan internasional. Indonesia sendiri menegaskan dukungannya bagi kemerdekaan penuh Palestina, dan terus menyalurkan bantuan melalui lembaga kemanusiaan.

Di tingkat masyarakat, gerakan boycott, penggalangan dana, hingga kampanye kesadaran publik terus berlangsung. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kampus dan komunitas muda Muslim di berbagai negara menggelar Global March for Gaza menyerukan penghentian genosida dan pembebasan Palestina.

Begitupun yang baru baru ini menjadi headline dunia, kepedulian para relawan dari berbagai penjuru dunia menerobos blokade perbatasan dengan aksi Global Sumud Flotilla.

Langkah-langkah ini menjadi penanda bahwa solidaritas dunia Islam bukan hanya seruan emosional, tetapi upaya nyata untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan global.

Gencatan senjata yang muncul di tengah shutdown Amerika menunjukkan betapa eratnya hubungan antara dinamika ekonomi domestik Washington dan konflik internasional yang melibatkan Israel.

Kelemahan fiskal Amerika melemahkan kekuatan Israel—membuktikan bahwa kekuasaan Tel Aviv sesungguhnya bertumpu pada dukungan luar, bukan kemandirian.

Namun di sisi lain, tragedi kemanusiaan di Gaza terus menegaskan bahwa “gencatan senjata” belum berarti damai. Selama penjajahan berlangsung, perdamaian hanyalah kata tanpa makna.

Bagi umat Islam, perdamaian sejati bukan sekadar penghentian tembakan, melainkan pembebasan total rakyat Palestina dari penindasan.

Inilah hakikat dan arah sejati dari gencatan senjata yang diinginkan dunia Islam—perdamaian yang adil, merdeka, dan bermartabat bagi seluruh manusia tanpa Israel di Palestina.[]

Comment