Penulis: Retnaning Putri, S.S | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bencana alam kerap menjadi cermin yang memperlihatkan sejauh mana negara benar-benar hadir bagi warganya. Saat rasa aman paling dibutuhkan, publik berhak bertanya, apakah negara tampil sebagai pelindung, atau justru menghilang?
Beberapa pekan terakhir, Sumatra kembali dilanda banjir dan longsor yang meninggalkan kerusakan fisik sekaligus luka sosial. Namun, yang paling mengusik bukan semata bencana itu sendiri, melainkan lambannya respons dan pembenahan yang seolah terus berulang dari waktu ke waktu.
Pertanyaan mengenai kehadiran negara menjadi relevan karena Indonesia bukan kekurangan peringatan. Kerentanan wilayah terhadap bencana telah lama dikaji, dipetakan, dan disuarakan.
Namun, di balik setiap musibah, selalu muncul persoalan struktural yang jarang disentuh secara serius. Cara negara memandang ruang hidup rakyat, kebijakan tata ruang yang longgar, pembiaran alih fungsi lahan, serta relasi ekonomi-politik yang menempatkan kepentingan investasi di atas keselamatan warga, membentuk pola kerentanan yang sistemik.
Bencana dalam skala besar tidak lagi dapat dipahami sebagai peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Secara formal, negara memiliki perangkat hukum, lembaga kebencanaan, dan anggaran.
Namun, efektivitas semua itu sering kali tidak terasa di lapangan, terutama pada saat-saat krusial ketika masyarakat membutuhkan perlindungan nyata, bukan sekadar prosedur administratif.
Minimnya kesiapsiagaan bukan semata soal teknologi peringatan dini atau keterbatasan dana. Akar persoalannya terletak pada paradigma pembangunan yang terus mengorbankan daya dukung lingkungan.
Proyek-proyek besar tetap dilanjutkan tanpa kajian ekologis yang memadai, sementara praktik perizinan yang bermasalah memperparah kondisi. Ketika bencana datang, negara terlihat hadir dalam bentuk bantuan sementara, tetapi absen dalam pembenahan mendasar yang seharusnya memutus siklus bencana.
Dalam situasi ini, wajar jika kepercayaan publik tergerus. Institusi negara seharusnya menjadi sumber kepastian dan rasa aman. Namun, kegagalan menata ruang hidup secara adil justru melahirkan dampak lanjutan berupa kerusakan psikologis dan sosial.
Komunitas lokal dipaksa membangun mekanisme bertahan hidup sendiri, sering kali melampaui kapasitas mereka, karena dukungan struktural tidak dapat sepenuhnya diandalkan.
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah fragmentasi kewenangan dan tumpang tindih regulasi. Struktur birokrasi yang berlapis-lapis kerap menghambat koordinasi di lapangan.
Distribusi bantuan pun tersendat oleh prosedur administratif yang panjang, sehingga tidak jarang bantuan datang terlambat dan tidak merata. Narasi keberhasilan yang disampaikan ke publik sering kali berjarak dengan realitas pahit yang dialami para korban.
Ketika bencana berubah menjadi panggung pencitraan, jarak antara negara dan rakyat semakin melebar. Padahal, musibah seharusnya menjadi momentum evaluasi arah pembangunan dan penguatan sistem mitigasi yang berkeadilan.
Selama kebijakan publik masih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, bencana akan terus menjadi siklus yang berulang. Pertanyaan mendasarnya pun bergeser – bukan lagi bagaimana merespons bencana, melainkan bagaimana membangun negara yang benar-benar hadir sebelum bencana terjadi.
Dalam perspektif tata kelola Islam, penanganan bencana tidak diperlakukan sebagai respons darurat semata, tetapi sebagai kewajiban negara dalam menjaga jiwa, harta, dan keamanan rakyat.
Negara berkewajiban hadir sebelum, saat, dan setelah bencana melalui perencanaan yang matang dan sistemik. Pengelolaan keuangan publik ditempatkan secara jelas, termasuk penyediaan dana khusus untuk kondisi darurat, sehingga respons tidak bergantung pada lobi politik atau kepentingan investor.
Negara juga wajib memetakan wilayah rawan, membangun infrastruktur tangguh, serta mengelola sumber daya alam secara ketat agar aktivitas ekonomi tidak memperbesar risiko bencana.
Ketika musibah terjadi, aparat bergerak cepat melalui satu komando yang terkoordinasi, memastikan distribusi logistik menjangkau hingga wilayah terpencil tanpa hambatan birokrasi. Jika kebutuhan melebihi kas negara, pembiayaan tidak dibebankan kepada rakyat kecil, melainkan ditopang oleh mekanisme yang adil dan proporsional.
Prinsip ri‘ayah syu’unil ummah menempatkan pemimpin sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan rakyat. Kegagalan melindungi nyawa warga tidak dipandang sekadar kesalahan teknis, tetapi sebagai pelanggaran amanah publik. Transparansi pengelolaan dana dan kepekaan terhadap penderitaan rakyat menjadi standar moral sekaligus hukum.
Selain itu, kesiapsiagaan dibangun melalui edukasi publik dan penguatan komunitas. Negara memastikan masyarakat memahami potensi ancaman di lingkungannya, memiliki akses pada informasi akurat, serta dibekali pelatihan mitigasi.
Teknologi dan data digunakan untuk memetakan risiko secara strategis, bukan sekadar mendukung proyek. Dengan koordinasi antarlembaga yang solid dan visi jangka panjang yang berorientasi pada keselamatan manusia, penanganan bencana tidak lagi bersifat reaktif dan simbolik.
Selama pendekatan negara terhadap bencana masih setengah hati, setiap musim hujan dan setiap gempa besar akan terus mengingatkan bahwa negara yang seharusnya melindungi, sering kali belum benar-benar hadir.[]









Comment