Penulis: Jumratul Sakdiah, S.Pd. | Pendidik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bencana alam kembali melanda sebagian wilayah Pulau Sumatera. Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh menjadi provinsi yang terdampak banjir bandang dahsyat di penghujung tahun 2025.
Luapan air yang datang tiba-tiba menerjang permukiman warga, menyapu rumah-rumah hingga nyaris tak bersisa, meninggalkan duka mendalam bagi ribuan korban.
Data sementara menunjukkan jumlah korban jiwa terus bertambah setiap harinya. Ratusan orang dinyatakan meninggal dunia, sementara ratusan lainnya masih dinyatakan hilang. Jutaan warga terpaksa mengungsi, berdesakan di tempat-tempat yang dianggap lebih aman, meski dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Di tengah keterbatasan itu, para korban selamat berjuang untuk bertahan hidup. Bantuan yang diharapkan tak kunjung datang secara merata. Kondisi tersebut memicu terjadinya penjarahan di sejumlah wilayah akibat kelaparan dan desakan kebutuhan hidup yang tak tertahankan.
Di Aceh, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues hingga kini masih terisolasi. Ratusan jembatan dilaporkan putus, menyebabkan akses bantuan hanya dapat ditempuh melalui jalur udara.
Akibatnya, proses distribusi logistik berjalan sangat lambat. Bahkan, hampir dua pekan pascabencana, sejumlah daerah mengaku belum tersentuh bantuan sama sekali.
Dalam kondisi darurat itu, warga akhirnya berusaha bertahan dengan kemampuan sendiri. Warga Bener Meriah, misalnya, terpaksa berjalan kaki berjam-jam menembus hutan demi mencapai Kabupaten Bireuen hanya untuk mendapatkan beras. Sebuah ironi di tengah bencana yang kian menguras tenaga dan harapan.
Keterisolasian ini tak hanya disebabkan putusnya akses jalan, tetapi juga terhentinya jaringan listrik dan internet. Lengkap sudah penderitaan para korban banjir bandang. Mereka tampak lelah berharap pada penguasa yang dinilai lamban dalam melakukan mitigasi dan penanganan bencana.
Ironisnya, hingga kini bencana dahsyat tersebut belum ditetapkan sebagai bencana nasional, sehingga anggaran penanganan menjadi sangat terbatas.
Pemerintah kabupaten dan provinsi pun mengaku kewalahan tanpa kehadiran penuh pemerintah pusat, terlebih pemulihan pascabencana diperkirakan memerlukan waktu puluhan tahun.
Berbicara tentang mitigasi, seharusnya langkah utama yang dilakukan negara adalah pencegahan sebelum bencana terjadi. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Tata kelola hutan dalam sistem demokrasi-kapitalistik berjalan bebas dan longgar.
Perizinan penebangan hutan dengan mudah disahkan, baik untuk kepentingan perkebunan sawit maupun eksploitasi kayu bernilai ekonomi tinggi.
Padahal, hutan memiliki fungsi vital sebagai penyangga ekosistem, penahan air hujan, serta pencegah banjir bandang.
Meski sawit kerap disebut sebagai pohon, faktanya tanaman ini memiliki akar serabut yang tidak mampu menyerap dan menahan air sebanyak pohon berakar tunggang. Alih fungsi hutan secara masif inilah yang memperbesar risiko bencana hidrometeorologi, termasuk banjir bandang.
Inilah potret kegagalan tata kelola negara berbasis sistem kapitalisme. Kepentingan pemodal dan korporasi lebih diutamakan dibanding keselamatan rakyat. Keuntungan segelintir pihak berbanding lurus dengan kerugian besar yang harus ditanggung masyarakat.
Negara seolah lepas tangan, padahal ia adalah pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kebijakan yang melahirkan bencana.
Musibah tidak datang tanpa sebab. Kerusakan hutan akibat eksploitasi berlebihan terbukti merusak habitat makhluk hidup, baik manusia maupun hewan. Melalui bencana ini, Allah SWT seakan menyingkap kegagalan sistem demokrasi dalam mengurusi kehidupan manusia. Slogan “demi rakyat” kerap digaungkan, namun kebijakan yang lahir justru berpihak pada kapitalis dan elite kekuasaan.
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini terbukti mencederai hukum-hukum Allah SWT. Banyak aturan Ilahi yang tak dapat dijalankan selama sistem ini tetap berdiri. Pongahnya manusia terhadap aturan Allah membuat persoalan demi persoalan terus bermunculan, sementara solusi yang ditawarkan sebatas tambal sulam dan jauh dari akar masalah.
Seharusnya, bencana ini menjadi momentum muhasabah bagi negara. Tidak ada aturan yang layak dijadikan pedoman selain aturan Islam. Islam dengan sistemnya yang sempurna mengharamkan penebangan hutan secara liar dan mewajibkan negara mengelola sumber daya alam demi kemaslahatan rakyat. Tanaman komersial seperti sawit pun dibatasi sesuai kebutuhan, tanpa merusak keseimbangan alam.
Bahkan, jika seluruh upaya pencegahan telah dilakukan namun bencana tetap terjadi, negara dalam sistem Islam akan memastikan mitigasi dan pemulihan pascabencana berjalan maksimal dan cepat, sehingga penderitaan rakyat tidak berlarut-larut. Wallahu a’lam bish-shawab.[]









Comment