Bencana Sumatra: Jeritan Bumi di Tengah Tekanan Pembangunan

Opini30 Views

 

Penulis: Diah Pipit | Penulis buku Jerat-Jerat Feminisme

Di lereng-lereng hijau Sumatra yang dahulu menenangkan, kini air bah datang membawa duka. Sungai-sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan meluap tanpa kendali, menyeret lumpur, batu, dan kenangan warga yang tak sempat diselamatkan. Desa-desa terendam, rumah-rumah runtuh, dan ratusan keluarga kehilangan tempat berpulang.

Pada Minggu, 14 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 1.016 jiwa meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatra. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan potret kehilangan yang mendalam—tentang ibu yang kehilangan anak, tentang keluarga yang kehilangan masa depan.

Bencana ini tak bisa dipandang semata sebagai peristiwa alam biasa. Ia menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang tak lagi seimbang antara manusia dan lingkungannya.

Curah hujan memang tinggi, sebagaimana lazim terjadi di penghujung tahun. Namun hujan hanya menjadi pemicu, bukan akar persoalan. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang masif, lereng yang kehilangan tutupan vegetasi, serta sungai yang tak lagi memiliki penyangga alami telah memperlemah daya dukung bumi. Dari Aceh hingga Sumatra Barat, alam seakan dipaksa menanggung beban yang melampaui kemampuannya.

Pemerintah pusat menyatakan keseriusannya dalam penanganan bencana ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan bahwa meski status bencana nasional belum ditetapkan secara resmi, penanganannya sudah dilakukan dengan pendekatan nasional.

Presiden dan sejumlah menteri turun langsung, sementara Kementerian Keuangan mengalokasikan lebih dari Rp500 miliar untuk mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi.

Anggaran tersebut diperuntukkan bagi pemulihan infrastruktur, bantuan bagi lebih dari 100 ribu keluarga terdampak, serta pembangunan kembali fasilitas umum seperti sekolah dan tempat ibadah.

Namun di tengah langkah-langkah darurat itu, muncul pertanyaan yang patut direnungkan bersama: mengapa bencana serupa terus berulang? Mengapa upaya pencegahan seolah selalu kalah cepat dibanding dampak yang ditimbulkan?

Banjir bandang dan longsor ini tidak hadir secara tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari kebijakan pembangunan yang kerap mengabaikan keseimbangan lingkungan.

Pemberian konsesi lahan, ekspansi perkebunan skala besar, serta aktivitas pertambangan yang minim pengawasan telah mengubah bentang alam Sumatra secara signifikan.

Regulasi yang longgar dan orientasi ekonomi yang menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama membuat alam diperlakukan sebagai objek eksploitasi, bukan amanah yang harus dijaga.

Dalam konteks inilah, bencana lingkungan tidak lagi bisa dilepaskan dari sistem pengelolaan sumber daya alam. Ketika hutan dipandang semata sebagai komoditas dan tanah sebagai aset ekonomi, maka risiko ekologis menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.

Masyarakat di sekitar kawasan terdampak akhirnya menjadi pihak yang paling rentan, menanggung akibat dari keputusan yang sering kali tidak melibatkan mereka.

Islam sejak awal menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan penguasa yang bebas berbuat sesuka hati. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan manusia sendiri (QS. Ar-Rum: 41).

Ayat ini bukan sekadar peringatan moral, tetapi juga panduan etis dalam mengelola alam. Kerusakan lingkungan adalah cermin dari kegagalan manusia menjaga amanah.

Dalam perspektif Islam, negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pengelolaan alam dilakukan secara adil dan berkelanjutan.

Hutan bukan untuk dijual habis, melainkan dijaga fungsinya. Tambang dan industri tidak boleh berjalan jika membawa mudarat yang lebih besar. Tata ruang harus disusun berdasarkan daya dukung lingkungan, dengan melibatkan para ahli dan mempertimbangkan keselamatan generasi mendatang.

Bayangan tentang kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan umat bukanlah utopia. Dalam sistem pemerintahan Islam, pemimpin dipandang sebagai pelayan rakyat yang bertanggung jawab di hadapan Allah.

Pencegahan bencana menjadi bagian dari kebijakan utama, bukan sekadar respons setelah musibah terjadi. Anggaran disiapkan untuk mitigasi, edukasi, dan pemulihan lingkungan, sehingga risiko dapat ditekan sejak awal.

Bencana di Sumatra seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Ia mengingatkan bahwa pembangunan tanpa etika lingkungan hanya akan melahirkan kerugian jangka panjang. Sudah saatnya arah pembangunan dikaji ulang, dengan menempatkan keselamatan manusia dan kelestarian alam sebagai prioritas utama.

Sumatra bukan sekadar wilayah yang dilanda bencana, tetapi pesan bagi kita semua. Pesan bahwa bumi memiliki batas, dan manusia memiliki tanggung jawab. Jika amanah ini dijaga, alam tak lagi hadir sebagai ancaman, melainkan sebagai sahabat yang memberi kehidupan.[]

Comment