Bencana Sumatra – Nyata, Bukan Sekadar “Ujian Alam”

Opini53 Views

Penulis: Jumarni Dalle, A.Md.Keb., S.K.M., S.H., M.H. : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di penghujung tahun 2025, hujan deras dan tanah longsor tak cuma menghantam puncak perbukitan tapi juga merobohkan harapan ribuan keluarga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Desa-desa dipenuhi lumpur, jalan-jalan terputus, rumah hancur, dan korban terus berjatuhan.

Menurut rilis BNPB per Kamis, 4 Desember 2025 pukul 16.00 WIB sebagaimana dikutip detiknews (4/12)2025), korban meninggal akibat banjir dan longsor di Sumatra telah mencapai 836 jiwa. Selain itu, tercatat 518 orang hilang dan lebih dari 2.700 orang luka-luka.

Data dampak fisik juga mengerikan diantaranya yaitu ribuan rumah rusak, bersama fasilitas umum dan infrastruktur penting menunjukkan skala bencana ini jauh melampaui kerugian materi biasa.

Angka itu hanyalah sebagian dari duka yang dialami, data korban terus diperbarui seiring operasi pencarian dan evakuasi. Banyak korban belum ditemukan, banyak keluarga kehilangan rumah dan harapan hidup.

Di tengah puing dan tangisan, muncul pertanyaan mendasar: jika bencana ini lebih dari sekadar hujan deras, apa yang sesungguhnya terjadi terhadap alam dan kebijakan manusia?

Fenomena ini sering dikatakan sebagai “bencana alam” atau “ujian dari Tuhan.” Namun kenyataannya, dampaknya sangat parah, jauh melebihi apa yang bisa dijelaskan semata oleh faktor curah hujan ekstrem.

Bencana sebagai Dampak Kronis Perusakan Lingkungan dalam Kapitalisme

Bencana bukan hanya “alamiah”, melainkan hasil akumulasi kejahatan lingkungan. Beberapa pakar dan organisasi lingkungan menunjukkan bahwa degradasi ekosistem termasuk kerusakan hutan di daerah hulu DAS dapat memperburuk efek hujan ekstrem.

Penyebab banjir bandang dan longsor saat ini bukan semata akibat hujan deras. Namun, lebih dari itu ada penurunan daya tampung wilayah, karena pengerukan lahan, konversi hutan, pembukaan lahan sawit dan tambang, serta pemberian konsesi lahan besar-besaran. Semua ini menipiskan daya serap air, mempercepat erosi, dan merusak stabilitas alam.

Seperti diungkap oleh pakar UGM Dr. Hatma Suryatmojo melalui ugm.ac.id (02/12/25) bahwa tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 pada dasarnya merupakan akumulasi dari ‘dosa ekologi’ jangka panjang di kawasan hulu DAS.

Cuaca ekstrem hanya menjadi pemicu; besarnya dampak mencerminkan tingkat kerusakan lingkungan dari hulu hingga hilir.

Pendekatan ekoteologis yang sering digaungkan menekankan bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan amanah yang harus dijaga dan ketika alam dirusak, maka bencana menjadi salah satu konsekuensi nyata. (Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis, 11/2025)

Namun, ketika itu hanya sekadar gagasan dan tanpa menyentuh pemangku kebijakan maka itu takkan berefek signifikan.

Faktanya, laman kompas.com (13/05/20) menulis bahwa sejumlah kebijakan dan regulasi terutama terkait izin konsesi, pertambangan, dan perizinan lahan telah mendapat kritik karena potensi besar merusak lingkungan. Misalnya, Undang Undang Minerba (UU Minerba) dinilai memperburuk kelestarian lingkungan hidup karena banyak perusahaan tambang mendapat izin tanpa kewajiban reklamasi dan pascatambang yang jelas.

Begitu pula regulasi usaha dan investasi lahan di era omnibus law seperti Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagaimana ditulis ylbhi.or.id (05/06/22) mendapat sorotan karena kemudahan izin yang bisa melemahkan persyaratan lingkungan membuka ruang bagi deforestasi, alih fungsi lahan, dan ekspansi perkebunan atau tambang tanpa kontrol ekologis ketat.

Dalam praktiknya, deregulasi dan kelonggaran seperti ini memberi peluang bagi korporasi besar dan elit kekuasaan untuk menguasai sumber daya alam dan lahan luas. Karena pengawasan lemah dan persyaratan lingkungan yang longgar, hak masyarakat lokal dan kelestarian ekosistem sering terabaikan.

Dengan demikian, dalam sistem kapitalisme modern yang dibingkai regulasi liberal ini, ada potensi bahwa pencarian profit jangka pendek mengorbankan keseimbangan alam dan keselamatan komunitas yang membuat rakyat dan lingkungan menjadi korban dari kebijakan dan perizinan yang tidak berkeadilan.

Musibah sebagai manifestasi nyata dari kerusakan lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran. Banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahwa ketika alam terus dijarah tanpa perhitungan ekologis, kerusakan lingkungan yang dulunya lambat, sekarang terjadi masif dan menyerang langsung kehidupan manusia.

Negara yang mengabaikan prinsip keadilan alam dan kesejahteraan umum.

Sistem sekuler demokrasi kapitalis tidak selalu menjamin bahwa keputusan politik memperhitungkan keberlanjutan lingkungan atau kesejahteraan umat secara hakiki. Akibatnya, masyarakat kecil menderita, sedangkan pengusaha dan pemegang konsesi tetap mengecap keuntungan.

Konstruksi dari Perspektif Islam: Hukum Allah sebagai Solusi Lingkungan

Dalam Al-Qur’an, manusia diperintahkan menjaga bumi, tidak merusaknya dan menggunakan sumber daya dengan adil. Kerusakan di bumi akibat ulah manusia adalah peringatan nyata. Sebagaimana termaktub dalam surah Ar-Rum:41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; (demikian) supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Sebagai umat Islam, menjaga kelestarian lingkungan bukan sekadar “tugas sosial” tapi kewajiban iman. Sistem pemerintahan berdasarkan syariat Islam mensyaratkan amanah terhadap alam, bukan eksploitasi tanpa batas.

Negara harus aktif mengatur fungsi lahan sesuai kodrat alamnya, mana yang untuk pemukiman, mana untuk ekonomi, mana untuk konservasi. Konsesi besar tanpa batas harus diganti dengan manajemen lahan adil, lestari, dan bertanggung jawab.

Dalam Islam negara menyediakan anggaran mitigasi dan perlindungan lingkungan. Dengan pendekatan Islami, negara tidak hanya reaktif terhadap bencana, tapi proaktif yaitu memetakan kawasan rawan bencana, menanam kembali hutan, menjaga daya serap air, dan membiayai pencegahan demi melindungi rakyat dari dharar (bahaya).

Hanya dengan menjalankan hukum Allah sebagai Pencipta alam itu sendiri, perlindungan terhadap manusia dan alam bisa maksimal. Seorang pemimpin sebagai pemegang amanah menjadikan kesejahteraan umat dan lingkungan sebagai prioritas, bukan keuntungan segelintir orang.

Kebijakan dibuat untuk kemaslahatan umum, bukan untuk eksploitasi semata. Maka bencana seperti di Sumatra dapat diminimalisir bahkan mungkin dihindari.

Bencana Sumatra sebagai Peringatan Saatnya Bangun Sistem Berkeadilan

Banjir bandang dan longsor di Sumatra bukan sekadar tragedi sesaat, tapi cermin dari sistem yang rusak yaitu sistem kapitalisme dan politik kekuasaan yang memberi ruang bagi eksploitasi besar-besaran atas alam. Ini bukan “takdir alam” semata melainkan akibat keputusan manusia dan kebijakan penguasa di dalamnya.

Bagi umat Islam, ini adalah panggilan untuk introspeksi. Sudahkah kita menjalankan amanah menjaga bumi? Sudahkah kita mengintropeksi pemerintah agar bertanggung jawab terhadap lingkungan dan rakyat?

Hanya dengan kembali pada hukum Allah, Pencipta seluruh alam – yang mewajibkan keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab terhadap makhluk dan alam kita bisa berharap bencana seperti ini tidak terus terulang.

Semoga negara dan rakyat terbuka hatinya untuk memperbaiki cara mengatur dan menghuni bumi sebelum alam menuntutnya kembali dengan bencana yang jauh lebih besar.[]

Comment