Darurat Boneka Seks dan Desakralisasi Ketahanan Keluarga

Opini83 Views

 

Penulis: Ali Mursyid Azisi, M.Ag | Researcher, Cendekiawan Muda NU, Anggota PW LTN NU Jatim 2024-2029 dan Anggota Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation)

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Di era digital ini, kemajuan teknologi dan inovasi baru telah membuka berbagai peluang, tak terkecuali dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual. Fenomena kelainan seksual di Indonesia menunjukkan tren yang semakin marak dan beragam, salah satunya adalah penggunaan boneka seks.

Russel Belk (2022) dalam artikelnya Artificial Emotions and Love and Sex Doll Service Workers menegaskan bahwa boneka seks hadir sebagai alternatif bagi mereka yang ingin memenuhi kebutuhan seksual tanpa harus terikat pernikahan. Dibuat semirip mungkin dengan manusia, boneka ini dirancang untuk membangkitkan fantasi seksual penggunanya.

Boneka seks hingga dewasa ini diperjualbelikan di berbagai negara, seperti Jepang, China, Afrika Selatan, Australia, Eropa, hingga menjamur ke Indonesia. Bahkan, penjualan boneka seks di Indonesia pada 2024 semakin meningkat dan mudah ditemui di berbagai platform, seperti BliBli.com, Tokopedia.com, Instagram, Facebook dan TikTok.

Di marketplace BliBli.com, harga per satu boneka seks dibandrol mulai Rp1.780.000 hingga Rp55.675.000. Produsennya tersebar di berbagai wilayah meliputi Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Sleman, Sidoarjo, serta Kota Malang.

Lalu TokoPedia, boneka seks dibandrol mulai Rp. 8.000.000 hingga Rp. 28.260.000, dengan titik penjualannya tersebar dari Jakarta, Bogor, Sleman, hingga Surabaya. Di Youtube, promosi pemuas seksual ini telah diakses 787.403 kali oleh pengguna media sosial.

Hal serupa juga mewabah di Facebook sepanjang 2024, setidaknya terdapat 48 akun resmi penjual boneka seks dengan total 261.732 followers, 69.794 like, 1.977 komentar dan dilihat lebih dari 94.823 kali. Begitu pula di Instagram, terkhusus pada akun @silikonfull_body dan @nfu.id jumlah pengikutnya mencapai 19.159, respon positif berupa like hingga 117.997 dan ditonton lebih dari 253.381 kali.

Terakhir di palform TikTok, khususnya pada akun @bonekasex dan @dindatoys dengan jumlah viewers lebih dari 7.379.000, 29.535 like, 1.225 komentar, 5.080 video disimpan dan dibagikan 2.454 kali.

Agalmatofilia: Pergeseran Orientasi Seksual yang Kontradiktif

Fenomena berhubungan seksual dengan boneka termasuk kategori kelainan seksual yang dalam hal ini dikenal sebagai agalmatofilia. Artinya, seseorang menggunakan cara tertentu untuk mencapai klimaks libidonya dengan jalan yang tidak wajar.

Hasrat seksual yang dilampiaskan pada boneka silikon menyerupai manusia ini dinilai lebih mudah untuk diajak kencan dan bersetubuh. Selain itu boneka seks dipandang tidak egois, tidak menolak ajakan dan memiliki bentuk tubuh yang lebih seksi. Jika disentuh boneka ini memiliki suhu tubuh yang hangat, ketika dijamah bisa mendesah, bahkan dilengkapi sensor-sensor canggih yang memungkinkan berinteraksi dan bergerak layaknya manusia.

Di sebagian negara, boneka seks tidak hanya dijadikan sebagai alat pemuas, tetapi juga dijadikan sebagai istri. Misalnya Aoki dan Kimura (2021) dalam artikelnya Sexuality and Affection in the Time of Technological Innovation, menyebutkan bahwa di Jepang seseorang bernama Senji Nakajima rela meninggalkan anak dan istrinya untuk menikah dengan boneka seks. Kasus serupa juga dilakukan oleh Terry dari Singapura.

Ini menandakan, kebutuhan seksual di era modern mengalami pergeseran sekaligus perkembangan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh DeMaris dan McGovern (2023) dalam The Perfect Paramour: Predicting Intention to Own a Sex Doll, bahwa kebutuhan seksual tidak lagi dilakukan dengan cara menikah, namun bisa menggunakan alternatif boneka full body yang seksi.

Fenomena making love with a doll di sebagian negara mungkin merupakan hal yang wajar. Namun, berkembangnya boneka seks di Indonesia dapat menimbulkan anomali seksual karena hal tersebut bertentangan dengan sistem sosial dan budaya dasar bangsa yang religius.

Dalam Islam bercinta dengan boneka seks ini termasuk kategorikan sebagai istimnā’. Secara nyata ini merupakan perbuatan tabu, sebab mencari pelampiasan syahwat tidak melalui jalur perkawinan atau kepada pasangan halal, sebagaimana yang terkandung dalam QS. al-Mu’minūn: 7.

Pro-Kontra Bercinta dengan Boneka

Seorang ilmuwan bernama Peter J. Fagan (2004) dari John Hopkins School of Medicine dalam bukunya Sexual Disorders: Perspective on Diagnosis and Treatment, mengkhawatirkan penggunaan boneka maupun mainan seks berpotensi menyebabkan eskalasi kelainan seksual.

Hal ini tidak hanya berbahaya secara individu, namun juga secara sosial. Kaitannya berbahaya secara individu dibuktikan dengan pelakunya mengalami kelainan psikologi seksual dan menyebabkan fantasi libido yang abnormal. Sedangkan dampak negatifnya, perilaku ini dapat menular bahkan dilakukan secara masal.

Namun di lain sisi, penggunaan boneka maupun mainan seks dianggap memiliki dampak positif oleh pakar yang lain. David A. Frederick (2017), menjelaskan penggunaan mainan seks dapat meningkatkan keintiman, serta melepas kecemasan dan stres.

Ketika melakukan aktivitas seksual menggunakan media ini, hormon oxitocin bisa meningkat sebagai media penawar stres.

Pendapat senada juga ditegaskan oleh Debra Herbenick (2010), bahwa pria yang kerap menggunakan vibrator baik secara invidu maupun dengan pasangan akan memiliki gairah seks lebih tinggi. Mereka menilai penggunaan mainan seks memiliki dampak positif secara psikologis.

Penyebab Runtuhnya Sakralitas Keluarga

Issu ketahanan keluarga sebenarnya menjadi kajian serius pada 2025. Salah satu alasan di balik melemahnya sakralitas keluarga atau pernikahan adalah hadirnya anomali boneka seks yang memiliki efek buruk bagi penggunanya.

Salah satu efek buruknya adalah menggerus sakralitas institusi keluarga. Sakralitas yang dibangun dengan mithāqan ghalīzan ini berpotensi hancur. Hal ini disebabkan putusnya perjanjian horizontal dan vertikal di antara pasangan suami istri.

Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Membangun keluarga merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis agar tercipta keluarga harmonis.

Atas dasar UU ini, hubungan laki-laki atau perempuan dengan boneka seks sebenarnya merupakan sebuah pelanggaran.

Jika institusi keluarga tidak dikelola dengan bijak, maka akan terjadi guncangan sosial yang oleh Talcott Parsons disebut keluar dari struktur sosial dan pada akhirnya mengancam nilai luhur sakralitasnya.

Salah satu aspek yang dapat mengancam sakralitas keluarga dalam hal ini adalah kelainan seksual melalui fantasi seks yang menyimpang.

Ada tiga dampak buruk akibat kecanduan fantasi seksual. Pertama, pertengkaran dengan pasangan. Kedua, menyebabkan perceraian (divorce), sebab kebutuhan seksualnya tidak disalurkan secara normal kepada pasangan. Ketiga, secara sosiologis menyebabkan degradasi nilai dan salah paham terhadap hakikat membangun keluarga.

Hingga akhirnya, seseorang yang telah mendapatkan kemudahan menyalurkan gelora seksualnya cenderung enggan menikah.

Ketiga dampak buruk di atas secara spesifik disebut dengan “desakralisasi institusi keluarga”. Istilah ini merujuk pada pemusnahan nilai dan norma sakral keluarga dan tidak lagi dianggap sebagai institusi yang suci.

Secara perlahan kesakralan keluarga ditinggalkan sebab untuk memenuhi kebutuhan gairah seksual yang tidak lagi harus ditempuh melalui jalur perkawinan.

Oleh karenanya, solusi untuk menaggulangi persoalan ini adalah dengan meningkatkan pemahaman terhadap etika dan aturan menyalurkan seksual yang benar hingga membangun keluarga berkualitas sesuai dengan nilai agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Pemahaman ini berlaku pada orang yang belum, hendak dan pasangan suami istri yang telah menikah.

Penting juga untuk melakukan edukasi dan diskusi terbuka mengenai fenomena ini agar masyarakat dapat memahami dengan lebih baik, serta mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi.[]

Comment