Ekonom Soroti Warisan Kebijakan Jokowi: Siapa Bayar Utang Kereta Cepat?

Ekonomi, Nasional212 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA-– Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu (PPPI) Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rabu (22/10/2025).

Diskusi bertajuk “Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi: Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat” itu menghadirkan tiga pembicara, yakni Peneliti PPPI Muhamad Rosyid Jazuli, Direktur Program INDEF, Dr. Eisha M Rachbini, dan Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Rizsa Idris. Acara dimoderatori Peneliti PPPI Mishka Husen Balfas.

Beban Finansial dan Gagalnya Skema B to B

Dalam paparannya, Dr. Eisha M Rachbini menilai bahwa secara ideal, pembangunan infrastruktur transportasi cepat merupakan simbol konektivitas dan modernisasi ekonomi. Namun, ia menegaskan, persoalan muncul ketika tata kelola dan pembiayaannya gagal dijalankan sesuai rencana awal.

“Awalnya proyek ini dijanjikan murni business to business tanpa melibatkan APBN, tetapi dalam perjalanannya pemerintah akhirnya ikut menanggung beban melalui penyertaan modal negara,” ujar Eisha.

Menurutnya, pinjaman utama proyek berasal dari China Development Bank (CDB) sebesar 75 persen dan 25 persen dari ekuitas konsorsium China, sementara di Indonesia proyek dijalankan oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang dipimpin PT KAI.

Namun, terjadi cost overrun yang signifikan, dari perkiraan awal 5–6 miliar dolar AS menjadi sekitar 7,5 miliar dolar AS, diperparah oleh depresiasi rupiah dan pandemi Covid-19.

“Kerugian PSBI pada 2023 tercatat Rp970 miliar, meningkat menjadi Rp4,2 triliun pada 2024, dan diperkirakan kembali merugi Rp1,6 triliun pada 2025,” ungkap Eisha. Ia menilai kerugian tersebut akan berdampak langsung terhadap kondisi keuangan BUMN, terutama PT KAI yang memegang 60 persen saham PSBI.

Risiko Politik dan Lemahnya Komunikasi Pemerintah

Sementara itu, Muhamad Rosyid Jazuli menilai isu KCJB seharusnya tidak menjadi “drama besar” dalam konteks ekonomi politik nasional, sebab nilai utangnya masih tergolong menengah dibandingkan pos belanja kementerian besar seperti PUPR, Pertahanan, dan Pendidikan.

“Namun, proyek ini menjadi isu politik karena komunikasi publik pemerintah yang tidak sinkron. Menteri satu bicara berbeda dengan menteri lain. Padahal, seharusnya ini bisa diselesaikan secara teknis,” ujar Rosyid.

Ia menambahkan, inkonsistensi pemerintah dalam pernyataan mengenai pembiayaan APBN justru memperburuk kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek.

“Whoosh menjadi contoh bagaimana proyek menengah bisa berubah menjadi bola panas politik yang mengganggu legitimasi pemerintah,” katanya.

Menurut Rosyid, pelajaran penting yang bisa diambil adalah perlunya perencanaan yang lebih matang, keterlibatan swasta yang jelas, serta transparansi dalam pengawasan.

“Kebijakan jangka panjang seperti ini tidak boleh dikelola secara politis. Pemerintah perlu memastikan transfer teknologi dan nilai ekonomi nyata dari proyek,” ujarnya.

Kepentingan Publik dan Urgensi yang Dipertanyakan

Pandangan kritis juga disampaikan Dr. Handi Rizsa Idris, yang mempertanyakan orientasi proyek tersebut.

“Pertanyaannya, proyek ini untuk kepentingan siapa? Masyarakat belum merasakan urgensi kereta cepat di rute Jakarta–Bandung yang hanya berjarak 150 kilometer,” katanya.

Handi menjelaskan, proyek ini bermula dari studi kelayakan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan rencana awal rute Jakarta–Surabaya sepanjang 748 kilometer. Namun, pemerintahan berikutnya memutuskan memprioritaskan jalur pendek Jakarta–Bandung dengan tawaran pembiayaan lebih murah dari China.

“Dalam perjalanan, nilai proyek membengkak akibat perubahan kurs dan pembiayaan tambahan. PT KAI terpaksa menanggung beban besar karena skema B to B berubah menjadi beban fiskal,” ujarnya.

Menurutnya, solusi ke depan mencakup restrukturisasi utang, akuisisi aset, injeksi modal melalui Danantara, serta perluasan rute hingga Surabaya guna meningkatkan okupansi dan pendapatan. Selain itu, integrasi layanan dengan moda transportasi lain serta inovasi tarif menjadi kunci keberlanjutan.

“Whoosh harus diorientasikan ulang, bukan sekadar proyek prestisius. Ia harus mampu memperkuat konektivitas, membuka lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang nyata,” kata Handi menegaskan.

Mencari Jalan Tengah

Ketiga pembicara sepakat bahwa beban fiskal akibat proyek KCJB tidak boleh menjadi preseden buruk bagi proyek infrastruktur lainnya. Pemerintah diharapkan segera menuntaskan restrukturisasi utang dengan pihak China secara transparan dan profesional, tanpa menambah tekanan terhadap APBN.

Diskusi yang digelar di Universitas Paramadina itu menyoroti satu pesan utama: pembangunan besar membutuhkan tata kelola yang besar pula. Tanpa itu, warisan kebijakan masa lalu bisa menjadi beban ekonomi masa depan.[]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment