Fenomena “Kidfluencers”, Eksploitasi Anak Era Digital

Opini597 Views

 

 

 

Oleh:  Rindyanti Septiana, S.H.I, Tim Empowering Networks IMuNe

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dunia digital saat ini banyak berdampak besar dan memengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Terkadang publik pun masih gagap dalam menyikapi masalah yang terjadi di tengah era digital. Kehidupan sebagian masyarakat pun banyak dihabiskan dalam dunia maya (digital) sementara kehidupan sosial di dunia nyata terancam hilang.

Seperti fenomena “kidfluencers” yakni anak yang memiliki pengikut besar di media sosial. Orang tua memiliki kekuatan mengontrol konten dan pendapatan anak dengan melibatkan anak dalam aktivitas komersial. Tentu terdapat nilai ekonomis, bahkan disebutkan menyumbang sekitar $8 miliar dari industri periklanan di media sosial. Pada 2022 pendapatannya akan meningkat hingga $15 miliar. (imune.id, 6/10/2021).

Lewat berbagai aplikasi di media sosial, anak tampil melakukan berbagai hal mengkuti arahan orang tuanya. Berbagai endorsemen yang melibatkan anak menjamur. Hal ini dianggap sebagai ladang baru yang menjanjikan menghasilkan pundi-pundi uang.

Pengamat budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan menilai dengan adanya era adu kreativitas disebabkan lahirnya Web 2.0. Era ini disebut pula sebagai user generated content (UGC) yang diartikan sebagai konten yang dibuat oleh pengguna. Semua orang dapat memproduksi kontennya sendiri dan langsung memperoleh respons secara interaktif.

 

Eksploitasi Anak di Era Digital

Sejatinya maraknya “kidfluencers” di tengah masyarakat menghasilkan eksploitasi pada anak. Eksploitasi yang terjadi seperti hilangnya privasi serta psikologis para kidfluencers. Hal tersebut justru memengaruhi psiko-sosial anak yang lainnya juga. (pangandaran, pikiran-rakyat.com, 20/5/2021).

Ada satu film dokumenter BBC berjudul “Influencer, Bahaya Di Balik Popularitas di Media Sosial.” Film tersebut mengungkapkan sisi negatif dampak influencer terutama bagi pelaku anak-anak, antara lain:

Pertama, keharusan memproduksi konten secara terus menerus menyebabkan seorang anak galau bahkan depresi.

Kedua, menyebabkan anak kesulitan bergaul di dunia nyata dan berinteraksi dengan banyak orang. Terjadi rasa inferior pada diri anak yang mengakibatkan tidak percaya diri.

Ketiga, interaksi semu yang terjadi di media sosial mengakibatkan anak sulit mendapatkan bantuan secara riil saat menghadapi masalah. Sementara mereka membutuhkan komunitas yang mampu menciptakan iklim kebersamaan yang sesungguhnya.

Keempat, meningkatnya “mass narcissism”, yakni menganggap dirinya terbaik, penting, dan harus dikagumi. Sering kali tidak siap dengan kritikan dan sangat mudah tersinggung. Mental seperti ini yang akan didapati pada diri seorang anak. Biasanya berujung pada kegelisahan, dan depresi bahkan bunuh diri.

 

Khatimah

Sisi gelap kidfluencers yang makin marak seharusnya menjadi bahan evaluasi pendidikan orang tua pada anak. Tidak menjadikan anak sebagai wasilah demi meraih rupiah. Era digital dalam atmosfer sistem kapitalistik menjadikan manusia sebagai “budak” materi. Hingga tak lagi memperhatikan dampak baik buruknya bagi kehidupan manusia.

Padahal orang tua memiliki kewajiban untuk merawat dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang bukan untuk menggerakan mereka sebagai “mesin” penghasil uang. Hingga sampai ke gerbang kedewasaan memiliki kepribadian Islam. Orang tua pula yang menjaga anak-anak dari kondisi generasi yang mudah “baper”, inferior, bahkan rentan depresi.

Islam pun meminta kepada orang tua untuk menjaga seluruh anggota keluarganya dari azab Allah, firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6).

Comment