Penulis: Diana Nofalia, S.P. | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Aksi solidaritas seperti yang ditunjukkan Komunitas SJP Bandung melalui dukungannya terhadap konvoi Global Sumud Flotilla adalah bentuk protes yang menegaskan kepedulian generasi muda terhadap penderitaan rakyat Gaza.
Konvoi—yang membawa bantuan kemanusiaan berupa obat dan makanan—dilaporkan mengalami upaya pencegatan oleh Israel, sehingga memicu gelombang protes di banyak kota dunia.
Di beberapa tempat lain, tuntutan generasi Z juga menjadi sorotan media internasional. (Lihat contoh laporan dan unggahan terkait.)
Pencegatan terhadap kapal kemanusiaan itu bukan sekadar masalah logistik. Ketika bantuan kemanusiaan dihentikan, yang diserang bukan hanya rakyat Palestina, melainkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Reaksi dari kota-kota besar seperti London, Paris, dan Roma adalah bukti antipati dunia terhadap tindakan sewenang-wenang yang menimpa warga sipil Gaza.
Kepedulian dan keberanian generasi muda patut diapresiasi. Aksi protes yang digerakkan oleh Gen Z—baik Muslim maupun non-Muslim—menunjukkan bahwa nurani kemanusiaan melampaui batas identitas. Mereka menolak kebrutalan yang, menurut banyak pengamat, telah melampaui batas-batas kemanusiaan – kelaparan, kehancuran infrastruktur, dan penderitaan sipil yang masif.
Namun, di balik empati dan protes itu muncul pertanyaan besar tentang solusi yang layak bagi Palestina. Banyak pihak menawarkan solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar. Saya berpandangan bahwa opsi itu bukanlah solusi hakiki.
Sejarah menunjukkan bahwa gagasan pembagian wilayah ini sudah lama dirancang tanpa benar-benar mempertimbangkan kehendak penduduk asli Palestina—ia berakar pada rancangan kolonial seperti rekomendasi Komisi Peel pada 1936 yang didorong oleh kepentingan kekuatan imperialis pada zamannya.
Menempatkan penduduk asli yang kehilangan tanahnya dalam posisi harus hidup berdampingan dengan pihak yang merampas adalah ironi besar dan, bagi saya, sebuah ketidakadilan struktural.
Oleh karena itu, mendukung solusi dua negara sebagai jalan final adalah pilihan yang saya nilai keliru karena berpotensi memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Dalam perspektif yang juga berangkat dari pemahaman keagamaan—kewajiban untuk menegakkan keadilan tidak boleh diabaikan. Allah SWT berfirman:
فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
“Siapa saja yang menyerang kalian, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 194).
Ayat ini, dalam konteks sejarah dan fiqh klasik, sering dipahami sebagai dorongan untuk membela diri ketika negeri kaum Muslim diserang atau dijajah. Para sahabat Nabi pada masa lalu bersepakat tentang kewajiban bersama untuk membantu kaum Muslim yang tertindas. Dari situ, muncul keyakinan bahwa pembelaan terhadap tanah dan kehormatan adalah tanggung jawab kolektif.
Apa makna praktisnya hari ini? Bagi saya, solusi hakiki bagi Palestina bukanlah kompromi yang melegitimasi penjajahan. Ia menuntut upaya kolektif yang nyata untuk mengakhiri penindasan—baik melalui tekanan diplomatik internasional, solidaritas global yang terorganisir, bantuan kemanusiaan, serta konsolidasi politik negara-negara yang memiliki kepedulian terhadap penegakan keadilan.
Banyak aktivis muda berharap perubahan sistemik yang sungguh-sungguh, bukan sekadar pengaturan administratif yang meninggalkan akar masalah.
Generasi Z, yang kini berada di garis depan aksi solidaritas, perlu terus mengasah pemahaman: perjuangan kemanusiaan harus dibarengi strategi yang matang, etis, dan berkelanjutan.
Solidaritas moral saja tidak cukup; dialog internasional, langkah hukum, tekanan politik multinasional, serta koordinasi bantuan kemanusiaan yang aman dan efektif harus menjadi bagian dari upaya itu.
Akhirnya, yang jelas, rasa kemanusiaan yang menggerakkan Gen Z adalah kekuatan penting—kekuatan yang harus dipandu oleh visi keadilan, kebijakan yang cerdas, dan komitmen jangka panjang. Wallahu a’lam. []









Comment