Happy Mother’s Day, Sebatas Seremonial, Minim Dampak Moral

Opini495 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember tiap tahunnya menjadi salah satu perayaan yang diminati banyak kalangan. Di peringatan itu ritual para anak membahagiakan ibu diaktualisasikan dalam banyak bentuk. Seperti memberi kado, bunga, hadiah, makan-makan dan surprise lainnya.

Semarak hari ibu memiliki sejarah tersendiri, diadakan dengan maksud untuk meningkatkan semangat perempuan Indonesia dalam hal hidup berbangsa dan bernegara. Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta adalah cikal bakal perayaan Mother’s Day di Indonesia. Ada sekitar 600 peserta yang hadir pada Kongres Perempuan Pertama yang dihelat saat masih zaman kolonial Belanda tersebut. Tak hanya diwakili individu, pertemuan akbar itu juga dihadiri oleh organisasi kewanitaan. (PikiranRakyat.com, 21/12/2021)

Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno meresmikan Hari Ibu yang diperingati secara Nasional melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1953. Perayaan Hari Ibu ini sebenarnya kental dengan pengaruh politik. Diciptakan sebagai bentuk penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan wanita yang juga turut serta dalam memperjuangkan hak kaum perempuan juga atas kemerdekaan negara Indonesia. Sebab beredar kabar ketika Presiden Soekarno menetapkan Hari Kartini sebagai bentuk penghargaan terhadap aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita, yaitu R.A Kartini hal tersebut menuai protes dari banyak warga Indonesia. Mereka menganggap bahwa Kartini melakukan perjuangan hanya di daerah Jepara dan Rembang, tidak di seluruh wilayah Indonesia.

Bisa dikatakan perayaan hari ibu memiliki hubungan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang juga dilakukan oleh kaum perempuan. Hari ibu juga disebut sebagai bentuk apresiasi terhadap jasa para ibu yang sepenuh hati menjalankan perannya mengurus, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Dengan harapan, adanya perayaan hari ibu menjadi pengingat pada semua anak atas pengorbanan ibunya.

Hari Ibu Dan Kesetaraan Gender

Jika menilik dari sejarahnya, perayaan hari ibu yang hingga kini masih antusias dirayakan memiliki keterkaitan dengan perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Gerakan yang diprakarsai oleh kaum feminisme melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam momen Hari Ibu tersebut banyak mengadakan kegiatan atau tindakan yang bertujuan untuk menghargai dan menaikkan derajat perempuan atau disetarakan hak nya dengan laki-laki.

Dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Indonesia menjadi 1 dari 189 negara yang menandatangani hasil konvensi tersebut. Topik krusial dalam konveksi tersebut adalah mewujudkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan agar keduanya memiliki kesempatan yang sama baik dibidang pendidikan maupun ranah publik lainnya. Singkatnya, apa yang diperoleh laki-laki harus juga diperoleh wanita, tanpa ada diskriminasi.

Diklaim bahwa perjuangan kesetaraan gender ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat demi kemajuan bangsa dan negara. sebagai dampaknya, wanita banyak berkecimpung di ranah publik untuk bersaing dengan kaum pria dalam segala aspek. Alasan pertumbuhan ekonomi juga dijadikan dalih untuk membenarkan ide kesetaraan gender tersebut. Alhasil, banyak kaum wanita terlibat dalam dunia kerja di banyak bidang.

Bak jauh panggang dari api, dorongan agar wanita keluar dan terlibat di dunia kerja kerja ternyata tak seindah yang digambarkan. Kaum perempuan di dunia kerja justru mengalami diksriminasi. Dalam hal upah tenaga kerja misalnya, upah antargender merupakan pemberian upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama hanya karena faktor perbedaan jenis kelamin, terlepas dari kemampuan dan produktivitas yang dimiliki.

Dengan kata lain, upah yang didapatkan oleh pekerja perempuan lebih sedikit dari upah pekerja laki-laki meski dengan jenis pekerjaan yang sama.

Tak hanya itu, tindak kekerasan dan pelecehan seksual juga banyak dialami oleh perempuan di tempat kerja. Sepanjang tahun 2020 lalu, sebanyak 173 korban melaporkan kasus kekerasan di tempat kerja berdasarkan data Sistem Informasi Onlie Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) 2020. (Parapuan.co, 28/09/2021)

Angka kasus kekerasan dan pelecehan di tempat kerja jauh lebih besar lagi dari yang telah terungkap, sebab banyak korban mengalami kesulitan untuk melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya salah satu penyebabnya karena ketiadaan saksi dan lemahnya bukti.

Alih-alih kesetaraan gender mampu melindungi dan menyelamatkan perempuan, justru hanya membuat problem yang dihadapi kaum perempuan kian bertambah. Target agar perempuan berkiprah sebagaimana laki-laki di ranah publik atas nama keadilan dan persamaan hak justru banyak memberi kerugian di pihak perempuan.

Tidak mengherankan jika dunia dalam dekapan ideologi kapitalisme gagal menyejahterakan dan memuliakan perempuan. Sebab bagi kapitalisme, perempuan tak ubahnya seperti barang yang bisa diperjualbelikan demi meraih keuntungan. Kapitalisme tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang wajib dijaga kemuliaannya. Justru demi mendapat keuntungan materi perempuan bisa dieksploitasi.

Hal itu nampak jelas di negara-negara Barat yang memanfaatkan aspek sensualitas perempuan sebagai alat komoditi demi kepentingan bisnis. Mereka juga menjadikan perempuan sebatas pemuas seksual semata.

Sejak awal diresmikan hingga kini perayaan hari ibu tidak memberi dampak moral yang berarti. Juga tidak berhasil mengangkat derajat kaum ibu. Kaum ibu kondisinya tetap dalam keprihatinan bahkan kian memburuk. Masih hangat dalam ingatan kasus yang terjasi di bulan November 2021, seorang ibu bernama Ibu Trimah yang dibuang oleh ketiga anaknya ke panti jompo dengan alasan lelah dengan kelakuan ibunya yang kerap membuat ulah hingga memicu pertengkaran.

Masih di bulan yang sama, seorang Ibu juga mendapat perlakuan tidak manusiawi dari anaknya. Seorang Ibu bernama Alkausar asal Aceh digugat anak kandungnya sendiri ke pengadilan gara-gara warisan rumah. Di Demak, Jawa Tengah, ada juga kasus seorang Ibu dipenjarakan oleh anak kandungnya karena tuduhan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Di bulan Desember 2021 juga terdapat kasus 5 orang anak melaporkan ibunya ke polisi karena menginginkan harta warisan. Belum lagi kita mengungkap tindakan KDRT yang menimpa perempuan dari pasangannya dan masih banyak lagi ibu-ibu yang mengalami kepahitan. Dari semua peristiwa itu bisa disimpulkan bahwa nasib perempuan Indonesia jauh dari kata baik-baik saja.

Islam Memuliakan Perempuan dan Meninggikan Derajat Ibu

Peringatan Hari Ibu saja takkan cukup untuk menyesaikan semua persoalan tersebut. Demikian pula berharap para perjuangan kesetaraan gender agar bisa membawa perubahan bagi perempuan adalah mustahil. Seolah hanya menjadi rutinitas tahunan belaka, peringatan hari ibu tak memberi pengaruh terhadap perbaikan kualitas kehidupan kaum ibu.

Yang dibutuhkan untuk mengatasi problem kaum perempuan adalah solusi fundamental yang menyelesaikan masalah dari akarnya. Di saat semua peradaban dunia menempatkan perempuan pada posisi hina dina, Islam datang dengan seperangkat aturan untuk memuliakan perempuan.

Perempuan dengan kodratnya mengandung, melahirkan, mengasuh dan mendidik keturunannya diberikan hak dan kewajiban oleh Islam sesuai dengan kodratnya tersebut. Pada ranah domestik, perempuan ketika menjadi istri diwajibkan untuk mengurusi dan melayani suaminya dan ketika memiliki anak diperintahkan untuk merawat dan mendidik.

Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya. Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim)

Sementara tanggugjawab untuk memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan perempuan (istri) berada di tangan laki-laki (suami). Para suami diwajibkan oleh Allah untuk memberi nafkah yang halal dan menggauli istrinya dengan cara yang makruf. Tindakan KDRT dari suami atas istrinya dibenci oleh Allah dan diharamkan atas kaum muslimin.

Bagi anak ada perintah untuk berbakti kepada kedua orangtuanya (birrul walidain). Berbuat baik kepada keduanya, berlemah lembut, merendahkan suara di hadapan orangtua serta kewajiban merawat di usia tua mereka. Allah swt berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS al-Isra’: 23)

Islam menetapkan syariat adab para anak kepada kedua orangtuanya. Siapa yang tidak berperilaku baik pada keduanya maka mereka berdosa di sisi Allah dan bagi mereka disiapkan azab yang pedih. Sebaliknya, anak yang menjalankan birrul walidain lalu orangtuanya ridha kepadanya maka Allah pun akan merindhainya dan mendapat pahala yang besar dan balasan surga.

Di ranah publik, ditetapkan kewajiban berpakaian yang syar’i (jilbab dan kerudung) ketika perempuan keluar rumah misalnya, sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap kehormatan perempuan. Sebab jika perempuan mengumbar auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya akan menjadi pemicu tindak pelecehan dan kejahatan seksual. Juga wajib bagi para perempuan disertai oleh mahramnya jika keluar rumah untuk tujuan safar (melakukan perjalanan).

Hukum wanita berkiprah di dunia kerja adalah mubah (boleh), bukan kewajiban. Islam tidak menjadikan perempuan sebagai salah satu obyek penopang kemajuan ekonomi. Berbeda dalam ideologi kapitalisme, memandang perempuan sebagai mesin pencetak uang. Perempuan dipekerjakan di posisi yang menghinakan kehormatannya seperti model iklan produk yang menonjolkan tubuh seksi perempuan atau dipekerjakan sebagai pelayan seks. Sebab Islam punya konsep praktis dalam mewujudkan ekonomi yang ideal dan stabil.

Dalam ketaatan, Islam menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama, yakni sama-sama berkewajiban untuk mentaati perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Seperti kewajiban mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji, menuntut ilmu, dan berdakwah.

Sebagai warna negara dalam pemerintahan Islam Allah juga memberikan hak yang sama kepada keduanya dari sisi jaminan pemenuhan kebutuhan dan perolehan hak dalam layanan-layanan fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Di hadapan peradilan pun keduanya memiliki kesamaan.

Karenanya, jaun sebelum Barat memperkenalkan ide kesetaraan gender, Islam sudah memiliki dan menerapkan konsep itu dalam kehidupan masyarakat Islam. Tidak ada tindak diskriminasi dalam masyarakat islam yang menerapkan hukum Islam secara kaffah, justru perempuan akan mendapat perlindungan dan penjagaan yang luar biasa dari keluarga, masyarakat dan negara. Bahkan Islam terbukti ampuh dalam melindungi kaum perempuan, mengangkat derajat dan menyejahterakannya.

Demikianlah Islam menempatkan perempuan di tempat yang tinggi dan mulia. Jika syariat-syariat Islam di atas diterapkan, kesejahteraan hidup akan diraih oleh kaum perempuan. Tanpa perayaan hari ibu pun, kaum perempuan akan hidup mulia dalam dekapan Islam tanpa harus mendapat tindak kezaliman dan ketidakadilan. Mereka akan mendapat perlakuan menyenangkan tidak hanya sekali dalam setahun, tapi Islam akan menjamin perempuan meraih kebahagiaan setiap saat.[]

Comment