Islam Sebagai Sistem dan Jaminan Kesejahteraan Guru

Opini11 Views

 

Penulis:  Yuli Ummu Raihan | Muslimah Peduli Generasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA -— “Guruku tersayang, guruku tercinta. Tanpamu apa jadinya aku.” Sepenggal lirik lagu yang akrab terdengar setiap peringatan Hari Guru, 25 November. Lirik sederhana ini merekam besarnya jasa guru dalam membentuk manusia berilmu dan berkarakter.

Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pilar penting peradaban dan penentu arah masa depan bangsa.

Namun, peringatan Hari Guru sering kali berhenti pada seremoni. Tema Hari Guru tahun ini, “Merawat Semesta dengan Cinta”, seharusnya menjadi seruan moral sekaligus aksi nyata. Sebab, gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” akan terasa hampa ketika sistem gagal menjamin kesejahteraan hidup guru secara layak.

Sebagaimana ditulis Kompas.com (25/11/2025), Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief, menegaskan bahwa Hari Guru Nasional 2025 harus menjadi momentum serius bagi pemerintah untuk menyejahterakan guru secara berkeadilan.

Faktanya, hingga kini kesejahteraan guru masih jauh dari harapan. Tidak sedikit guru yang harus mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Syarief juga menyoroti pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), khususnya frasa “di atas kebutuhan hidup minimum”.

Menurutnya, kata “minimum” justru berpotensi menetapkan standar kesejahteraan yang rendah. Ia mengusulkan penambahan kata “layak”, sehingga berbunyi “memperoleh penghasilan yang layak di atas kebutuhan hidup minimum”. Penegasan ini penting sebagai pengakuan filosofis dan yuridis bahwa profesi guru harus dihargai secara bermartabat.

Di lapangan, ketimpangan status guru masih menjadi persoalan serius. Pemisahan antara guru ASN berstatus PNS, PPPK, dan honorer melahirkan kisah-kisah pilu.

Banyak guru honorer mengabdi puluhan tahun, mengorbankan masa muda demi mencerdaskan bangsa, tetapi akhirnya “dipensiunkan” oleh sistem tanpa jaminan hari tua yang layak.

Kehadiran guru PPPK memang memberi secercah harapan karena adanya pengakuan status. Namun realitanya, banyak dari mereka merasa menjadi “ASN kelas dua”.

Beban kerja dan tuntutan profesionalisme setara dengan PNS, tetapi hak yang diterima berbeda, terutama ketiadaan jaminan pensiun. Wacana PPPK paruh waktu pun semakin menambah kecemasan finansial para guru.

Pembagian status ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memicu kecemburuan sosial di kalangan guru. Padahal, tugas dan tanggung jawab mereka sejatinya sama: mendidik generasi bangsa.

Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah melemahnya solidaritas sesama guru. Kasus viral dua guru di Luwu yang sempat dijadikan tersangka karena berinisiatif menggalang dana untuk membantu gaji rekan mereka menjadi potret getir dunia pendidikan.

Guru sering kali tersandera oleh aturan dan kode etik yang kaku, hingga solidaritas pun terkikis.

Belum lagi dilema dalam proses mendidik. Banyak guru harus berhadapan dengan ancaman kriminalisasi hanya karena berupaya mendisiplinkan peserta didik. Posisi guru menjadi sangat strategis, tetapi sekaligus dilematis.

Berbagai persoalan ini tidak berdiri sendiri. Akar masalahnya terletak pada sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan.

Guru diposisikan layaknya pekerja biasa: dibebani administrasi, target kinerja, dan tuntutan profesional, tetapi tidak diimbangi dengan jaminan kesejahteraan yang memadai.

Arus moderasi beragama yang disalahpahami juga kerap menyulitkan guru dalam merealisasikan visi pendidikan berbasis nilai.

Pergantian kurikulum yang kerap terjadi menggerus ruh pendidikan, sementara teknologi digital, meski bermanfaat, di sisi lain melahirkan generasi instan dan pragmatis. Dalam kondisi ini, guru semakin terjepit oleh tarik-menarik kebijakan dan kepentingan.

Sistem Islam sebagai Solusi

Hanya sistem Islam yang mampu menempatkan guru secara adil dan bermartabat. Dalam Islam, guru benar-benar dihormati dan dimuliakan. Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama seorang pendidik. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 151 yang menegaskan misi Rasul sebagai pengajar dan penyuci umat.

Guru dipandang sebagai pewaris dakwah para nabi dan pencetak generasi. Imam Al-Ghazali bahkan menyebut orang berilmu yang mengajarkannya sebagai “orang besar di segenap penjuru langit”.

Dengan peran strategis tersebut, guru wajib disejahterakan agar mampu menjalankan tugasnya secara optimal.

Sejarah peradaban Islam mencatat perhatian besar negara terhadap kesejahteraan guru. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sekitar 4–15 dinar per bulan. Pada era Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan guru mencapai 2.000 dinar, sementara ahli fikih dan periwayat hadis memperoleh hingga 4.000 dinar. Satu dinar setara 4,25 gram emas—angka yang menunjukkan standar hidup layak dan bermartabat.

Dengan jaminan kesejahteraan tersebut, guru dapat fokus mengajar, mengembangkan ilmu, dan mendidik generasi tanpa tekanan ekonomi. Islam juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu—sandang, pangan, dan papan—serta menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara optimal oleh negara.

Dengan pengaturan sistemis seperti ini, kesejahteraan guru bukan sekadar jargon atau janji, melainkan keniscayaan yang dapat diwujudkan. Wallahu a‘lam bishshawab.[]

Comment