Jusniati Dahlan*: Orientasi Industri, Pendidikan Minus Visi

Opini441 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Upaya menggalakkan kerja sama antara dunia industri dengan dunia pendidikan ditanah air ibarat perkawinan massal. Perkawinan massal dimaksud ialah sebuah simbiosis mutualisme antara sektor pendidikan dan dunia industri. Layaknya dalam dunia biologi, maksud dari simbiosis mutualisme merupakan kerja sama yang saling menguntungkan antara satu sama lain. Bukan malah membuat pihak satu sejahtera yang lain buntung.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerja sama antara perguruan tinggi atau kampus dengan industri. Strategi ini dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha.

Selain itu, diungkapkan juga bahwa kementerian keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan insentif terkait sejumlah penelitian vokasi. “Hal (insentif) itu juga akan terus kami kembangkan untuk membuat para industri tertarik berpartisipasi dengan pihak kampus,” ujar Nadiem dalam video conference, peresmian pembukaan Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) virtual Tahun 2020. Sabtu (lensa.indonesia.com 4/7/2020).

Hal tersebut pun dipertegas Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto, Ph.D., menjelaskan tujuan utama Program Penguatan Program Studi (Prodi) Pendidikan Vokasi Tahun 2020 tersebut. “Program ini diluncurkan agar kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja,” tutur Wikan kepada Kagama, Selasa (kagama.co 26/5/2020).

Dilansir di halaman yang sama Wikan menambahkan, sekitar 100 prodi vokasi di PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ditargetkan melakukan pernikahan massal pada tahun 2020 dengan puluhan bahkan ratusan industri. Kemudian, lanjut dia, program ini akan diteruskan dan dikembangkan pada tahun-tahun berikutnya dengan melibatkan lebih banyak prodi vokasi. “Jadi, di masa pandemi ini, kita akan melakukan (semacam) perjodohan massal, bukan satu dengan satu, tetapi satu kampus vokasi dengan banyak industri,” ujar Wikan.

Wikan pun mengaku optimis program ‘Pernikahan Massal’ ini akan menguntungkan banyak pihak. Menurutnya, pihak industri dan dunia kerja jelas akan diuntungkan dengan skema pernikahan ini.

Pemerintah memang memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian.

Dengan adanya pernikahan massal ini. Pemerintah semakin mengokohkan peran lembaga pendidikan sebagai pencetak tenaga kerja bagi industri. Mahasiswa magang dijadikan sebagai tikus percobaan di dunia kerja. Siapa yang memiliki skill untuk bekerja akan dilirik, yang tidak memiliki kemampuan bakalan ditendang.

Beratnya beban persyaratan untuk lulus menjadi sarjana, salah satunya saat mengambil mata Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mengharuskan mahasiswa magang di sebuah perusahaan.

Misalnya, bagi mahasiswa akhir jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP) diharuskan untuk magang di perusahaan perikanan dengan jam kerja layaknya karyawan biasa. Bahkan, terkesan sebagai pekerja paruh waktu.

Selain itu, ada pula yang melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan aktivitas perikanan. Seperti membersihkan ruangan produksi, peralatan bahkan sampai harus menyapu dan mengepel lantai. Mahasiswa magang malah dijadikan sapi perah kaum tak berperasaan.

Belum lagi pada kasus perusahaan yang tidak sama sekali memberikan fee pada mahasiswa, bahkan mengatur ketat adanya larangan izin selama magang di perusahaan. Itulah potret gelap nan pilu bagi mahasiswa akhir.

Diperparah dengan adanya wacana kebijakan pemerintah bahwa struktur partisipasi mahasiswa saat magang di industri juga harus diubah.

Dalam program kampus merdeka, konsep magang diperpanjang dari yang biasanya hanya sekitar dua bulan kini bisa menjadi satu semester hingga satu tahun, (lensa.indonesia.com 4/7/2020).

Hal ini mencoreng wajah dunia pendidikan.  Pendidikan yang semestinya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah khalifah fil ardhi dikerdilkan hanya untuk mencetak manusia bermental buruh.

Ternodai oleh konsep pendidikan negeri ini yang bervisi kapitalis, seharusnya mahasiswa menjadi agent of change dan sosial kontrol ditengah masyarakat. Namun, potensi mereka dijajah dan dijarah tanpa ampun. Jika pemuda hanya dijadikan sapi perah. Bagaimana masa depan negeri ini?

Terlunta-lunta bak anak ayam tak memiliki induk, dijajah di negeri sendiri. Potret buram sistem kapitalis.

Visi pendidikan dalam Islam ialah melahirkan generasi yang memiliki nafsiyah (kepribadian) dan aqliyah (pola pikir) Islam. Sehingga dapat menghantarkannya kepada ketaatan sebagai seorang hamba. Hal tersebut mendorongnya mengetahui tujuan penciptaan manusia, yakni hanya untuk beribadah kepada-Nya.

Sistem pendidikan Islam menerapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam. Segala sarana dan prasarana penunjang untuk memfasilitasi mahasiswa ditanggung negara. Bahkan pelayanan pendidikan diberikan secara gratis dan berkualitas.

Tenaga pendidik di datangkan sesuai keahlian pada bidangnya, asrama disiapkan bagi peserta didik, bahkan mendapat uang saku bulanan.

Seluruh biaya pendidikan di dalam negara khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Inilah kemudahan dan kemaslatan yang didapat oleh rakyat. Mereka dapat memperoleh pendidikan tanpa terbebani oleh biaya yang mahal.

Pertanyaannya, masihkah mau menggunakan sistem kapitalis-sekuler? mengapa tidak kembali pada sistem yang menjamin hak setiap individu tanpa harus menzalimi generasi dengan merampas masa depan mereka, yakni sistem Islam.

*Aktivis dakwah,  anggota AMK

Comment