KBMI Nilai Formula Kenaikan Upah 2026 Tak Mensejahterakan Buruh

Nasional4 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (KBMI) menilai formula kenaikan upah minimum tahun 2026 yang kembali mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak menjawab persoalan mendasar kesejahteraan buruh.

Kebijakan tersebut dinilai berpotensi memperparah ketimpangan serta disparitas upah antarwilayah di Indonesia.

Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Rabu (17/12/2025), Presiden KBMI, Daeng Wahidin menyatakan, formula kenaikan upah dengan skema inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan faktor alfa sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah dinilai mengabaikan realitas biaya hidup buruh yang terus meningkat.

“Biaya hidup buruh di berbagai daerah meningkat tajam, mulai dari pangan, perumahan, transportasi, pendidikan, hingga kesehatan. Namun kenaikan upah tidak berbasis pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang riil dan mutakhir,” ujar Daeng.

KBMI juga menyoroti bahwa kebijakan pengupahan saat ini belum sejalan dengan amanat konstitusi. Menurut KBMI, jika formula pengupahan tidak mampu mewujudkan upah layak nasional yang bermartabat dan berkeadilan, maka pemerintah semestinya menyusun formula baru yang lebih berpihak pada kesejahteraan buruh.

KBMI mencatat sejumlah persoalan utama dalam kebijakan upah minimum 2026.

Pertama, upah minimum dinilai hanya menjaga buruh berada pada batas bertahan hidup, bukan memenuhi kebutuhan hidup layak.

Kedua, disparitas upah antarprovinsi dan antarkabupaten/kota semakin melebar tanpa adanya kebijakan korektif dari negara.

Ketiga, upah masih diposisikan semata sebagai variabel ekonomi, bukan sebagai hak dasar pekerja. Keempat, buruh kembali ditempatkan sebagai penyangga krisis, bukan sebagai subjek pembangunan.

KBMI juga mengkritik keberlanjutan kebijakan upah murah yang dinilai telah berlangsung selama satu dekade terakhir dan diperkuat melalui regulasi ketenagakerjaan berbasis omnibus law.

Kebijakan itu disebut tidak mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, tidak meningkatkan produktivitas berkelanjutan, serta melemahkan daya beli masyarakat.

Atas dasar itu, KBMI menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Di antaranya, perubahan mendasar formula kenaikan upah dengan menjadikan KHL tahun 2025 ditambah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2026 sebagai basis utama, atau menggunakan indikator pendapatan domestik bruto per kapita nasional.

Selain itu, KBMI mendorong penetapan standar upah layak nasional sebagai batas bawah yang adil dan manusiawi, serta kebijakan afirmatif untuk menutup kesenjangan upah antarwilayah dengan melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk subsidi upah layak.

KBMI juga menuntut pelibatan serikat buruh secara substantif dalam perumusan kebijakan pengupahan.

“Upah bukan sekadar angka statistik atau gaji bulanan, melainkan instrumen untuk menjamin martabat manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan bangsa sesuai amanat UUD 1945,” tegas Presiden KBMI, Daeng Wahidin.

KBMI memperingatkan, selama kebijakan pengupahan masih menjauh dari prinsip keadilan dan kelayakan, konflik industrial, ketimpangan sosial, dan potensi konflik sosial akan terus membesar.[]

Comment