Penulis: Ummu Alesha | Ibu Pembelajar
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kejahatan merupakan perilaku manusia yang melanggar norma-norma atau aturan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung. Kejahatan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: a) Kejahatan terhadap orang (crimes against person), misalnya pembunuhan dan penganiayaan; b) kejahatan terhadap harta benda (crimes against property), misalnya pencurian dan perampokan; dan c) kejahatan terhadap kesusilaan umum (crimes against publicdecency), misalnya perbuatan cabul dan sebagainya.
Kejahatan terjadi disebabkan beberapa faktor yang menjadi pemicu seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, pengangguran, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, lingkungan yang tidak aman, masalah keluarga dan lainnya.
Tindakan kejahatan disebut sebagai kriminalitas. Ketika kriminalitas meningkat maka suasana tidak aman terjadi di kalangan individu dan masyarakat yang mengakibatkan kegelisahan, rasa takut dan terancam menjadi korban kejahatan.
Untuk mengatasi hal ini, maka perlu adanya undang-undang untuk memberi hukuman atau sanksi terhadap pelaku kejahatan. Sanksi-sanksi tersebut digolongkan menjadi: a) sanksi pidana seperti pembunuhan, pencabulan, pencuri, penganiayaan dan korupsi; b) sanksi perdata seperti denda, ganti rugi dan penyitaan; dan c) sanksi administratif seperti pencabutan izin, pembubaran dan denda administratif.
Tindak lanjut sanksi terhadap pelaku kejahatan adalah dengan mengurung mereka dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan dan merenungi kejahatan yang telah dilakukan.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah memberi remisi bagi para pelaku tindak pidana. Remisi merupakan pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana. Remisi biasanya diberikan ketika hari kemerdekaan Republik Indonesia dan hari besar keagamaan.
Dilansir dari Bandung, CNN Indonesia (10/04/24) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengatakan ada dua jenis remisi yakni remisi khusus Idul Fitri I atau RKI berupa pengurangan hukuman dari 15 hari hingga 2 bulan dengan jumlah yang memperoleh remisi yaitu RKI sebanyak 16.208 warga binaan.
Sementara remisi khusus Idul Fitri II atau RKII berupa pengurangan masa hukuman yang langsung bebas setelah menjalani masa tahanan. Jumlah yang memperoleh remisi RKII (langsung bebas pada Lebaran 2024) sebanyak 128 warga binaan. Sehingga, total narapidana yang mendapatkan remisi hari raya Idul Fitri 1445 H di Jawa Barat sebanyak 16.336 orang.
Selain memberikan pengurangan masa pidana (PMP) khusus Hari Raya Idul Fitri kepada warga binaan, pengurangan tersebut diberikan kepada 98 anak binaan yang mendapat pengurangan masa pidana mulai dari 15 hari hingga 1 bulan. Total 73 anak mendapat pengurangan pidana sebanyak 15 hari, sementara 25 anak mendapat pengurangan pidana selama satu bulan.
Remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari sikap negara sebagai reward atau hadiah kepada narapidana dan anak binaan yang selalu berusaha berbuat baik, memperbaiki diri, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Namun remisi yang dilakukan oleh negara pada momen tertentu itu menunjukkan sistem sanksi yang diberikan tidak menjerakan. Dapat dilihat dari kejahatan yang semakin bertambah dengan bentuk yang makin beragam dan lebih besar karena hilangnya rasa takut dan kepedulian mereka terhadap hukum.
Akibatnya kejahatan terus berulang, padahal sanksi yang diberikan bertujuan untuk meminimalisir tingkat kriminalitas.
Ini membuktikan konsekuensi logis hukum pidana sistem sekuler – kapitalisme tidak memberi efek jera. Sistem buatan manusia yang memiliki keterbatasan dan kelemahan, maka ketika manusia membuat kesepakatan hukum akan lemah dan terbatas juga.
Maka tidak mengherankan sistem pidana yang dijadikan rujukan tidak baku dan mudah berubah-ubah. Aturan ini sangat mudah disalahgunakan seperti kata pepatah ‘hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas” yang bermaksud aturan dapat diatur oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan, sedangkan rakyat mendapatkan sanksi yang tegas. Alhasil jaminan keamanan tidak dapat terwujud dengan menggunakan sistem ini.
Islam hadir memberikan solusi komprehensif untuk mewujudkan jaminan dan keamanan masyarakat. Sistem ini berasal dari Allah SWT dan dijalankan oleh negara yang berlandaskan aqidah Islam. Negara Islam wajib memberikan jaminan keamanan yang merupakan kebutuhan publik, sebagaimana hadist Rasulullah SAW:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya: “Barang siapa pada pagi dalam kondisi aman pada jiwanya, sehat badannya, dan punya bahan makanan cukup pada hari itu, seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Untuk mewujudkan kondisi aman tersebut maka negara wajib mengurangi faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan.
Islam memiliki mekanisme dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menjamin kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan secara tidak langsung oleh negara.
Dalam hal ini negara memberi keluasan lapangan kerja yang layak bagi setiap laki-laki sehingga mereka mampu menghidupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Dengan terpenuhi kebutuhan tersebut maka tingkat ekonomi pada individu berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Tersedianya kebutuhan dasar kepada masyarakat secara gratis dan berkualitas terbaik. Tidak ada diskriminasi level masyarakat saat mendapatkan kebutuhan dasar tersebut.
Ketika kebutuhan pokok, kemudahan mengakses layanan publik tanpa diskriminasi, maka dapat dipastikan kehidupan masyarakat akan bersih dari kejahatan.
Selain itu, sistem pendidikan Islam mencetak individu yang beriman dan berkepribadian Islam sehingga jauh dari kemaksiatan. Jika masih ada saja pelaku kejahatan maka sistem sanksi Islam (uqubat) sebagai upaya terakhir untuk mendisiplinkan pelaku.
Sanksi Islam memiliki sistem yang khas, tegas dan menjerakan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, antara orang kaya dan miskin, antara hakim (Penguasa) dan rakyat (Al-Mahkum). Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ إِنَّهُ إِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ قَطَّعُوْهُ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَتْ فَاطِمَةٌ بِنْتِ مُحَمَّدٍ لَقَطَّعْتُهَا
Artinya: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka membiarkannya, dan jika orang yang lemah yang mencuri mereka potong tangannya. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya.”
Uqubat dalam Islam bersifat tetap (Muhaddadah) dan tertentu (Mu’ayyanah). Tidak ada seorang pun yang boleh menambah, mengurangi, ataupun mengubahnya. Sanksi di dalam Islam berfungsi sebagai pencegah kejahatan serupa di masyarakat (Zawajir) dan penebus dosa pelaku (Jawabir). Uqubat dapat dilaksanakan oleh negara Islam, maka pelaku kejahatan tersebut akan menebus dan menggugurkan sanksi di akhirat secara bersamaan.
Sanksi dalam Islam diterapkan berdasarkan hukum syara’. Tidak boleh ada keberatan (I’tiradh), naik banding (Al-Isti’naf), dan kasasi (Al-Tamyiz). Maka sanksi ini dapat mencegah orang melakukan kejahatan dan memberi efek jera. Demikianlah cara Islam mewujudkan keamanan yang hakiki. Wallahu ’alam.[]
Comment