Penulis: Fatiyya Azzahra | Mahasiswi Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Dini hari, saat azan subuh mulai terdengar, banyak orang terbangun dalam keadaan lelah setelah malam panjang yang dipenuhi layar. Tanpa sadar, tangan langsung meraih gawai yang terus dipenuhi dering notifikasi. Dalam hitungan detik, beranda telah ramai oleh pesan, FYP terbaru, hingga berita panas.
Belum sempat mencuci muka, setengah jam berlalu hanya untuk scrolling tanpa arah. Malam hari pun tak jauh berbeda—scrolling kembali menghabiskan waktu hingga larut malam.
Kebiasaan ini bukan lagi sekadar selingan, melainkan telah berubah menjadi habit buruk yang menjangkiti banyak orang. Di era digital, gawai telah naik kelas menjadi kebutuhan primer. Data penelitian bahkan menunjukkan bahwa 90% mahasiswa menganggap smartphone sebagai kebutuhan utama perkuliahan.
Tanpa disadari, masyarakat perlahan terseret dalam arus dunia digital yang memanjakan. Namun di balik kenyamanannya, dunia layar menyimpan sesuatu yang diam-diam mengubah manusia: cara kerja otak.
Masalah terbesar bukan sekadar mata lelah atau postur tubuh yang buruk, melainkan kecanduan terhadap stimulasi cepat. Aktivitas kecil seperti scroll, buka notifikasi, atau menonton video pendek berulang kali memicu pelepasan dopamin instan—zat kimia di otak yang membuat seseorang merasa senang seketika.
Ketika dilakukan terus-menerus, otak kehilangan kesabaran untuk menikmati proses yang panjang dan mendalam, termasuk belajar, bekerja, atau berpikir kritis.
Inilah awal dari rusaknya sistem penghargaan (reward system) di otak, yang membuat seseorang mudah terdistraksi dan kehilangan motivasi jangka panjang.
Dalam neurosains, sistem penghargaan bekerja dengan memberi “hadiah” berupa dopamin setiap kali seseorang melakukan sesuatu yang menyenangkan. Notifikasi yang berbunyi, video singkat yang lewat di beranda—semuanya bukan kebetulan, tetapi hasil rekayasa teknologi yang dirancang untuk mencuri perhatian manusia.
Polanya mirip dengan mekanisme kecanduan narkoba: semakin sering otak menerima dopamin instan, semakin besar keinginannya untuk mengulang kembali.
Teori neuroplasticity menjelaskan bahwa otak manusia bersifat dinamis. Struktur dan cara kerjanya bisa berubah sesuai kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Jika otak terus-menerus terpapar konten digital, ia akan membentuk pola koneksi baru yang mendukung perilaku itu.
Pada akhirnya, otak terbiasa dengan cara bekerja yang serba instan—sehingga berpikir mendalam terasa melelahkan.
Dampaknya terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok usia 15–24 tahun tercatat sebagai pengguna gadget terbesar. Tidak heran jika banyak anak muda kini mudah stres, sulit fokus, dan merasa berat ketika harus berkonsentrasi lama, misalnya saat membaca buku.
Perasaan gelisah ketika jauh dari handphone atau saat notifikasi tidak muncul dikenal sebagai digital anxiety. Dunia nyata terasa kalah menarik dibanding layar; interaksi dengan keluarga dan kerabat perlahan memudar.
Namun kabar baiknya, otak dapat pulih. Karena ia bersifat plastis, perubahan masih bisa terjadi melalui kebiasaan baru yang lebih sehat. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menerapkan detoks media sosial.
Waktunya bisa ditentukan secara bertahap, misalnya dua sampai tiga bulan, disertai menghapus aplikasi media sosial dan menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermakna. Catat setiap perubahan yang dirasakan agar prosesnya lebih terukur.
Cara lain adalah membiasakan mindful scrolling. Sebelum membuka media sosial, tanyakan pada diri sendiri: apa tujuan saya membuka aplikasi ini? Hiburan? Informasi? Atau sekadar kebiasaan? Kenali juga perasaan yang muncul setelah scrolling—apakah tenang, cemas, iri, atau justru marah. Pengaturan seperti batas waktu penggunaan harian atau night mode juga dapat membantu mengurangi stimulasi berlebih.
Selain itu, penting memberi ruang bagi otak untuk “bernapas”. Kegiatan sederhana seperti berjalan setelah hujan, membaca buku di teras, atau menulis jurnal dapat membantu otak pulih dari kepenatan digital.
Tujuannya bukan menjauh dari teknologi, tetapi mengembalikan peran teknologi sebagai alat bantu—bukan sebagai penguasa pikiran. Tanpa kendali, gawai dapat merampas kemampuan manusia yang paling berharga: fokus dan berpikir kritis. Otak adalah pusat kreativitas, kasih sayang, dan keputusan penting. Ia layak mendapat ruang istirahat dari hiruk pikuk digital.
Karena itu, sesekali berhentilah sejenak. Lihat langit, dengarkan suara burung, rasakan angin. Biarkan otak kembali mengenal keheningan—tempat di mana ia bisa tumbuh, pulih, dan kembali menjadi pemilik dirinya sendiri.[]









Comment