Legalisasi Aborsi, Akibat Rudapaksa

Opini71 Views

 

Penulis: Syakina Nurrahma | Mahasantriwati Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Presiden Jokowi mengesahkan PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023). PP tersebut di antaranya mengatur tentang ketentuan dan syarat aborsi di Indonesia agar mencegah praktik aborsi ilegal.

Secara khusus dalam Pasal 116 disebutkan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan kecuali atas indikasi kedaruratan medis.

Dilansir pula dari antaranews.com (04/11/2024) polisi menangkap pasangan RR (28) dan DKZ (23) di wilayah Kalideres, Jakarta Barat yang melakukan aborsi atas dasar laporan warga. Pasangan tersebut bersama-sama menggugurkan janin yang ada di dalam kandungan DKZ pada 13 Agustus 2024 padahal sudah berusia delapan bulan. Ini adalah salah satu kasus aborsi yang semakin hari semakin meningkat.

Bahkan angka aborsi menurut worldpopulationreview.com (06/11/2024) 73 juta aborsi yang diinduksi terjadi di seluruh dunia setiap tahun, dengan 61% dari semua kehamilan yang tidak diinginkan dan 29% dari semua kehamilan secara umum berakhir dengan aborsi.

Menurut World Health Organization (WHO), aborsi ialah tindakan perawatan kesehatan sederhana yang secara aman dan efektif. Namun, dilansir dari muslimahnews.net (06/11/2024) Aborsi adalah tindakan menggugurkan janin di dalam kandungan. Setiap tindakan aborsi tentu akan berisiko bagi perempuan yang menjalaninya, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawanya jika terjadi perdarahan dan infeksi. Ini masih belum termasuk risiko nonmedis.

Namun, jika dicermati lebih dalam lagi legalisasi aborsi akibat korban rudapaksa ini sangat merugikan kedua belah pihak yakni pihak laki-laki yang harus menampung rasa malu dan menanggung semua biaya, hukum dan juga korban perempuan sudah mengandung dengan cara yang tidak baik yaitu dikarenakan pemerkosaan, dan harus mengeluarkan anak dengan cara menggugurkan yang mana dapat merenggut nyawa korban. Oleh karena itu, pasti ada sebab kenapa bisa terjadi kasus aborsi dikarenakan rudapaksa dan mengapa pemerkosaan hari ini semakin marak?

Menurut data Komnas Perempuan pada 2022 menyebutkan kasus yang dilaporkan sebanyak 1.721 atau naik 83% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 940 kasus. Komnas Perempuan mencatat kasus yang paling sering terjadi di antaranya penyebaran konten porno, peretasan dan pemalsuan akun, hingga pendekatan untuk memperdayai.

Lebih mengerikan lagi, hari ini media sosial tidak ada lagi sensor pada setiap aplikasi dan konten-konten yang tidak berfaedah, yang mana semua kalangan bisa mengaksesnya. Hal ini, menjadi salah satu faktor penyebab angka rudapaksa semakin meningkat.

Maka dari itu, pasti ada penyebab atau faktor dari maraknya fenomena ini. Faktor yang paling utama yaitu keluarga, karena keluarga memiliki fungsi tersendiri dalam pembentukan kepribadian seorang individu. Fungsi keluarga yaitu fungsi kasih sayang, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi perlindungan dan fungsi rekreasi. Tapi nyatanya hari ini jauh dari kata keluarga, faktanya banyak sekali generasi broken home, dari keluarga yang tidak utuh, faktor ekonomi, dan juga faktor lingkungan yang tidak baik.

Keadaan emosional muncul dari sakit hati yang datang dengan perceraian. Sakit hati yang dialami atau dirasakan oleh korban itulah yang menjadi pemicu munculnya emosi.

Keluarga juga besar pengaruhnya terhadap pemicu permasalahan dalam kasus rudapaksa. Faktor yang kedua yaitu faktor lingkungan, lingkungan sekitar yang kurang baik juga menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual. Bisa dilihat hari ini, betapa banyak anak yang salah pergaulan, sehingga salah jalan dan berani melakukan sesuatu di luar batas kendalinya.

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam bersosialisasi dengan orang lain, kita harus bisa memilih lingkungan yang baik, memilih teman atau saudara yang baik. Faktor ketiga faktor individu ini terjadi karena kepribadian anak itu sendiri, baik itu internal maupun eksternal. Bisa terjadi karena kondisi keluarga ataupun lingkungan masyarakat yang kurang baik. Faktor internal meliputi anak dengan kebutuhan khusus, anak itu terlalu polos, mudah terpengaruh, anak terlalu bergantung kepada orang dewasa, dan lain-lain.

Maraknya kasus rudapaksa di negri ini juga menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan, yang mana di satu sisi kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang sangat jauh dari islam. Berbagai celah kebangkitan syahwat juga makin lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan bisa di akses oleh gawai sendiri.

Pada saat yang sama, pandangan terhadap perempuan diaruskan menurut paradigma sekuler kapitalistik yang memposisikan perempuan sebagai tuas pengungkit sekaligus komoditas ekonomi.

Tambahan lagi, sistem pergaulan dan interaksi sosial juga minus suasana keimanan. Sedangkan aparat pengayom masyarakat dan penegak hukum hanya menjadi pemalak rakyat melalui praktik kotor jual beli hukum jika terjadi kriminalitas seperti pemerkosaan.Jika sudah seperti ini, apa lagi yang layak diharapkan dari penguasa negeri kita dalam memberikan jaminan keamanan bagi kaum perempuan?

UU TPKS
UU TPKS belum berhasil mengatasi kasus pemerkosaan. Menurut data Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022—Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Untuk KSBE sendiri mencapai 2.776 kasus. Dari angka tersebut, ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan (2.153 kasus). Ditambah lagi angka aborsi yang semakin tahun semakin meningkat mencapai 2,4 juta jiwa per tahunnya.

Data tersebut menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan di Indonesia cukup marak. Kasusnya variatif dan sangat kompleks, bahkan modusnya makin canggih. Belum tuntas kita membicarakan kasus kekerasan seksual pada perempuan dewasa, angka kekerasan seksual pada anak juga tidak kalah menyedihkan dan membuat terkejut.

Selain persoalan anak yang menjadi korban pedofil maupun kasus pemerkosaan terhadap anak justru terus terungkap. Semua ini menegaskan bahwa Indonesia benar-benar dalam kondisi darurat kekerasan seksual.

Pandangan Aborsi dalam Kacamata Islam

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Atrinya:
“Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.

Allah sudah jelas-jelas menyebutkan dalam Al-qur’an bahwasanya jika seorang manusia itu membunuh atau menggugurkan janin tanpa alasan yang benar (merenggut nyawa) maka harus membebaskan budak. Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diat ghurrah adalah sudah tampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, kepala, mata, atau kuku.

Adapun pengguguran janin sebelum peniupan ruh pada janin itu, jika dilakukan setelah berlalu 40 hari sejak awal kehamilan yaitu ketika dimulai proses penciptaan, hal itu juga haram. Dan hukum bagi pelaku pemerkosaan dalam Islam adalah rajam sampai mati bagi yang sudah menikah (muhsan) dan cambuk 100 kali dan bagi yang belum menikah juga sama.

Maka dari itu Islam menjadi solusi dari fenomena aborsi ini. Islam adalah sebuah ideologi yang shahih memiliki seperangkat aturan yang jelas, lengkap dan tegas. Sanksi hukum dalam sistem Islam ini bagian dari penerapan syariat kafah, selain bisa menimbulkan efek jera dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa dan bisa menebus dosa bagi pelaku di akhirat kelak.

Implementasi Islam kafah, termasuk sistem sanksi, benar-benar akan menutup celah kejahatan seksual terhadap perempuan karena Islam mampu menyelesaikan pemerkosaan dari akar masalahnya. Wallahu’alam bishowab.[]

Comment