Malnutrisi Meningkat Semasa Pandemi, Siapa Bertanggung Jawab?

Opini501 Views

 

 

Oleh: Novita Darmawan Dewi, Komunitas TasBude

___________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKART  – Indonesia merupakan negara dengan triple burden malnutrition yakni stunting, gizi kurang atau buruk, serta gizi berlebih atau obesitas. Saat pandemi Covid-19, terjadi peningkatan pada kasus malnutrisi anak di Jawa Barat.

Hal itu dikatakan oleh Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Dewi Marhaeni Diah Herawati pada Webinar bertema “Status Gizi Anak: Pemberian ASI dan Pencegahan Stunting” yang berlangsung beberapa waktu lalu.

Disebutkan Dewi, penyebab langsung yang menjadikan kondisi itu terjadi adalah praktik menyusui yang tidak memadai dan pola makan yang buruk, ditambah praktik pengasuhan yang tidak optimal.

“Kami melakukan e-monev mengenai dampak Covid-19 terhadap cakupan gizi sensitif di Provinsi Jawa Barat bersama 17 perguruan tinggi lain di Indonesia, hasilnya memang pandemi ini sangat memberikan dampak,” tutur Dewi. (www.pikiran-rakyat.com)

Pandemi Covid-19 Perparah Gizi Buruk?

Sebelum Covid-19, Indonesia sudah mengalami permasalahan gizi yang tinggi. Lebih dari 2 juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari 7 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%. (Katadata, 25/1/2019)

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, Indonesia masih memiliki persoalan gizi buruk, gizi kurang, dan prevalensi stunting yang cukup tinggi. Berdasarkan data hasil survei status gizi balita Indonesia tahun 2019, angka prevalensi stunting mencapai 27,67%. Ini berarti terdapat 6,3 juta anak balita dari populasi 23 juta anak balita di Indonesia yang mengalami stunting.

Padahal, ambang batas maksimal angka kekurangan gizi pada anak menurut WHO adalah 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan gizi buruk ataupun stunting tak bisa dianggap remeh. Sebab, kondisi balita di masa sekarang adalah cerminan SDM di masa depan. Apa jadinya bila gizi buruk dan stunting terus meningkat? Indonesia bisa kehilangan SDM unggul lebih dini.

Di antara faktor yang menyebabkan anak-anak mengalami gizi buruk hingga stunting antara lain:

Pertama, ekonomi. Persoalan ekonomi menjadi faktor utama yang banyak dialami masyarakat. Pekerjaan dan penghasilan yang tak mencukupi, serta tingginya harga bahan makanan membuat orang tua kesulitan mencukupi kebutuhan gizi anak.

Alhasil, kasus gizi buruk dan stunting tidak akan selesai jika masalah ekonomi belum dituntaskan. Sebab, taraf hidup yang rendah seperti kemiskinan berkelindan bersama tidak terpenuhinya hak anak dalam mendapatkan gizi dan nutrisi yang baik.

Kedua, sanitasi. Hal ini juga banyak menimpa pada keluarga yang sulit mengakses tempat tinggal, lingkungan, dan air bersih. Akibat persoalan ekonomi tadi, minimnya kualitas papan berdampak pula kualitas pangan mereka. Sanitasi yang buruk akan mencemari bahan makanan yang akan disajikan.

Ketiga, pendidikan. Pendidikan yang rendah akan menurunkan tingkat literasi gizi yang dibutuhkan orang tua dalam mengasuh anaknya. Ketidaktahuan orang tua terhadap pentingnya pemberian gizi pada anak cenderung menganggap gizi bukanlah hal penting. Di sistem serba kapitalis, pendidikan menjadi barang yang sulit dijangkau. Hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi.

Keempat, perilaku orang tua. Banyak orang tua berpikir bahwa mereka mengetahui segalanya sehingga tidak menyadari dan memahami jika mereka masih membutuhkan bimbingan dan arahan para ahli medis dalam mengatasi gizi dan masalah kesehatan lainnya.

Semua faktor tadi sebenarnya tersimpul dalam dua faktor, yaitu problem ekonomi dan pendidikan. Ibarat rantai masalah yang tidak akan pernah habis dibabat. Sebab, faktor penyebab rendahnya ekonomi dan pendidikan adalah penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan kesenjangan sosial, tidak terjaminnya kebutuhan dasar, dan abainya pemerintah dalam mengatur urusan hulu hingga hilir.

Butuh Solusi Mendasar dan Menyeluruh

Kompleksitas penyebab kasus stunting di daerah–tak hanya di daerah-daerah Indonesia timur–tidak mungkin diselesaikan secara parsial, apalagi mengedepankan ego sektoral atau ego kedaerahan.

Solusi kasus ini butuh penanganan menyeluruh dan mendasar, mengingat kasus ini mencerminkan kemampuan negara menjamin kesejahteraan dan membangun kesadaran masyarakat secara orang per orang.

Masyarakat di mana pun, tentu bukan tak ingin mengonsumsi makanan bergizi. Tetapi kemampuan ekonomi mayoritas mereka memang tak memadai dan kesenjangan sosial begitu tinggi.

Karenanya, pemerintah perlu melakukan koreksi mendasar terkait kebijakan hingga sistem ekonomi hari ini yang nyatanya sangat diskriminatif karena pro kepentingan modal. Sekaligus mengkoreksi sistem pemerintahan yang memghambat distribusi kekayaan karena sekat-sekat kedaerahan.

Masyarakat sebetulnya hanya butuh akses yang besar terhadap faktor-faktor ekonomi berikut peningkatan taraf berpikir melalui kebijakan pendidikan dan pembangunan lain yang berkeadilan. Semuanya terkait paradigma politik yang diadopsi para pemangku kebijakan.

Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan modal menyejahterakan diri dan keluarganya, dengan skill dan daya beli yang tinggi, serta ditunjang pemahaman terkait urgensi mengupayakan hidup berkualitas demi perbaikan generasi di masa depan. Wallahu’alam.[]

*_*Penulis, Ibu Rumah Tangga, Pegiat Komunitas Ibu Ideologis (‘Tas Bude’)_*

Comment