Paradoks Seremonial Hari Anak dan Fakta yang Terjadi

Opini282 Views

 

 

Penulis: Rizka Adiatmadja | Penulis Buku dan Praktisi Homeschooling

 

RADARINDONESIANEWS.COM, Peringatan Hari Anak Nasional selalu dirayakan setiap tahun. Tanggal 23 Juli menjadi hari bersejarah dan tampuk seremonial yang mengetengahkan perayaan tentang anak. Meskipun sejatinya kondisi anak saat ini sangat memprihatinkan.

Peringatan Hari Anak Nasional di tahun 2024 ini mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Namun, problematika yang ada dan menggerogoti kondisi anak-anak masih begitu sulit dientaskan.

Dikutip dari kompas.com – Peringatan Hari Anak Nasional ke-40. Papua menjadi lokasi yang dipilih sebagai puncak perayaan Hari Anak Nasional ini. Diharapkan agar anak-anak di daerah terpencil pun merasakan kemeriahan yang disuguhkan. (18 Juli 2024)

Tema yang diusung memberikan gambaran yang sangat jelas. Bahwa semua bangsa senantiasa menggantungkan harapan besar kepada generasi, termasuk negeri kita tercinta ini. Namun, menciptakan generasi terbaik tentulah tak cukup hanya wacana dan aksi sederhana.

Anak-anak yang berkualitas tentu perlu dibentuk dengan fondasi yang tegas. Bukan hanya tumbuh kembangnya yang menjadi prioritas. Namun, kita semua tahu untuk jaminan kesehatan, pendidikan, dan keamanan anak hari ini, sungguh jauh panggang dari api.

Hak-hak mereka terabaikan, langkahnya tanpa perlindungan. Jaminan kesehatan, keamanan, dan pendidikan pun sekadar impian yang berujung kesedihan. Faktanya, mereka berjibaku dengan virus-virus kerusakan yang menghancurkan eksistensi sedari dini. Hingga tumbuhlah manusia-manusia muda yang putus asa karena menjangkau sejahtera sulit tidak terkira.

Apakah negara sudah berhasil melindungi generasi atau bahkan masih gagal dalam memberikan solusi?

Dikutip dari medcom.id – kasus kekerasan terhadap anak masih sangat tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.193 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi hingga Juni 2024. Ada 893 kasus pelanggaran terhadap pemenuhan hak anak. Ada 300 kasus untuk pelanggaran perlindungan khusus anak. (24 Juli 2024)

Anak-anak yang malang ini bukan hanya mengalami kekerasan fisik yang kejam, psikis mereka pun dihantam. Kejahatan seksual kerap terjadi terhadap mereka. Penelantaran yang semakin semena-mena.

Eksploitasi anak sudah bukan rahasia, dari pemaksaan, perbudakan, hingga pelacuran. Perdagangan anak yang melibatkan banyak sindikat hingga penjualan organ yang teramat jahat. Pelaku kekerasan terhadap anak hari ini bukan hanya orang tak dikenal, tetapi orang terdekat yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka secara maksimal.

Kerap kali tersebar di pemberitaan kekerasan yang sadis terhadap anak, ternyata pelakunya adalah orang tuanya sendiri, kerabat, dan tetangga. Dari kasus penyiksaan, pencabulan, hingga pembunuhan. Semua sudah tidak masuk akal, mereka yang seharusnya menyayangi tak segan menjadi penjagal.

Anak adalah cikal bakal dan tempat kita menggantungkan harapan. Namun, hari ini mereka acap menjadi korban kekerasan dan bahkan menjadi pelaku kejahatan. Gadis belia tak segan menjual dirinya, menjadi pelaku pornografi. Pun, remaja laki-laki tak lagi asing dengan tawuran, perundungan, narkoba, judi online, dan pembunuhan.

Belum lagi permasalahan kemiskinan yang merajalela dan menambah panjang kasus gizi buruk yang menjangkiti anak-anak Indonesia. Semua keadaan menjadi benang kusut. Permasalahan anak di Indonesia adalah problematika sistemis. Belum lagi bahaya dunia siber mengintai keberadaan mereka.

Kita layak bertanya, benarkah negara sudah maksimal memberikan perlindungan? Permasalahan yang tak menemukan titik solusi karena semua hanya dihukumi secara parsial. Tidak menembus titik permasalahan secara integral. Ketiadaan perlindungan negara, disfungsi keluarga, orang tua yang sulit sejahtera, pendidikan yang semakin mengarahkan pada perilaku kebebasan, fondasi agama ditiadakan dari mengurusi kehidupan.

Lengkaplah sudah derita anak-anak di bawah naungan ketidakadilan kapitalisme. Kemiskinan yang menjerat dan tidak menyejahterakan, salah satu akibat besar dari diadopsinya sistem perekonomian kapitalisme. Kesenjangan yang semakin sulit ditembus. Biaya pendidikan dan kesehatan mahal tak terkira. Keamanan semakin sulit dijangkau.

Ditambah dengan sekularisme yang menjalar hebat, kebebasan atas apa pun diberikan fasilitas oleh negara. Maka, membengkaklah penyakit yang menggerogoti keberlangsungan hidup anak-anak. Jika tidak menjadi korban maka biasanya ia menjadi pelaku kejahatan. Mereka rusak sebelum berkembang. Bagaimana kita bisa menggantungkan harapan masa depan kepada tunas yang rusak?

Sejatinya, hanya Islam yang memiliki aturan secara lengkap. Mekanisme Islam yang sempurna dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Ibu yang memiliki peran sebagai pelindung pertama dibentuk agar fokus terhadap anaknya.

Dari sejak di kandungan, melahirkan, mengasuh, dan mendidik. Menyusui hingga dua tahun, merawat tumbuh kembang, mengasuh sepenuh kasih sayang, mendidik agar anak memiliki kepribadian yang islami.

Tak hanya itu, ayah pun diberikan keleluasaan untuk mencari nafkah dan negara harus menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya. Ayah harus fokus terhadap nafkah ibu menyusui bahkan negara mengatur dengan adil sekalipun ibu menyusui itu diceraikan.

Peranan ayah tak hanya mencari nafkah, sebagai qawwam tentunya ia harus sigap melindungi keluarganya dari apa pun. Bahkan teladan ketakwaan harus terbangun di dalam dirinya.

Seorang ibu (perempuan pada umumnya) diperbolehkan untuk berkiprah di luar rumah. Dengan syarat bukan untuk mencari nafkah dan tugas sebagai istri dan ibu sudah tertunai dengan semestinya.

Orang tua tidak boleh menyakiti anaknya. Bahkan untuk memukul anak pun ada syaratnya. Di saat berusia sepuluh tahun, jika anak tidak mau salat. Maka, pukullah dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti fisik mereka. Tujuannya adalah membentuk kedisiplinan dan berkonsekuensi.

Kehidupan Islam akan memberi suasana ketakwaan. Dari keluarga yang terjaga sebagai pilar pertama akan melahirkan masyarakat yang terbina, memahami betul esensi beramar makruf nahi mungkar yang menjadi pelita agar anak-anak tidak terancam bahaya ketika berada di lingkungan masyarakat yang menjadi pilar kedua.

Islam menghargai kebebasan yang tentunya dalam ranah kebaikan dan kebenaran, tanpa adanya pelanggaran terhadap syariat. Kanal-kanal media dan aktivitas dunia siber akan diatur sedemikian rupa agar tidak memberikan pengaruh buruk dan berpotensi merusak.

Sistem Islam pun membentuk negara menjadi pilar ketiga agar bisa menegakkan hukum dengan seharusnya. Bukan seperti yang terjadi di ranah demokrasi. Hukum tebang pilih dan tidak melahirkan efek jera. Sedangkan dalam Islam hukum benar-benar diberlakukan dengan adil, sanksi tegas untuk para pelaku kriminal agar kejahatan itu tidak terulang.

Di dalam Islam ada konsep jawabir (paksaan) yang ditujukan menjadi bentuk upaya untuk mencapai kemaslahatan. Fokus terhadap pelaku tindak pidana. Sedangkan zawajir (pencegahan) adalah sebuah antisipasi agar tindak pidana tidak terjadi lagi. Fokus terhadap perbuatan tindak pidana. Intinya dari kedua konsep itu adalah melahirkan efek jera.

Penerapan Islam secara menyeluruh akan mampu mengentaskan segala problematika kehidupan, termasuk permasalahan anak yang hari ini semakin menggurita dan mengkhawatirkan.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208) Wallahu’alam bisshowab.[]

Comment