Penulis: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T | Dosen dan Pemerhati Sosial
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pembangunan sejatinya memberi rasa nyaman. Terjadi perubahan atau perbaikan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Jika kondisi tersebut tidak tercipta, maka sejatinya bukan pembangunan yang dilakukan tapi pengrusakan bertopeng pembangunan.
Indonesia saat ini menggenjot pembangunan infrastruktur di hampir semua wilayah, terlebih di luar Pulau Jawa. Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah salah satu provinsi dengan pembangunan infrastruktur yang cukup banyak dan beragam. Mulai dari sarana transportasi, bendungan, smelter, dan yang lainnya.
Sepintas terlihat sangat bagus. Namun, perlu ditelisik lebih detail tujuan pembangunan infrastruktur tersebut. Demi siapa? Benarkah untuk kesejahteraan rakyat? Jika iya, rakyat yang mana? Ataukah sebaliknya, malah membuat kesengsaraan berkepanjangan?
Banyak tanya yang sering kali memenuhi benak bagi siapa pun yang melihat realitas pembangunan saat ini.
Pasalnya, pembangunan infrastruktur berbasis kapitalistik hari ini begitu banyak menimbulkan masalah. Misal di Sulsel, pembangunan kereta api trans Sulawesi ditengarai sebagai penyebab banjir di Kota Barru dan sekitarnya. Pun proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI), di mana dalam catatan Walhi ada 11 desa yang terkena dampak abrasi akibat penambangan pasir laut. Belum lagi terganggunya ekosistem pantai yang menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan tradisional.
Jika menengok ke era Presiden Soeharto, ada pembangunan Dam (bendungan) Bili-Bili yang konon menenggelamkan lima kampung (Kampung Bonto Parang, Lanna, Pattalikang, dan Kampung Manuju). Bendungan dengan waduk 40.428 hektare ini dibangun dengan dana pinjaman luar negeri sebesar Rp780 miliar. (makassar.tribunnews.com, 31/7/2023)
Walau tujuan dibangunnya berbagai infrastruktur tersebut terlihat pro rakyat, seperti mengatasi risiko banjir, sebagai sumber air untuk irigasi, dan air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, realita yang dirasakan dominan rakyat adalah lebih kepada kesengsaraan. Terlebih bagi warga di sekitar pembangunan infrastruktur berada.
Lihatlah dampak dari berbagai pembangunan tersebut menimbulkan beragam problem. Alih fungsi tata ruang berefek pada kerusakan lingkungan, yang berujung bencana. Mulai dari banjir, longsor, warga yang kehilangan mata pencaharian, serta berbagai dampak sosial lainnya.
Paradigma Eror
Tak dimungkiri bencana yang menimpa berbagai wilayah, tidak bisa dilepaskan dari paradigma pembangunan itu sendiri. Sistem kapitalisme dengan asas sekularisme “sukses” membuat pembangunan infrastruktur menuai kerusakan. Baik efek jangka pendek maupun jangka panjang yakni keberlanjutan peradaban manusia. Mengapa demikian? Sebab dampak kerusakan yang ditimbulkan bersifat sistemik.
Jika menelisik akar masalah dari kerusakan pembangunan infrastruktur ala kapitalistik, akan ditemui sebab mendasarnya, antara lain: pertama, dibangun di atas paradigma eror. Paradigma yang menafikan aturan Sang Pencipta, dipastikan menuai kerusakan.
Manusia sebagai hamba seyogianya menjadikan aturan Ilahi sebagai dasar dalam menjalani semua aktivitas, termasuk dalam hal pembangunan infrastruktur. Inilah prinsip yang paling asasi dari semua aktivitas manusia. Bukan menggunakan aturan manusia.
Kedua, berpikir pragmatis. Kemunduran taraf berpikir disebabkan banyak hal, diantaranya masifnya gempuran infiltrasi pemikiran rusak (Barat). Kondisi ini ditandai dengan menyolusi setiap permasalahan dengan solusi jangka pendek. Pragmatisme pun menjadi solusi pamungkas. Sibuk mencari solusi di hilir, tetapi kran kerusakan di hulu terbuka lebar. Tidak mencari akar masalah, tetapi mencoba mengadakan perbaikan di permukaan. Jadilah, beragam kerusakan tidak pernah tuntas diselesaikan. Bahkan, makin hari terkesan makin menggila.
Ketiga, apolitis. Kompleksnya problem hidup menjadikan rakyat antipati dengan diksi politik. Tersebab makna politik yang diadopsi adalah politik ala kapitalisme. Sehingga, realitas yang terindera adalah sesuatu yang negatif. Semisal; money politik, seputar kekuasaan, duduk di parlemen, politik transaksional, dll. Alhasil, ketika rakyat dijauhkan dari makna politik yang sesungguhnya, maka dengan mudah kebijakan (rusak) yang ditempuh penguasa hari ini berlenggang tanpa kendala berarti.
Pembangunan yang Menyejahterakan
Sejarah peradaban Islam dengan kegemilangan capaian pembangunan infrastruktur begitu memesona bagi siapa pun yang melihatnya. Dilandasi paradigma pembangunan berdasar syariat, dihasilkan sebuah karya yang fenomenal. Hal ini masih bisa kita saksikan hari ini di hampir semua negeri yang pernah menerapkan sistem Islam.
Sebut saja, Istana Topkapi di Turki. Istana yang juga dikenal dengan sebutan masjid biru merupakan kediaman resmi dan pusat pemerintahan Sultan Turki Usmani selama sekitar 400 tahun. Selanjutnya ada monumen Hagia Shopia, The Laleli Mosque, dan masih banyak lagi. Pun, jika menegok sejarah Islam di negeri ini. Ada banyak masjid megah dan mewah, seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Syekh Yusuf, dll.
Bagaimana dengan infrastruktur lainnya? James E Lindsay dalam buku Daily Life in the Medieval Islamic World mencatat bahwa di Sungai Tigris, umat Islam bahkan membuat jembatan ponton. Terbentang sepanjang Sahara, Sungai Nil, hingga Maroko yang membuat jalur transportasi semakin sibuk; baik untuk haji, perdagangan, maupun perpindahan manusia.
Beginilah secuil gambaran pembangunan infrastruktur berbasis syariat. Paradigma pembangunan yang dibangun atas dasar akidah Islam, meniscayakan kesejahteraan untuk semua. Bahkan dirasakan manfaatnya selama beribu tahun lamanya.
Sungguh sebuah potret pembangunan yang seharusnya dijadikan rujukan. Namun, Kondisi ini hanya akan mewujud jika sistem Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Tersebab Islam adalah sebuah ideologi sekaligus sistem kehidupan paripurna yang berasal dari Dzat Yang Mahasempurna, Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf ayat 96, yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Wallahua’lam bis Showab.[]









Comment