Perangkap Sistemik bagi Generasi Digital

Opini56 Views

Penulis: Poppy Kamelia P. B.A(Psych), S.Sos, CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS. |
Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Generasi muda hari ini hidup di tengah pusaran digital yang bergerak begitu cepat hingga kerap membuat mereka kewalahan. Setiap kali ponsel dibuka, dunia seolah hadir dalam bentuk hiburan yang tak berujung.

Namun, di balik tampilan yang memikat itu ada kekuatan besar yang bekerja tanpa disadari. Algoritma perlahan membaca jejak digital mereka, memahami kebiasaan, menangkap kegelisahan, lalu menargetkan bagian paling rapuh dalam diri pengguna.

Ketika logika kapitalisme menguasai ruang digital, tidak ada yang netral. Justru mereka yang paling rentanlah yang paling sering menjadi sasaran.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak muda dengan kemampuan finansial terbatas, terutama laki-laki, menjadi target utama iklan berisiko seperti judi daring, pinjaman cepat, dan investasi spekulatif.

Studi di Spanyol menemukan bahwa pemuda kelas ekonomi bawah menerima hampir 2 kali lebih banyak iklan berisiko dibandingkan mereka yang berasal dari kelas atas, sementara pemuda kelas atas justru lebih sering disuguhi iklan rekreasi dan perjalanan.

Perbedaan ini seperti ditulis kompas.id (5/12/2025) bukan soal preferensi, tetapi hasil algoritma yang bisa menebak status ekonomi pengguna dari jejak digital mereka. Ketika kerentanan terbaca, paparan justru makin diperkuat.

Fenomena ini sangat terasa di Indonesia. Hidup makin mahal, sementara peluang kerja tidak bertambah secepat kebutuhan pemuda.

Dalam kondisi seperti ini, judi daring dan pinjol tampak seperti jalan pintas yang mudah. Banyak anak muda menjadikannya tempat pelarian, namun yang mereka temui justru jebakan panjang.

Data OJK sebagaimana dikupas tempo.co (6/12/2025) menunjukkan lonjakan rekening pinjaman digital di usia muda, diikuti kenaikan tajam kredit macet. Akses yang terlalu mudah, literasi keuangan yang rendah, dan syarat yang longgar membuat mereka terperosok sebelum sempat memahami risikonya.

Riset Fakultas Ekonomi Unpar seperti diungkap kompas.com (28/11/2025)  menunjukkan bahwa 58% Gen Z menggunakan pinjaman online untuk hiburan dan gaya hidup, bukan kebutuhan produktif.  Ini menggambarkan kuatnya nilai sekuler dan materialistik yang membentuk pola pikir mereka.

Media sosial dipenuhi konten konsumtif, sementara algoritma terus mendorong mereka membeli dan meminjam. Dari luar mereka tampak tidak bijak, padahal mereka sedang hidup dalam arus besar yang membentuk cara mereka melihat kebahagiaan dan diri sendiri.

Negara pun masih kesulitan membendung derasnya pinjol ilegal. Hingga pertengahan 2025, lebih dari 6000 aplikasi telah diblokir, namun setiap kali 1 ditutup beberapa yang baru langsung bermunculan.

Upaya ini seperti memotong rumput liar yang akarnya tetap tumbuh di bawah tanah. Ruang digital bergerak mengikuti logika keuntungan, sementara sistem perlindungan negara belum cukup kokoh.

Kepala Eksekutif OJK, Friderica Widyasari Dewi sebagaimana dilaporkan kompas.com (16/10/2025) mengingatkan bahwa gagal bayar di kalangan anak muda bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.

Digitalisasi memang memudahkan banyak hal, namun bisa menjadi bahaya jika tidak diimbangi kebijakan yang benar-benar melindungi generasi.

Kita perlu jujur melihat bahwa persoalan ini tidak lahir dari kelemahan individu semata. Ada faktor sistemik yang saling terkait dan memperkuat. Tekanan ekonomi dalam sistem Kapitalisme membuat hidup semakin berat, sementara ruang digital yang dikuasai logika profit memperlakukan generasi sebagai pasar, bukan manusia yang harus dijaga.

Sistem ekonomi Islam memberikan jaminan kesejahteraan bagi setiap rakyat, satu per satu, sehingga generasi tidak dibiarkan hidup dalam tekanan ekonomi yang memaksa mereka berutang atau mencari jalan pintas yang keliru.

Pada saat yang sama, pendidikan Islam membentuk kepribadian yang kokoh dengan mengarahkan setiap pilihan pada halal dan haram, bukan pada manfaat materi atau tren digital yang menyesatkan.

Infrastruktur digital dalam islam  dibangun dengan paradigma Islam yang membuat ruang daring menjadi tempat yang aman, bebas dari konten merusak, normalisasi maksiat, dan eksploitasi algoritma terhadap kerentanan manusia.

Dari fondasi inilah tumbuh generasi muslim yang memahami identitasnya, menyadari perannya sebagai penerus peradaban, dan berjuang melalui pembinaan Islam serta aktivitas dakwah bersama kelompok dakwah yang berlandaskan Islam.

Hari ini akan menjadi jejak yang mereka pijak esok hari. Semoga Allah menuntun kita untuk tidak hanya melihat, tetapi juga peduli. Tidak hanya mengkritik, tetapi memperbaiki. Tidak hanya berharap, tetapi berjuang bersama agar generasi ini tumbuh dalam lingkungan yang adil dan penuh keberkahan.

Dengan begitu, Indonesia bukan hanya menjadi negara yang maju secara teknologi, tetapi juga negara yang maju secara manusia. Semoga ikhtiar kita diridhai-Nya dan menjadi amal jariyah bagi kehidupan yang lebih baik bagi generasi hari ini dan generasi yang akan datang.

Pada akhirnya, masa depan bangsa tidak hanya bergantung pada cepatnya teknologi bergerak, tetapi pada bagaimana kita menjaga manusia yang ada di dalamnya. Kemajuan tidak berarti apa-apa tanpa generasi yang kuat akhlak, arah hidup, dan keteguhan jiwanya.

Generasi muda yang tampak tegar dengan gawai di tangan mereka sebenarnya sedang memikul tantangan besar. Mereka membutuhkan perlindungan, bukan penonton.

Mereka membutuhkan sistem yang berpihak dan memuliakan martabat mereka, bukan yang menjadikan mereka sekadar pasar untuk dieksploitasi.

Jika kita ingin Indonesia yang kokoh, maka menguatkan akidah, mental, dan tujuan hidup generasi muda harus menjadi prioritas. Semoga Allah menuntun kita untuk benar-benar peduli, memperbaiki, dan berjuang bersama.

Dengan begitu, Indonesia tumbuh maju bukan hanya secara teknologi, tetapi juga secara manusia. Wallahu A’laam Bisshawaab.[]

Comment