Penulis: Khairun Nisa, S.M | Aktivis Perempuan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sejumlah elemen mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa Kaltim Bergerak (Makara) melakukan unjuk rasa di depan kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Kecamatan Sungai Kunjang, Senin (26/8/25) lalu.
Aksi ini memuat empat tuntutan. Pertama, menyuarakan tuntutan pengesahan RUU Perampasan Aset. Kedua, menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat. Ketiga, menolak hak guna usaha (HGU) 26 ribu hectare tambang oleh PBNU di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Keempat, mengecam tindakan represif aparat terhadap massa aksi demonstrasi.
Aksi ini berlangsung cukup lama hingga pukul 17.40 wita, demonstrasi mulai tak terkendali. Para mahasiswa memaksa masuk dengan memanjat pagar yang telah dilapisi kawat tipis, membakar ban dan mengatur barisan. Muncul berbagai reaksi publik yang melihat ini sebagai aksi yang tidak sesuai dengan tujuannya.
Lantas, apakah tuntutan mahasiswa ini benar-benar bisa mengantarkan pada kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik? Ataukah malah sebaliknya?
Langkah seperti apa yang harus dilakukan mahasiswi sebagai agent of change agar dapat merealisasikan perubahan yang benar?
Memang sudah semestinya mahasiswa berperan aktif menyuarakan aspirasi, mengoreksi pemerintah dan terdepan dalam upaya mewujudkan perubahan. Aksi yang dilakukan untuk mengoreksi pemerintah harus dengan proses yang baik. Tidak ada tindakan represif dari aparat dan apa yang disuarakan oleh mahasiswi harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Namun, perlu diingat bahwa perubahan ke arah yang lebih baik tidak akan terwujud selama berada dalam bingkai demokrasi liberal dan kapitalistik. Sebab, demokrasi lahir dari adanya suasana kapitalistik yang membuat seluruh arah kebijakan condong kepada para pemodal.
Mereka yang menguasai sumber daya alam (SDA), mengelolanya hingga barang jadi yang siap dijual kepada rakyat. Sedangkan rakyat harus membeli dengan kondisi ekonomi yang terbilang sulit. Mereka yang berduit akan selalu menang hingga mampu menggerakkan arah kebijakan yang mengatur rakyat.
Suatu hal yang menjadi ironi, demokrasi liberal yang ingin diselamatkan itu adalah sistem yang sejatinya memicu kerusakan dan ketidak adilan di masyarakat.
Penguasa silih berganti, tetapi tidak ada yang mampu mengubah keadaan.
Demokrasi libersl hanya melahirkan kerusakan berlapis. Utang negara semakin menumpuk, lahan-lahan rakyat dirampas untuk kepentingan oligarki, pungutan pajak semakin mencekik, hingga berbagai persoalan sosial muncul seperti meningkatnya angka kriminalitas, pergaulan bebas, merebaknya judol dan pinjol, dan lain sebagainya.
Demokrasi ala kapitali sekuler tidak akan memberi kesejahteraan bagi rakyat. Kita bisa melihat bahwa cengkaraman kapitalis ini menguasai individu dan institusi yang tidak pure mewakili kehendak rakyat maupun mayoritas rakyat.
Hal ini disebabkan kapitalis itulah yang telah menempatkan mereka ke berbagai posisi hingga dapat mewakili dan merealisasikan kepentingan kapitalis itu.
Demokrasi liberal adalah sistem yang tidak selaras dengan kesejahteraan dan keadilan. Kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan adalah konsep yang keliru. Ini disebabkan bahwa manusia sangat lemah dan terbatas sehingga tidak akan mampu membuat hukum dan aturan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi masyarakat dan negara.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah seharusnya menjadi agen perubahan di masyarakat. Perubahan yang diharapkan tentunya haruslah perubahan menuju kepada sebuah sistem yang berlandaskan pada aturan Pencipta manusia itu sendiri.
Setidaknya ada beberapa upaya yang perlu dilakukan mahasiswa dalam upaya memaksimalkan dan mereposisi peran politiknya menuju perubahan hakiki.
Pertama, mahasiswa sebagai agen perubahan harus bermental baja. Mahasiswi harus mengubah dirinya agar terbentuk pola pikir islam yang akan berpengaruh pada pola sikapnya.
Kedua, mahasiswa harus paham bahwa aktivitas untuk sebuah perubahan tidaklah sekedar mengubah melainkan sebagai sebuah tujuan yang jelas dan pasti.
Demokrasi liberal sebagai realitas saat ini terbukti menjadi penyebab rusaknya tatanan kehidupan masyarakat. Sehingga ia tidak akan mampu melakukan perubahan di tengah tekanan para oligarki kapitalistik.
Dengan demikian, mahasiswa harus memahammi bahwa perubahan yang dituju bukanlah kembali kepada demokrasi semu yang sangat sekuleristik melainkan sebuah sistem yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Mahasiswa sejatinya memahami bahwa aktivitas perubahan yang dilakukan berada di atas jalan yang jelas dan sesuai dengan cara Rasulullah melakukannya.
Rasulullah saw adalah manusia yang memberi tata cara meraih perubahan kehidupan yang lebih baik dengan islam.
Tahap pertama dilakukan dengan mencetak para pejuang/kader yang berpola pikir dan sikap islam.
Tahap selanjutnya, berinteraksi dengan masyarakat dan menjelaskan pada mereka tentang pemahaman batil dan mendakwahkan pemikiran islam sebagai problem solving atas semua masalah masyarakat.
Tahap terakhir yaitu masyarakat yang sadar akan ketinggian hukum islam hingga menuntut penerapan islam yang jelas sesuai fitrah manusia.
Ketika mahasiswa menjalani tiga hal di atas pada dirinya, niscaya ia akan menjadi subjek perubahan yang memiliki kejelasan tujuan yaitu mencapai kesejahteraan hakiki dengsn keadilan di tengah masyarakat tanpa kecuali. Wallahu a’lam bishawab. []
Comment