RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini mengkritik arah pengembangan perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia yang dinilainya semakin menjauh dari esensi universitas sebagai pusat keunggulan ilmu pengetahuan dan riset.
Menurut dia, banyak PTN saat ini justru terjebak pada logika kuantitas mahasiswa, bukan pada penguatan mutu akademik dan inovasi.
Demikian dipaparkan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, M.Sc, Ph.D dalam sebuah diskusi bertema “Evaluasi & Outlook Pendidikan Tinggi & Riset Menuju Kampus Global” melalui zoom, Selasa (16/12/2025).
Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Universitas Paramadina tersebut dihadiri antara lain: Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP (Ketua Komisi X DPR RI), Prof. Sofia W. Alisjahbana, M.Sc., Ph.D, (Rektor Universitas Bakrie), dan Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., IPU (Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung)
Prof Didik dalam diskusi tersebut menilai, dalam dua dekade terakhir PTN berlomba-lomba menerima mahasiswa baru dalam jumlah sangat besar dengan dalih memperluas akses pendidikan. Namun, kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dosen, riset, dan fasilitas akademik.
“Akses tanpa mutu bukan keadilan pendidikan, melainkan ilusi kemajuan,” ujar Prof Didik dalam pandangannya.
Ia menyebut, ekspansi mahasiswa secara masif membuat universitas negeri berubah menyerupai pendidikan ala kursus massal yang berorientasi pada produksi gelar, bukan pembentukan keunggulan intelektual. Dampaknya terlihat pada memburuknya rasio dosen dan mahasiswa, kelas yang membengkak, lemahnya supervisi akademik, serta dangkalnya pengalaman belajar mahasiswa.
Menurut Prof Didik, kondisi tersebut membuat PTN sulit membangun tradisi akademik yang kuat dan berkelanjutan. Lebih jauh, ekspansi PTN yang tidak terkendali juga dinilai memukul peran perguruan tinggi swasta berbasis masyarakat, seperti kampus Muhammadiyah, NU, dan yayasan pendidikan lainnya, yang selama ini berkontribusi mencerdaskan bangsa tanpa dukungan APBN.
“Praktik PTN yang menyerap mahasiswa dalam jumlah sangat besar justru melemahkan ekosistem pendidikan tinggi nasional dan menghancurkan peran civil society dalam pendidikan,” kata dia.
Prof Didik juga menyoroti kualitas lulusan PTN yang dinilainya semakin tidak merata. Banyak dosen terbebani tugas administratif dan pengajaran kelas besar, sehingga waktu untuk riset dan pengembangan keilmuan semakin terbatas.
Akibatnya, tambah senior Indef ini, hanya sebagian kecil lulusan PTN yang benar-benar kompetitif secara global, sementara ijazah PTN tidak lagi otomatis mencerminkan keunggulan kompetensi.
Dalam aspek riset, Prof Didik menilai orientasi PTN masih keliru. Riset di banyak kampus negeri lebih bersifat administratif dan berorientasi laporan, bukan pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi.
Masalah utama, menurut dia, terletak pada arsitektur kelembagaan yang tidak mendukung riset unggulan, mulai dari lemahnya insentif, keterbatasan dana, birokrasi hibah yang rumit, hingga budaya akademik yang lebih menghargai jabatan struktural dibanding prestasi ilmiah.
Kondisi tersebut tercermin dalam peringkat global universitas Indonesia yang masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain di kawasan Asia, seperti Singapura, Malaysia, dan Tiongkok.
Prof Didik menegaskan, rendahnya sitasi riset, reputasi akademik internasional, dan kolaborasi global merupakan indikator nyata persoalan struktural PTN Indonesia.
Ia menambahkan, ketika PTN lebih berperan sebagai penyerap lulusan SMA demi menjaga keberlanjutan keuangan institusi, fungsi universitas sebagai mesin kemajuan bangsa menjadi terabaikan.
“Tanpa universitas riset yang kuat, Indonesia akan terus menjadi konsumen teknologi dan pengikut dalam ekonomi global,” ujarnya.
Prof Didik mendorong adanya koreksi kebijakan secara serius. Ia menilai pemerintah dan DPR perlu mengatur pembatasan jumlah mahasiswa strata satu di PTN besar dan mengalihkan ekspansi pendidikan ke jalur vokasi berkualitas, kampus regional, serta perguruan tinggi swasta berbasis masyarakat. Selain itu, penguatan pendidikan pascasarjana dan riset harus menjadi prioritas utama.
“Universitas tidak menjadi besar karena banyak mahasiswanya, tetapi karena kuatnya pengetahuan yang dihasilkan,” kata Prof Didik. Ia mengingatkan, tanpa perubahan paradigma dari kuantitas ke kualitas, ambisi menjadikan PTN Indonesia sebagai universitas kelas dunia hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Pada bagian akhir diskusi, Prof Didik J Rachbini berencana akan membicarakan hal ini lebih spesifik bersama Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP sebagai Ketua Komisi X DPR RI.[]









Comment