Rudi Hendrik: Pengawasan Terhadap Muslim Jepang Timbulkan Ketakutan

Berita434 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JEPANG – Mohamed Fujita mengadakan kelompok
belajar agama di rumahnya yang terbuka untuk semua umat Islam. Tapi
belakangan ini dia dilanda rasa takut jika mengundang orang asing,
khawatir orang asing tersebut adalah informan polisi.
Mata-mata yang tersebar luas telah membuat banyak Muslim di Jepang cenderung menyembunyikan ciri keimanannya.
Mohamed Fujita masuk Islam sejak lebih
dari 20 tahun lalu. Ia adalah salah satu dari 17 penggugat dalam gugatan
yang menentang pemantauan yang mencari pengikut kelompok Islamic State
(ISIS/Daesh).
Dalam kisah ini, Fujita bukanlah nama
aslinya untuk melindungi identitasnya, setelah dokumen polisi
menyebutnya sebagai ancaman keamanan dalam data yang bocor secara online.
“Mereka membuat kami jadi tersangka teroris,” katanya. “Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, justeru sebaliknya.”
Istri Fujita, pertama kali melihat bahwa ia dan suaminya sedang diikuti oleh penegak hukum pada awal 2000-an.
Pada 2010, terjadi kebocoran 114 data
polisi yang mengungkapkan profil keagamaan umat Islam di seluruh Jepang.
Dokumen-dokumen itu memuat sejumlah informasi pribadi, termasuk nama
individu, deskripsi fisik, hubungan pribadi dan nama masjid yang mereka
datangi.
Data itu juga mencantumkan informasi
tentang KTT G8 2008 yang diadakan di Hokkaido, Jepang utara. Setidaknya
72.000 warga dari negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah
diprofilkan, termasuk sekitar 1.600 siswa sekolah umum di dan sekitar
Tokyo.
Dokumen itu menunjukkan, polisi di ibukota juga telah mengawasi tempat ibadah, restoran halal, dan organisasi terkait Islam.
Dalam beberapa minggu kebocoran, data
itu telah diunduh lebih 10.000 kali di 20 negara dari situs yang
menyebarkan data yang bocor tersebut.
Fujita dan penggugat lainnya yang banyak
dari Timur Tengah atau negara-negara Afrika Utara, menggugat dengan
harapan pengadilan akan mengakui praktek-praktek ilegal polisi tersebut.
Pengacara mereka mengatakan, polisi telah melanggar hak konstitusional
mereka dalam hal privasi, perlakuan yang sama, dan kebebasan beragama.
Setelah dua kali banding, Mahkamah Agung Jepang telah menolak kasus tersebut pada 31 Mei.
Namun hakim sependapat dengan pengadilan
yang lebih rendah bahwa penggugat layak mendapatkan total ¥ 90.000.000
(lebih Rp 11 miliar) sebagai kompensasi karena kebocoran itu melanggar
privasi mereka.
“Kami diberitahu bahwa kami tidak
memiliki kasus konstitusional,” kata Junko Hayashi, seorang pengacara
dari penggugat. “Kami masih mencoba untuk mencari tahu, bagaimana itu
tidak melanggar konstitusil?”
Penegak hukum sebagian besar mengabaikan
kasus ini. Salah satu pernyataan publik sebagian mereka sampai kepada
sidang komite HAM PBB tentang masalah ini pada tahun 2014.
Seorang pejabat dari Badan Kepolisian
Nasional mengatakan, “Rincian pengumpulan informasi kegiatan bertujuan
mencegah terorisme di masa depan yang tidak bisa diungkapkan.”
Kepolisian berdalih bahwa polisi mengumpulkan informasi menurut hukum.

Muslimah Jepang berpakaian Yukatta. (Foto: Khairuddin Safri/Tajuk.co)

Pembelaan untuk Muslim Jepang
Beberapa kalangan telah membela Muslim
Jepang terkait pengawasan itu. Salah satunya adalah Naofumi Miyasaka,
seorang profesor di Akademi Pertahanan Nasional Jepang. Dia menjelaskan
kebocoran data adalah kegagalan terbesar dalam sejarah kontraterorisme
Jepang, karena itu akan mencederai kemampuan penegak hukum untuk
mengumpulkan data intelijen tentang ancaman potensial melalui sikap
saling percaya dan kerja sama antara polisi dan informan.
Keputusan Mahkamah Agung menjadi berita
utama dan debat publik kecil di Jepang. Media lokal telah meliput proses
hukum dengan berfokus pada isu kebocoran informasi dan sekitar masalah
pengawasan polisi terhadap komunitas Muslim.
Tokoh publik yang paling menonjol dalam
mengomentari keputusan Mahkamah Agung itu adalah pembocor data NSA
(Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat) Edward Snowden, yang berbicara
melalui video telekonferensi pada simposium tentang pengawasan
pemerintah di Tokyo pada 4 Juni.
“Orang-orang dari agama Islam lebih
cenderung menjadi sasaran meskipun tidak memiliki kegiatan kriminal atau
asosiasi atau sesuatu seperti itu di latar belakang mereka, hanya
karena masyarakat takut,” kata Snowden, yang pernah bekerja di Tokyo
barat di bidang penghubung fasilitas antara intelijen Amerika dan
Jepang.
“Tapi di Jepang, mari kita lihat serius.
(Sekte) Aum Shinrikyo adalah yang terakhir melakukan tindakan teroris
yang signifikan di Jepang, dan itu lebih dari 20 tahun yang lalu,”
tambahnya, mengacu pada serangan gas sarin 1995 di kereta bawah tanah
Tokyo yang menewaskan 13 orang dan melukai 6.000 lainnya.
Ia mengatakan, sekte Aum Shinrikyo bukan
sebuah kelompok ekstremis Islam fundamental, mereka adalah penganut
kultus kiamat gila yang ingin menciptakan kaisar baru di Jepang.
Pengamat lain juga mempertanyakan apakah
pemantauan kelompok agama tertentu secara massal merupakan strategi
kontraterorisme yang efektif.
“Jerman memiliki program serupa. Mereka
menyelidiki dan menyimpan data 30.000 Muslim di Jerman, tapi tidak
menemukan seorang teroris tunggal di antara mereka,” kata Jeff Kingston,
Direktur Studi Asia di Temple University di Tokyo. “Jadi itu tidak
jelas bahwa pengawasan tanpa pandang bulu ini berguna.”
Hiroshi Miyashita, seorang profesor
hukum di Universitas Chuo yang ahli tentang isu-isu privasi, mengatakan,
hukum rahasia negara yang mulai berlaku pada 2014 akan melindungi
masalah ini dari pengawasan masyarakat dan pengadilan di masa depan.
Miyashita mengatakan, bahkan hakim tidak dapat mengakses informasi tentang praktik polisi di bawah undang-undang baru.
Polisi Metropolitan Tokyo dan Badan
Kepolisian Nasional menolak permintaan untuk mengomentari keputusan
pengadilan, dan tidak akan mengkonfirmasi apakah benar mereka terus
memantau komunitas Muslim Jepang.
Tapi pengacara penggugat, Hayashi mengatakan bahwa dia yakin pengawasan terus diintensifkan. (Mina)
Penulis adalah wartawan Miraj Islamic News Agency

Berita Terkait

Baca Juga

Comment