Sekolah Tak Punya Gedung, Bukti Carut Marutnya Pendidikan dalam Konsep Kapitalisme

Opini79 Views

 

 

Penulis: Atika Nasution, S.E | Pendidik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beredar sebuah video yang memperlihatkan sejumlah siswa berseragam SMP melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan beralaskan plastik terpal berwarna biru.

Dalam video itu, seperti ditulis Detikjabar. Jumat (27 Sep 2024), tidak ada kursi atau pun meja untuk mereka belajar. Mereka duduk lesehan untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Video siswa melakukan KBM beralas akan plastik terpal itu disebutkan ada di salah satu SMP negeri di Kota Bandung yakni SMPN 60 Bandung.

Sungguh kondisi yang sangat miris. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa penyebabnya? Ini sungguh aneh. Apalagi di negeri yang kaya ini.

Berdasarkan Undang-undang tentang Pendidikan Nomor 20 tahun 2023, pengertian Pendidikan adalah usaha, sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Maka sudah seharusnya negara menyediakan fasilitas yang mendorong siswa agar terlaksananya proses pendidikan tersebut agar menghasilkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas baik untuk membangun bangsa ini. Gedung sekolah adalah tempat yang akan memberikan kenyamanan kepada para siswa dalam belajar.

Siswa akan dapat menerima ilmu dengan baik jika tempat untuk belajarnya nyaman. Dengan demikian, gedung sekolah begitu dibutuhkan oleh siswa agar dalam belajar bisa terlindung dari teriknya matahari saay kemarau dan tidak basah oleh guyuran air hujan saat hujan, serta terlindung dari tiupan angin yang kadang membawa debu dan kuman penyakit.

Pemerintah yang berperan sebagai pelayan bagi rakyatnya, harus memikirkan bagaimana agar terpenuhi seluruh kebutuhan rakyat tersebut. Jika belum maka harus segera diupayakan untuk memenuhinya.

Seperti ketika sekolah belum mempunyai gedung untuk belajar, sebaiknya segera didirikan gedung tersebut, sehingga siswa bisa belajar dengan nyaman dan semangat.

Jika kita lihat dari alokasi dana, tiap tahun alokasi anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan. Namun, naiknya anggaran pendidikan dari tahun ke tahun itu masih belum menjawab permasalahan pendidikan dari sisi penyediaan sarana prasarana yang dapat dirasakan pemanfaatannya.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sepanjang 2019—2024 anggaran pendidikan selalu naik, dari Rp492,45 triliun (2019) hingga Rp581,8 triliun (2024).

Namun, realisasi serapan anggaran tidak mencapai 100%. Sebagai contoh, anggaran pendidikan pada 2019 sebesar Rp492,45 triliun terealisasi sebanyak 93,48%; pada 2022 sebesar Rp621,28 triliun terealisasi 77,3%; pada 2023 sebesar Rp645,25 triliun terealisasi 79,56%.

Pada RAPBN 2025, anggaran pendidikan direncanakan naik menjadi Rp722,6 triliun. Artinya, kurangnya fasilitas bukan karena anggaran terlalu besar, melainkan karena buruknya tata kelola dan lemahnya implementasi di lapangan.

Di sisi lain, naiknya anggaran pendidikan belum berkorelasi positif dengan kondisi pendidikan kita hari ini. Meski anggaran pendidikan selalu naik setiap tahun, pendidikan masih berkutat pada masalah yang sama, seperti mahalnya biaya pendidikan, literasi baca dan kemampuan sains siswa menurun, gaji guru honorer yang jauh dari kelayakan, dan fasilitas pendidikan yang minimalis, bahkan rusak.

Jika mencermati data tersebut, kenaikan anggaran tidak sebanding dengan realisasi yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Maka jelas, penyebab karut marut pendidikan saat ini tidak pernah selesai.

Semua ini akibat paradigma kapitalisme dalam mengelola sistem pendidikan. Paradigma dan orientasi kapitalisme dalam pendidikan lebih sebagai barang dagangan tujuan ekonomi. Akibatnya, biaya pendidikan kian mahal. Ada harga, ada rupa. Apabila ingin menyekolahkan anak dengan fasilitas memadai, jangan berharap itu tersedia di sekolah-sekolah negeri.

Ditambah. sistem zonasi yang sedianya ditujukan untuk pemerataan pendidikan, nyatanya menambah kesenjangan. Ada sekolah negeri favorit dengan fasilitas cukup dan kelebihan kuota siswa. Namun, ada pula sekolah negeri dengan fasilitas ala kadarnya dan tidak mendapat siswa baru sama sekali.

Jika negara benar-benar serius, harusnya tidak ada dikotomi fasilitas pendidikan di seluruh sekolah negeri. Andaikan semua sekolah negeri memiliki sarana dan prasarana yang sama, tentu siswa dan orang tua tidak akan pilih-pilih sekolah.

Di sisi lain, tujuan pendidikan tidak lagi memiliki visi membentuk manusia unggul dan beradab. Pendidikan kini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Alhasil, bersekolah sebatas didasari pada kebutuhan mendapat ijazah kelulusan agar bisa bekerja.

Kalau negara benar-benar serius, harusnya sarana penunjang pendidikan seperti sarana dan prasarana sekolah, kurikulum, bahan ajar, dan guru profesional dibangun berdasarkan visi pendidikan yang berorientasi membentuk generasi mulia, bukan sebatas nilai materi dan duniawi semata.

Selain itu, tata kelola pendidikan yang serba kapitalistik telah memalingkan perhatian utama pemerintah terhadap pendidikan terbaik bagi generasi bangsa.

Meski anggaran pendidikan terus bertambah,  seolah-olah tidak berguna manakala negara salah memprioritaskan penggunaan anggaran. Penyediaan gedung, sarana, dan prasarana sekolah adalah tugas negara untuk menjamin hak pendidikan generasi.

Negara mestinya menjalankan fungsi tersebut untuk memastikan setiap sekolah berstatus milik negara terpenuhi sarana dan prasarananya. Negara dapat menyinkronkan data sekolah dengan lembaga terkait sehingga masalah ketiadaan gedung sekolah dapat diatasi dengan segera dan tepat sasaran.

Hal ini tidak akan kita jumpai dalam  Islam. Pada sistem Islam, negara memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya termasuk dalam bidang pendidikan. Negara menyediakan seluruh fasilitas untuk kepentingan pendidikan dengan baik. Negara juga mencukupi semua kebutuhan dalam upaya menunjang pendidikan baik bagi guru maupun siswa. Sistem Islam ini juga sangat menghargai dan memuliakan profesi guru sebagai pendidik yang akan mencerdaskan anak bangsa.

Bentuk penghargaannya di antaranya dengan memberikan tunjangan yang sangat besar kepada para guru. Dengan tunjangan yang besar maka guru bisa mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya, sehingga guru akan fokus untuk mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik dan bermanfaat kepada siswa.

Guru tidak akan berpikir untuk mencari tambahan pekerjaan lain karena sudah merasa cukup. Guru akan lebih optimal dalam mengajar dan bersemangat dalam meningkatkan kualitas pendidikan dalam membina anak didiknya.

Adapun kepada siswa, negara selain memberikan kenyamanan dalam proses pembelajaran, negara juga sangat memperhatikan siswa yang kurang mampu. Siswa yang kurang mampu diberikan biaya transportasi bahkan sampai akomodasinya selama belajar.

Karena dalam Islam biaya pendidikan, kesehatan gratis untuk rakyatnya, maka rakyat tidak akan terbebani oleh biaya hidup yang tinggi untuk belajar maupun berobat ketika sedang sakit.

Dalam sistem Islam pengadaan semua fasilitas pendidikan tersebut disesuaikan dengan hukum-hukum Islam. Islam mengambil biaya untuk fasilitas umum tersebut dari Baitul Mal, yaitu dari pos fai, kharaj, dan kepemilikan umum.

Jadi sudah seharusnya fasilitas gedung yang layak disediakan untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan cemerlang. Dengan demikian pendidikan akan bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan generasi terbaik jika dari pihak negara sudah mengupayakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan dan fasilitas dalam pembelajaran baik kepada guru dan siswanya. Wallahu a’lam bish shawwab.[]

Comment