Oleh: Diah Fitri Patriani, Alumni Universitas Airlangga Surabaya
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pada bulan Juni sampai 31 Juli yang akan datang BPS akan mengadakan pesta pendataan Sensus Pertanian 2023 (ST2023). Sensus yang dilakukan setiap 10 tahun sekali dengan tahun yang berakhiran angka 3 (tiga) di seluruh Indonesia. Cakupan yang dicatat dalam ST2023 terdiri dari enam subsektor, di antaranya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
ST2023 diharapkan bisa menjadi tolak ukur data-data rill di sektor pertanian untuk menjawab persoalan klasik sektor pertanian dan pangan nasional, salah satunya adalah mengurai sengkurat perkebunan tebu nasional.
Petani tebu dalam sepuluh tahun terakir ini sesungguhnya tidak dalam kondisi semanis gula. Bisa dilihat bagaimana lahan dan produksi tebu semakin berkurang setiap tahunnya. Tanaman musiman setahun sekali masa panen ini satu persatu ditinggalkan para petani nasional karena dianggap tidak lagi memberi keuntungan. Sementara mereka butuh untuk setidaknya survive dengan kondisi finasial yang ada, akan tetapi dirasakan mengelola tebu membuat mereka terus merugi. Bagaikan pepatah, “Hidup segan mati tak mau.”
Lalu apa sesungguhnya yang membuat lahan tebu berkurang dalam sepuluh tahun terakhir ini? Pusat data sistem informasi pertanian sekretariat jendral-kementrian pertanian tahun 2022 menjelaskan bahwa penurunan areal tanam tebu rata-rata 0,82% per tahun dalam sepuluh tahun terakhir ini (2013-2022) disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan lahan yang cocok untuk tanaman tebu, juga bersaing dengan komoditas pangan lainnya, utamanya padi dan palawija.
Penjelasan terkait data penururnan lahan tebu di atas terlalu dangkal seolah-olah akar masalahnya adalah sebab geografis. Itu bisa disangkal karena Indonesia adalah negara agraris yang mana curah hujannya optimum, di samping itu tanaman tebu bisa tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah.
Demikian pula menganggap berkurangnya areal lahan tebu sebab kalah persaingan dengan tanamanan padi dan palawija juga kurang tepat karena data statistik memperlihatkan bahwa tanaman padi dan palawija per 2015-2021 menunjukkan angka penurunan di beberapa jenis tanaman pangan. Artinya sebagian besar produksi tanaman padi dan palawija juga setali tiga uang dengan produksi tanaman tebu.
Indeks produksi padi (sawah) turun 0,14% ke level 84,79 dan indeks produksi padi (ladang) merosot 13,84% ke level 28,45. produksi padi nasional pada 2021 turun 0,43% menjadi 54,42 juta ton. Untuk kategori indeks produksi tanaman palawija, BPS mencatat indeks produksi jagung turun 0,68% ke level 156,61, indeks kedelai turun 29,07% ke level 23,86, indeks kacang tanah turun 7,24% ke level 52,4, dan indeks ubi jalar juga turun 1,99% ke posisi 74,9.
Di sinilah peran sensus ST2023 diharapkan dapat memberikan data struktur pertanian, terutama untuk unit-unit administrasi terkecil. Data yang dihasilkan berupa data pokok pertanian nasional yang dapat melengkapi data dan dapat menjawab isu-isu strategis terkini di sektor pertanian, data petani gurem baik yang memiliki atau menyewa lahan kurang dari 0,5 ha, terpenuhinya data pertanian untuk agenda global, misalnya Indikator SDGs di Sektor Pertanian, data Petani skala kecil (Small Scale Food Producer) sesuai standar FAO dan menyediakan Tersedianya data Statistik Pertanian baik dalam bentuk tabular (publikasi dua Bahasa) maupun geospasial.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Persidangan Kementrian Koordinator Bidang Prekonomian Haryo Limanseto. Menjelaskan ST2023 akan menjawab berbagai tantangan pertanian karena ST2023 akan mengumpulkan data pangan yang harapannya akan menjadi data dasar untuk perencanaan pertanian yang berkelanjutan. Ungkapnya dalam Kick Off Publisitas Sensus Pertanian 2023, Selasa, 29 November 2022.
Dia menambahkan, berbagai tujuan lain dengan hadirnya ST2023 di antaranya melihat struktur pertanian dalam 10 tahun terakhir, menjadi kerangka sampel untuk kegiatan survei kedepannya, menjadi benchmark dan rekonsiliasi statistik pertanian yang ada.
Lewat sensus pertanian 2023 nantinya diharapkan dapat menghilangkan duplikasi data yang seringkali menjadi persoalan, sehingga hanya menjadi satu pintu mengenai data pertanian dan pangan. Data yang valid pada akhirnya menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Data statistik pertanian melalui sensus ST2023 nanti semakin menggenapkan bukti-bukti kongkrit bahwa persoalan klasik terkait dengan penurunan luas lahan dan produktivitas pertanian terkhusus tanaman tebu lebih disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia (Kamis,11-5-2023) Kondisi Harga Pokok Pembelian (HPP) gula yang rendah membuat petani beralih ketanamanan lain sehingga berimbas kepada kendala pasokan bahan baku bagi perusahaan tebu.
Selain itu, kenaikan harga pupuk juga menekan biaya produksi petani sehingga petani sulit untung untuk kembali menanam tebu. Di sisi lain atas nama memenuhi kebutuhan gula dalam negeri maka pemerintah membuka kran impor yang ugal-ugalan.
Menjadi ironi, sebagai negara agraris, pertumbuhan sektor pertanian rendah, dan harus mengimpor gula setiap tahunnya.
Pada 2022 lalu, BPS melaporkan Indonesia mengimpor 5,53 juta ton gula pada 2020. Dari jumlah tersebut, impor gula paling banyak berasal dari Thailand, yakni 2,02 juta ton atau 36,59% dari total volume impor gula tahun bersangkutan.
Sektor pertanian dan pangan bagaikan dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan akan terwujud jika pertaniannya stabil sehingga terpenuhinya cadangan pangan nasional.
Sangat mustahil bahwa ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi suatu negara di level kondusif jika tidak didukung oleh kebijakan politik strategis dan ekonomi pemerintah yang berdaulat.
Ketahanan pangan nasional yang bergantung pada negara lain dengan impor yang terus menerus dalam jumlah besar, mengindikasikan bahwa diperlukan perbaikan stragi dan pengelolaan negara.[]









Comment