Senyum Naila (Cerbung Bagian Akhir)

Sastra279 Views

 

Oleh: Dewi Nila Kencana, Siswi SMPN 1 Simpang Empat, Tanah Bumbu

__________

 

Hari tes masuk perguruan tinggi akhirnya dimulai. Aku melaksanakan tes dengan perasaan yang tidak bisa dilukiskan, khawatir jika hasil tidak sesuai ekspektasi.

Setelah hasilnya keluar ternyata aku tidak masuk ke dalam beasiswa yang diinginkan orangtuaku. Mereka sangat kecewa. Begitu juga diriku, jujur aku sangat kecewa pada diriku sendiri. Setelah aku gagal masuk ke dalam program beasiswa, orangtuaku tidak mau berbicara denganku.

Aku merasa bersalah sudah menghancurkan ekspektasi mereka. Namun mau apa lagi. Kemampuanku dalam bidang akademik memang pas-pasan. Aku menyesal kenapa aku tidak bisa membahagiakan orang tuaku.Mengapa aku lahir ke dunia ini kalau hanya untuk menjadi pecundang?

Aku berusaha berdamai dengan kejadian itu. Suatu hari aku melihat pengumuman di TV yang mengadakan program ajang pencarian bakat menyanyi. Karena dibuka audisi secara online, aku pun iseng mendaftar audisi itu tanpa sepengetahuan orang tuaku. Tak disangka- sangka aku berhasil masuk ke babak penyisihan.

Aku sangat senang karena menyanyi merupakan hobiku. Aku akan pergi ke luar kota untuk mengikuti babak penyisihan. Mau tidak mau aku harus memberitahu orang tuaku rencana kepergianku.

“Bu, Naila lolos audisi menyanyi di ajang pencarian bakat. Naila izin ke Jakarta untuk mengikuti babak penyisihan.” aku meminta izin kepada ibu.

“Terserah Kamu saja, Ibu sudah tidak mau tahu lagi.” balas ibu.

“Kalau begitu Naila pamit ya Bu, doakan Naila.” jawabku.

Ibu tidak membalas perkataanku. Aku berangkat ke Jakarta seorang diri, dengan berbekal tabungan hasil kerja paruh waktu semasa duduk di bangku sekolah menengah atas.

Sesampainya di tempat babak penyisihan, aku menginap di asrama yang sudah disediakan. Aku mengikuti ajang pencarian bakat yang disiarkan di televisi hingga namaku menjadi terkenal. Aku berhasil bertahan di kompetisi itu sampai memasuki tiga besar.

Walaupun tidak menjadi pemenang, namun setelah aku keluar dari kompetisi itu namaku sangat terkenal dan banyak agensi yang ingin merekrutku untuk menjadi penyanyi. Kali ini bukan kerja paruh waktu lagi, jujur aku sangat bahagia.

Aku mengunjungi ibuku setelah urusanku di Jakarta selesai. Berbeda dengan saat aku izin untuk pergi mengikuti babak penyisihan, saat aku datang, ayah dan ibuku memelukku erat-erat.

“Maaf ya Nak, ayah dan ibu selama ini telah menyia-nyiakanmu. Kami selalu berharap kamu menjadi anak yang cerdas dan selalu menjadi yang terbaik dalam bidang akademik. Saat kamu tidak bisa memenuhi harapan kami, menjadi anak yang cerdas, kami menyia-nyiakanmu. Kini, kami sadar. Kami telah menyia-nyiakan titipan terindah Tuhan kepada kami. Naila! Kami sangat menyayangimu, Nak.

Ternyata Tuhan Maha Adil, Tuhan memberikan bakat yang berbeda-beda pada setiap orang, dan ternyata bakat kamu adalah bernyanyi. Karunia yang tak pernah kami sadari sebagai orang tua.”

Aku menangis terharu karena sudah sangat lama mereka tidak memelukku seperti ini. Dalam pelukan kedua orang tuaku. Aku tersenyum bahagia. Senyum yang selama ini tak pernah menghiasi bibirku karena sepanjang hidupku aku selalu terhina karena kekuranganku di bidang akademik.

Hal yang membuat aku selalu kurang di mata orang tuaku. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengembalikan kasih sayang orang tuaku kepadaku. Tak terasa, butir-butir air mata jatuh di pipiku.

Dalam hati aku berdoa ” Ya Tuhan, jagalah kasih sayang mereka kepadaku selamanya. Karena aku juga sangat menyayangi mereka. Mimpi dapat hilang ketika pagi menjelang. Tapi kasih sayangku kepada mereka tak kan hilang untuk selamanya walau badai dan gelombang menerjang.”

Tak ada duka yang abadi. Ibarat hujan badai yang reda dan berganti dengan munculnya pelangi. Begitu juga dengan siklus kehidupan, kadang tertawa bahagia, kadang harus bercucuran air mata.

Setiap anak istimewa, tugas orangtua untuk mengali potensinya. Memupuk dan merawatnya sehingga bisa tumbuh dan melejit, menembus batas ekspektasi. [SP]

Tamat

Comment