Setelah 25 Tahun Bekerja, Budi Hartono Tidak Terima Pemecatan Sepihak Perusahaan

Berita780 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Mediasi bipartit antara  pihak perusahaan PT. Citra Media Persada yang membawahi Tabloid Wanita Indonesia dengan pihak perwakilan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, Jumat, 8 September 2018 lalu tidak mencapai kesepakatan atau berakhir deadlock. Pasalnya pihak perusahaan tidak mau menanggapi  tuntutan para karyawan terkait hak mereka setelah menjadi korban PHK. 
Aksi pemecatan  pada 9 orang karyawan Tabloid Wanita Indonesia secara sepihak berbuntut panjang. Didampingi oleh Lembaga Hukum Pers (LBH Pers), 9 dari 4 karyawan  media wanita ini mengajukan 2 poin persoalan yang menjadi tuntutan mereka. 
Pertama, terkait  permintaan pihak perusahaan kepada para karyawan yang di –PHK untuk membuat surat pengunduran diri. Lalu yang kedua, proses pembayaran uang pesangon yang akan diselesaikan dengan cara mencicil dalam waktu selama 24 kali atau 2 tahun. 
Budi Hartono, karyawan senior yang telah mengabdi pada perusahaan selama 25 tahun  secara tegas tidak terima. 
“Berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang dilakukan pihak manajemen kepada kami  sudah jelas melanggar hukum. Bahwa karyawan yang di-PHK harus mendapatkan haknya yaitu berupa pembayaran uang pesangon harus dilakukan secara tunai. Kejanggalan yang lain adalah, kami ini kan di PHK, tapi kami justru diminta membuat surat pengunduran diri. Padahal antara PHK dan pengunduran diri merupakan 2 hal yang berbeda,” ungkap Budi.
Budi menceritakan, pihak manajemen Tabloid Wanita Indonesia, pada tanggal 2 Agustus 2018 lalu meminta seluruh karyawan untuk memenuhi undangan rapat tapi surat undangan yang disampaikan secara langsung oleh Direktur Utama Tabloid Wanita Indonesia, Anis Wuryaningsih  melalui WA itu tidak menjelaskan agendanya apa. 
Ternyata pada hari yang telah ditentukan,  rapat  tersebut membahas tentang kondisi sulit pertarungan  media cetak di tengah gempuran media  berbasis digital. Sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan, pihak manajemen merasa  perlu    memangkas jumlah karyawan. 
Ketika itu pihak perusahaan langsung menyatakan pada hari itu juga akan memanggil siapa-siapa saja yang akan terkena imbas PHK itu.
“Langkah ini sangat saya sesalkan karena kalau  mereka mau merujuk pada UU Ketenagakerjaan, upaya PHK harus disosialisasikan  paling tidak satu bulan sebelum PHK diputuskan. Nah, ini hanya beberapa jam setelah mereka menyampaikan kondisi perusahaan, kemudian usai rapat mereka langsung panggil satu persatu nama yang terkena PHK,”  urai Budi. 
Karena dilakukan secara tergesa-gesa dan sedikit memaksa, seluruh karyawan yang terkena PHK terlanjur membubuhi tanda tangan surat kesepakatan bersama perihal pembayaran pesangon yang akan mereka cicil selama 24 kali. 
Dewi, salah satu rekan Budi  turut mengamini tindakan tidak profesional  yang dilakukan manajemen.
“Terus terang kami ini memang kurang mengerti soal hukum. Jadi ketika diminta tanda tangan soal cicilan 24 kali itu,  setelah   dipaksa, kami tetap lakukan. Padahal saya sempat mempertanyakan kenapa pesangon dibayar dengan mencicil, mereka bilang perusahaan tidak punya uang  untuk bayar cash. Tapi begitu saya diminta juga menulis surat resign,  saya baru tersadar bahwa hal ini sudah nggak benar,  sambung Dewi. 
Penolakan Dewi ini  ternyata juga diikuti oleh tiga orang temannya yang lain, termasuk Budi. 
“Jadi dari 9 orang yang tanda tangan surat pencicilan pesangon selama 24 kali, kami berempat tidak mau bikin surat resign. Sementara  yang  lainnya sudah terlanjur  membuat. 
Ketika saya menolak membuat surat resign, legal perusahaan langsung mengancam saya. Dia bilang saya harus segera bikin surat resign hari itu juga karena besok dan seterusnya saya tidak boleh datang ke kantor lagi,” katanya. 
Atas ketidakadilan ini, keempat karyawan Tabloid WI ini mengadukan nasib mereka pada Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Aliansi Jurnalis independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers).
Pada tanggal 8 September 2018 lalu, Bipartit pertama telah dilaksanakan  di kantor LBH Pers antara para pihak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Namun pihak manajemen Tabloid Wanita Indonesia  yang diwakili 2 orang, yaitu terdiri dari A. Khoir SH, selaku legal dan Syahri, perwakilan dari divisi HRD  tidak bergeming. 
Dengan alasan perusahaan tidak sanggup membayar uang pesangon secara tunai lantaran defisit anggaran, mereka memilih melakukan tahap selanjutnya yaitu Tripartit di suku dinas tenaga kerja dan transmigrasi. 
Sebagaimana diketahui Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut merupakan Dewan Pembina di Tabloid Wanita Indonesia.  Tabloid Wanita Indonesia  berdiri pada tahun 1989 atas  inisiatif  mantan model Donna Sita Indria, yang merupakan sahabat karib Mbak Tutut. 
Di tangan Donna Sita, Tabloid Wanita Indonesia sempat mengalami masa kejayaan, terutama ketika pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan HM. Soeharto mengharuskan seluruh departemen wajib berlangganan. [Wid]

Comment