Penulis : Zahra Tenia | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Akhir November 2025 menjadi lembaran kelam yang sarat air mata. Bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda wilayah barat Indonesia—Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh—pada 11 November 2025. Perkampungan lenyap, puluhan ribu hektare lahan rusak parah, dan kehidupan ribuan keluarga porak-poranda.
Sebagaimana dilansir Kompas (7/12/2025), data pembaruan hingga Minggu, 7 Desember 2025, mencatat 921 orang meninggal dunia, 392 orang hilang kontak, dan sedikitnya 975.079 warga terpaksa mengungsi. Angka-angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah potret duka mendalam, kehilangan orang-orang tercinta, serta hancurnya rumah, sawah, kendaraan, dan seluruh harta benda yang hanyut bersama derasnya air dan longsor.
Alam seakan menangis. Dunia pun ikut terisak. Lalu muncul pertanyaan besar: mengapa alam seolah murka kepada manusia?
Peristiwa ini jelas bukan bencana alam biasa yang semata disebabkan oleh curah hujan tinggi atau cuaca ekstrem. Fakta di lapangan menunjukkan pemandangan yang tak terbantahkan: ribuan kayu gelondongan hanyut bersama air dan lumpur. Potongan-potongan kayu itu menjadi indikator kuat adanya penebangan hutan secara masif.
Ketika pepohonan ditebang tanpa kendali, akar-akar yang seharusnya mengikat tanah dan menyerap air lenyap. Hujan pun turun tanpa penghalang. Air meluncur cepat, menyeret tanah, bebatuan, dan apa pun yang dilewatinya. Longsor menjadi keniscayaan.
Jika ditelusuri lebih dalam, maraknya penebangan liar dan aktivitas pertambangan tak lepas dari kebijakan yang longgar bahkan serampangan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) seperti ditulis idntimes.com (28/11/2025) mengungkap setidaknya tujuh perusahaan yang terindikasi berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di Sumatra.
Gambaran kebijakan yang kian semrawut juga diungkapkan Melky Mahar, Koordinator Nasional JATAM, dalam podcast Akbar Faizal Uncensored pada Senin, 8 Desember 2025.
Ia menyebutkan bahwa jumlah izin tambang mencapai sekitar 2.000, dengan 546 izin justru diberikan di kawasan rawan bencana. Tumpang tindih perizinan pun terjadi di banyak wilayah, yang berujung pada rusaknya ekosistem secara sistematis.
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi merupakan bencana ekologi—bencana yang lahir dari kesalahan tata kelola, bahkan dari kebijakan yang dengan sadar mengorbankan alam. Negara, melalui aparaturnya, begitu mudah mengeluarkan izin usaha tanpa mempertimbangkan analisis dampak lingkungan secara serius.
Inilah wajah buram sistem kapitalisme sekuler. Demi keuntungan segelintir elite dan korporasi, alam dirusak tanpa ampun. Negara pun kehilangan daya kendali karena telah tersandera kepentingan modal.
Dalam pandangan Islam, bencana alam adalah bagian dari takdir Allah SWT. Manusia diperintahkan untuk bersabar dan mengimani bahwa segala yang terjadi—baik maupun buruk—adalah dalam ketetapan-Nya. Namun, Islam juga menegaskan bahwa musibah sering kali merupakan teguran atas perbuatan manusia.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Asy-Syura ayat 30: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahan-kesalahanmu).”
Ayat ini mengajak manusia untuk berpikir dan bermuhasabah. Kerusakan alam tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari dosa kolektif berupa keserakahan, pengabaian amanah, dan pengkhianatan terhadap tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Islam memberikan pengaturan yang tegas dan adil terkait pengelolaan sumber daya alam. Tambang dan hutan termasuk kekayaan milik umum yang haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Pengelolaannya wajib berada di tangan negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Lebih jauh, Islam menekankan prinsip keseimbangan (mizan) dalam pengelolaan alam. Sumber daya boleh dimanfaatkan, tetapi kelestariannya wajib dijaga. Hutan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan penyangga kehidupan. Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan eksploitasi hutan atas nama pembangunan semu.
Alam tidak akan menunjukkan “kemurkaannya” jika diperlakukan dengan benar sesuai syariat Islam. Ketika alam dirawat, ia menghadirkan kesejahteraan; ketika amanah dijaga, manusia pun hidup tenteram. Alam tidak menangis, dan manusia tidak perlu menitikkan air mata penyesalan.
Islam sebagai sebuah ideologi meniscayakan kehadiran negara yang menerapkannya secara menyeluruh—negara yang dikenal sebagai khilafah atau imamah. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, pengelolaan bumi dapat berjalan adil, bijaksana, dan berkelanjutan.
Sudah saatnya umat Islam bangkit, sadar, dan kembali memperjuangkan peran sejatinya sebagai khalifah di muka bumi—mengelola alam dengan hukum terbaik dari Allah SWT, Sang Maha Sempurna. Wallahu a‘lam bish-shawab.[]









Comment