Stunting Antara Kapitalisme dan SDA Melimpah

Opini1041 Views

 

 

Oleh:  Moni Mutia Liza, S.Pd, Pegiat Literasi Aceh

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Miris, Indonesia dengan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Hasil laut, bumi, hutan dan sebagainya ternyata tidak mampu membuat rakyat Indonesia terbebas dari problematika stunting yang tak kunjung berakhir.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menyebutkan bahwa balita stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada tahun 2022 dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi teratas balita stunting yaitu 35,3% (databoks.katadata.co.id/02/02/2023).

Tingginya angka stunting di Indonesia tentunya membuat kita selaku orang tua khawatir akan kondisi generasi masa depan. Meskipun pemerintah telah membuat beberapa program untuk mengurangi angka stunting, namun tetap saja angka balita stunting masih tinggi.

Adapun program pemerintah dalam upaya mengurangi angka stunting terhadap balita yaitu pertama peningkatan gizi masyarakat melalui program pemberian makanan tambahan (PMT) pada anak. Kedua, peningkatan kualitas sanitasi lingkungan. Ketiga, anggaran setiap desa 100 juta dengan target masyarakat memiliki jamban di setiap rumah dan berprilaku bersih. Keempat, pembangunan infrastruktur.

Upaya pemerintah atasi stunting patut diapresiasi meski program tersebut belum memangkas angka stunting balita  hingga ke akar-akarnya. Solusi masih bersifat parsial dan stunting ini akan terus berlangsung.

Akar permasalahan stunting bukan hanya kurangnya pembangunan infrastruktur dan kurangnya gizi yang diperoleh masyarakat, melainkan sistem pendistribusian harta yang tidak merata dan sistem perekonomian yang tidak sehat.

Pasalnya dalam sistem kapitalisme, kaum pemilik modal dengan bebas menjual produknya meskipun mengandung bahan yang berbahaya bagi tumbuh kembang balita. Selain itu, produk yang berkualitas dan menyehatkan justru memiliki harga yang mahal yang hanya bisa dibeli oleh kalangan menengah ke atas.

Bagaimana mungkin produk yang bagus bisa dibeli oleh semua kalangan masyarakat bila harganya mahal? Pastinya masyarakat yang ekonominya kurang akan membeli asupan gizi untuk tubuhnya dan anaknya sebatas isi “kantong” mereka. Wajar, bila akhirnya kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi dengan cukup. Ditambah dengan distribusi harta yang tidak merata, sehingga tidak semua masyarakat mendapatkan infrastruktur yang baik dan asupan gizi yang mumpuni.

Kapitalisme hanya memihak kepada pemilik modal. Sehingga kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Seharusnya, sumber daya alam yang melimpah dikelola oleh negara sepenuhnya dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Selain mengelola SDA, pemerintah juga harus mengontrol dengan ketat produksi makanan. Artinya makanan yang beredar harus berstandarkan halal dan sehat untuk tubuh dalam jangka panjang.

Berharap pada sistem kapitalisme dalam upaya mengakhiri stunting adalah sebuah utopia. Sebab hampir satu abad kapitalisme memimpin dunia, namun kasus stunting dan kasus lainnya tak kunjung berakhir, bahkan terus meningkat dan menggelisahkan masyarakat.

Tentu hal ini berbeda dengan Islam yang terbukti mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sehingga sandang, pangan, papan dan kewajiban negara atas rakyat terlaksana dengan baik dan merata.

Hal yang logis jika Islam mampu memimpin dunia seluas 2/3 dunia selama 13 abad. Tak terkecuali masalah balita stunting, Islam memiliki solusi jitu menutup rapat hal-hal yang merugikan generasi dan masyarakat. Wallahu ’alam bi shawab.[]

Comment