RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kehadiran virus Corona menjadikan putaran roda perekonomian di negeri semakin seret. Produktifitas menurun, pengangguran meningkat, angka kemiskinan semakin menanjak. Pemerintahan Jokowi memutuskan untuk membuat jaring pengaman social. Salah satunya dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin dengan anggaran dari alokasi dana desa.
Bantuan ini besarnya Rp 600.000 per KK per bulan, selama tiga bulan. Minim sekali, bukan? Total anggaran yang disediakan Rp 22,4 triliun atau 31% dari total anggaran dana desa Rp 71,19 triliun. (www.finance.detik.com)
Melalui orasinya, Jokowi seakan hadir sebagai penyelamat bagi jutaan penduduk miskin. Sayangnya, implementasi dari program ini di lapangan menemui banyak sandungan. Mulai dari keruwetan data, kriteria kemiskinan yang seabrek hingga munculnya kecemburuan social. Sudahlah jumlahnya tak sebanding dengan angka keniskinan, di beberapa tempat, sumbangan ini malah jatuh pada orang mampu. (vivanews.com,24/4/2020)
Berbelitnya birokrasi untuk memperoleh bantuan itu, membuat beberapa pejabat setempat melakukan protes. Mulai dari lurah hingga bupati. Seperti video yang cukup viral dari Bupati Boalang Mongondaw Timur, Sulawesi Utara, Sehan Landjar yang geram karena mekanisme pemberian BLT yang menyulitkan warga. Menurutnya, prosesnya terlalu berbelit dan tidak tepat sasaran.
“Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp600.000, rakyat saya bahkan memoho untuk tidak dapat duit BLT,” jelas Sahat dalam video itu. (detik.com26/04/2020).
Potret Buruk Penanganan Kemiskinan
Respon publik terhadap kebijakan bansos yang diumumkan pemerintah, pada awalnya cukup positif. Kaum papa yang di negeri ini jumlahnya tak kurang dari 22 jutaan, seakan diberi harapan. Namun, sejumlah masalah dalam implementasi dari progrsm BLT, telah membuat warga kecewa dan negatif. Janji manis akhirnya lebih terhenti sebagai retorika demi citra.
Tak bisa ditutupi dengan orasi, bahwat, rezim tidak serius mengurus hajat hidup rakyat. Ketidaksiapan pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini kian membuktikan pada masyarakat perihal buruknya kepemimpinan dan tata kelola negara.
Polemik seputar pencairan BLT saat ini, sebenarnya bukan sebatas persoalan teknis.
Hal demikian lebih disebabkan oleh model pemerintahan yang kapitalistik. Pemerintahan yang bersumber dari ideologi kapitalis ini pada gilirannya menganggap model negara korporatokrasilah yang ideal diemban Negara.
Korporatokrasi, yaitu sebuah model negara yang mempercayakan kepengurusan hajat hidup masyarakat pada swasta. Sementara negara lebih membatasi diri untuk berperan sebagai regulator.
Bisa dilihat dari alokasi dana yang dikucurkan pemerintah untuk bantuan sosial ini, tidak sebanding dengan limpahan buat para pengusaha. Dalam perpu no 1 tahun 2020, Jokowii mengumumkan tambahan anggaran penanganan virus corona Rp405,1 triliun.
Dengan rincian Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk social safety net atau jaring pengaman sosial. Kemudian Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (liputan6.com01/04).
Sedangkan dana yang disediakan untuk menangani kemiskinan pada wabah Corona ini hanya disediakan Rp 22,4 triliun, Itu pun diambilkan sebesar 31% dari total anggaran dana desa Rp 71,19 triliun.(www.finance.detik.com)
Alokasi pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan, ternyata lebih besar hampir dua kali lipat dari jaring pengaman sosial.
Mirisnya, jaring pengaman sosial tidak semua disalurkan pada kebutuhan pokok rakyat. Belum lagi program kartu prakerja sebesar 5,6 T yang sebagian besarnya masuk ke kantong pengusaha. Semua itu adalah kebijakan yang lahir dari sudut pandang sistem kenegaraan yang bercorak kapitalistik.
Kecurangan dianggap sebagai hal yang biasa dalam sistem kapitalis ini, yang penting memperoleh kemanfaatan material. Ibarat mengail di air yang keruh, para pejabat negeri menjadikan wabah ini sebagai ajang pengerukan uang Negara untuk kepentingan pribadi. Dengan kekuasaan, produk hukum yang melidungi kepentingan mereka lantas dibuat.
Lahir Perppu no 1 tahun 2020 yang meniscayakan terciptanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara yang tertuang pada pasal 27. Anggaran belanja Negara dibuat bancakan dalam kondisi yang sulit akibat pandemik benar-benar sungguh terjadi di negeri ini.
Wajar bila akhirnya muncul ketidakpercayaan hingga muncul gelombang protes dari berbagai kalangan. Rakyat menganggap pemerintah pelit dan tidak serius mengurusi kebutuhan rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah bersikap murah hati pada para konglomerat.
Islam dan Jaminan Kesejahteraan Sosial
Islam merupakan ideologi yang berbeda dengan Kapitalis. Keduanya juga sangat berbeda dalam perkara mengurusi rakyatnya. Sejarah mencatat dengan tinta emas tentang kesejahteraan yang didapatkan rakyat dalam naungan sistem Islam.
Islam memandang bahwa kesejahteraann sosial merupakan perkara yang penting. Seluruh rakyat akan mendapatkan jaminan kesejahteraan ini dalam kondisi apa pun. Jaminan itu meliputi pemenuhan kebutuhan barang pokok bagi tiap individu masyarakat, baik sandang, pangan maupun papan. Juga pemenuhan akan jasa pokok, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan.
Semua rakyat harus dilayani orang perorang, bukan hanya KK. Semua kebutuhan tersebut diurus oleh negara tanpa memungut biaya. Mekanisme penuhinya kebutuhan pokok rakyat itu ada dalam kebijakan ekonomi negara khilafah.
Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah pengaturan keuangan negara berbasis baitul maal, di mana APBN ditopang oleh sumber yang pasti. Sumber itu berasal dari tiga pos pengelolaan, yaitu Pertama, pengelolaan harta yang masuk kemilikan umum. Termasuk kategori ini adalah hutan,laut, sungai, dan barang tambang. Kedua, pengelolaan harta dari kemilikan negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz dan harta pejabat yang diperoleh dengan jalan curang semisal korupsi.
Ketiga, dari pengelolaan harta zakat maal. Tidaklan APBN dalam Islam dibangun dengan sumber dari pajak dan pinjaman, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Namun, jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak. Pajak dalam islam hanya dipungut dari laki-laki muslim yang dewasa dan kaya. Kaum miskin tidak dikenai pajak, mereka bahkan dilayani.
Alhasil, sistem Islam memiliki program pengaman sosial yang jitu dan terbukti ampuh memenuhi kebutuhan rakyatnya di tengah kondisi apa pun dan kapan pun.Wallahu a’lamu bishshowab.[]
Comment