RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Seorang Pria yang diidentifikasi sebagai Rafat Maqlad, muadzin Masjid Raya London, ditikam di lehernya saat mengumandangkan azan salat Asar, hari Kamis (20/02) sekitar pukul 15:10 waktu setempat. Muadzin yang berusia sekitar 70 tahun ini mengalami luka-luka dan sudah dibawa ke rumah sakit. Pelaku telah ditahan dengan sangkaan mencoba melakukan pembunuhan. ”
“Untuk saat ini, kami tidak memperlakukan insiden sebagai serangan teroris,” kata Kepolisian London (bbcindonesia.com 21/2/2020).
Insiden ini terjadi beberapa jam berselang setelah sembilan orang ditembak mati dan melukai sedikitnya empat orang lain dalam peristiwa teror Jerman. Penembakan ini terjadi di kota Hanau, di dua lokasi tempat migran berkumpul. Semua korban memiliki latar belakang sebagai pendatang. Pemerintah di Ankara mengatakan, setidaknya lima dari korban tewas adalah warga negara Turki.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengatakan penembakan massal ini jelas dilakukan oleh orang yang berpandangan ekstrem kanan. Merkel mengatakan perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan rasisme dan kebencian telah meracuni masyarakat di Jerman (bbcindonesia.com 20/2/2020).
Pelaku adalah laki-laki, Tobias R, berusia 43 tahun yang sebelumnya bersih dari catatan kriminal. Pelaku meninggalkan video dan surat pernyataan penuh kebencian terhadap warga asing yang di unggah ke internet sebelum aksi penembakan tersebut. Dalam dokumen setebal 24 halaman pelaku menggambarkan perjalanan hidup dan keyakinan idiologisnya.
Tulisan bernada rasistis itu menyebutkan, pelaku sejak kecilnya sudah melihat ”masalah dengan perilaku beberapa kelompok etnis”. Dia juga menyebutkan Islam sesuatu yang “destruktif”. Polisi menemukan Tobias dalam keadaan tewas di rumahnya, bersama ibunya yang berusia 72 tahun. Pelaku diduga terlebih dahulu menembak ibunya sebelum kemudian menembak dirinya sendiri.
Terorisme ekstrem kanan sedang meningkat di Jerman. Ekstrem Kanan atau biasa disebut gerakan politik sayap kanan atau disebut juga kelompok Kanan merupakan sebuah istilah yang mengacu pada segmen spektrum politik yang biasanya dihubungkan dengan liberalisme klasik, konservatisme, kelompok kanan agama dan nasionali kulit putih. Supremasi kulit putih adalah sebuah ideologi yang menganggap bahwa ras putih lebih superior dari ras lainnya.
Supremasi putih banyak dihubungkan dengan rasisme anti-hitam dan anti semitisme, meskipun banyak digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap pribumi Amerika, orang China, orang Irlandia, Asia Tenggara, dan lainnya. Misalnya, masa apartheid di Afrika Selatan.
Perkembangan supremasi putih ini terus berlanjut di budaya Barat dan merupakan subjek dari banyak debat. Supremasi putih kadangkala digunakan untuk menandakan sebuah kepercayaan filosofi yang mengganggap orang kulit putih tidak hanya superior terhadap yang lain, namun juga harus berkuasa atas mereka atau bahkan boleh membinasakan mereka. Kini target mereka telah bergeser ke arah umat Islam.
Menurut Badan Perlindungan Konstitusi Verfassungsschutz ada sekitar 12.700 ekstrimis kanan di Jerman yang “berorientasi pada kekerasan.” Dinas Kriminal Jerman BKA saat ini mencatat sekitar 60 pelaku ekstrem kanan yang berpotensi melakukan aksi kekerasan sampai serangan teror.
Jumlah ini berarti lima kali lebih banyak dibanding tahun 2012, kata seorang juru bicara BKA. Jaksa Penuntut Christoph Hebbecker dari divisi Cybercrime BKA mengatakan kepada dw.com (21/2/2020), sejak Februari 2018 ada sekitar 1.000 pengaduan pidana yang diduga dilakukan oleh ekstremis kanan.
Ali H. Soufan, mantan agen FBI pendiri konsultan keamanan Soufan Group, kepada Daily Beast mengatakan bahwa supremasi kulit putih tidak diprioritaskan secara memadai sebagai ancaman keamanan.
Pemerintah AS dan komunitas intelejen yang lebih luas tidak mengakui supremasi kulit putih sebagai jaringan teroris yang menyebar di banyak negara Barat.
Nate Thayer, seorang wartawan yang meneliti supremasi kulit putih, mencatat bahwa pembunuhan massal di Selandia Baru sangat terkait dengan gerakan neo-Nazi internasional ini. Neo-Nazi sendiri adalah sebuah komunitas yang terhubung, yang mengadvokasi perlawanan bersenjata Arya yang menargetkan orang bukan kulit putih dan Yahudi. Ada ratusan operasi serigala ekstrem yang serupa berkomunikasi di media sosial.
Donald Trump yang didukung oleh ekstrim kanan menolak untuk mengatakan bahwa nasionalis kulit putih menjadi ancaman yang berkembang di seluruh dunia.
Namun faktanya lain, Direktur Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (ADL) Jonathan Greenblatt, menulis bahwa ekstrimis sayap kanan secara kolektif telah bertanggung jawab atas lebih dari 70% dari 427 ektremis.
Menariknya, FBI menuduh para nasionalis kulit putih diradikalisasi oleh dan menerima pelatihan dari Batalyon Azo-Nazi Ukraina, yang dilaporkan mendapat dana dari pemerintah Ukraina serta Pemerintah AS dan Israel.
Masih ingat teroris Selandia Baru Brenton Tarrant ? dia meninggalkan manifesto yang berjudul “The Great Replacement”, untuk mendukung supremasi kulit putih. Dia menentang “imigrasi massal” dan memperingatkan “pergantian ras dan budaya orang-orang Eropa sepenuhnya”.
Sepak terjang ekstremis kanan atau nasionalis kulit putih menunjukkan dengan jelas bahwa terorisme yang sesungguhnya tidak lahir dari rahim Islam sebagaimana opini global yang dituduhkan Barat.
Dalam banyak hal supremasi kulit putih justru mengkampanyekan nasionalisme kebohongan akut. Lana Lokteff, seorang nasionalis sayap kanan Amerika yang dijuluki “ratu lebah” mengatakan bahwa “Kami di Amerika Serikat, setara dengan nasionalis Eropa; kami berupaya memulihkan identitas kami dan akar Eropa kami. Kami ingin Amerika sebagai negara putih untuk putih”.
Hal yang sama pernah disampaikan Brenton di Selandia Baru dan pendukung nasionalis kulit putih di Australia, Senator Queensland, Fraser Anning.
Mereka lupa merekalah teroris yang sesungguhnya. Karena kulit putih bukanlah penduduk asli Australia, juga bukan penduduk asli New Zealand, apalagi mengaku-ngaku sebagai penduduk asli Amerika.
Columbus adalah agresor teroris Eropa yang menyerang suku Asli Amerika, Indian dan menghapus keberadaan mereka.
Dilansir dari History.com, sejak orang-orang Eropa tiba di Pantai Amerika, wilayah pantai menjadi ruang bersama antara perbedaan yang saling berbentrokan, yang menyebabkan pemerintah AS memberikan wewenang terhadap lebih dari 1.500 perang, serangan, dan penggerebekan terhadap suku Indian-serangan paling banyak yang pernah dilakukan negara manapun di dunia terhadap penduduk aslinya.
Kulit putih Eropa dan Amerika telah menjadi pemain utama dalam sejarah pembunuhan dunia, termasuk dalam perang dunia kedua. Dan ruh dari peperangan yang mereka lakukan adalah ekspansi dan penjajahan yang dimotori oleh kapitalisme sekuler. Dulu, Jutaan orang kehilangan hidup mereka akibat perang salib.
Eropa telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa-bangsa lain, yaitu eliminasi kehidupan manusia di tiga benua. Hal ini mencakup pemusnahan penduduk asli Indian di Amerika Utara, Amerika Selatan dan penduduk Aborigin di benua Australia.
Merujuk kepada data statistik jumlah kematian manusia pada abad kedua puluh, menjadi sesuatu yang aneh dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang buta untuk melihat warisan nasionalis kulit putih sebagai sesuatu yang “baik”, sebaliknya muslim dianggap identik sebagai pelaku kekerasan. Di Eropa sendiri, meskipun jumlah populasi muslim sangat banyak, ternyata kurang dari 1% aksi kekerasan dilakukan oleh masyarakat dari komunitas ini. Justru komunitas muslim yang dijadikan sebagai sasaran dan target dalam sejumlah serangan.
Global War on Terorism (GwoT) sendiri adalah skandal megaproyek kebohongan yang diluncurkan Amerika untuk memerangi Islam. Program ini masih eksis di negeri-negeri kaum muslimin hingga hari ini, termasuk di Indonesia. AS dengan begitu jumawa mengarahkan telunjuknya untuk melabeli teroris kepada siapa saja/kelompok apa saja sekehendak hatinya.
Perang melawan terorisme sejatinya adalah sikap imunitas AS dalam melawan takdir akhir keberlangsungan idiologinya. Kapitalisme yang telah sekarat tak siap untuk digantikan oleh kebangkitan Islam. Gwot adalah perang melawan kebangkitan Islam, kebangkitan Khilafah dan kembalinya kaum muslimin dalam entitas super yang akan menggulung peradaban mereka.
Herry Kissinger, Mantan Menteri Luar Negeri AS dalam sebuah wawancara menyampaikan, “…yang kita sebut sebagai terorisme di AS sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekuler, dan terhadap dunia demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhilafahan.”
Penikaman terhadap muadzin di Central Park Mosque dan serangan teror penembakan di Jerman menunjukkan sikap hipokrit Barat terhadap terorisme. Jika muslim yang menjadi korban mereka bungkam namun sebaliknya jika muslim yang disangkakan mereka akan menggorengnya hingga gosong ke seluruh dunia.[]
*Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban, Aceh
Comment