Angka Kemiskinan Antara Realita dan Kesejahteraan Rakyat

Opini195 Views

 

 

Penulis:  Nanik Farida Priatmaja, S. Pd | Pegiat Literasi

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Di tengah stagnasi ekonomi global, berbagai kebijakan strategis pemerintah berhasil menopang resiliensi ekonomi nasional. Per Maret 2024, tingkat kemiskinan melanjutkan tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023.

“Penduduk miskin pada Maret 2024 turun 0,68 juta orang dari Maret 2023 sehingga jumlah penduduk miskin menjadi sebesar 25,22 juta orang. Angka kemiskinan ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir,” ujar Kepala Badan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (05/07/2024).

Tak dimungkiri kemiskinan dan ketimpangan menjadi persoalan krusial berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai upaya dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi telah dilakukan pemerintah. Turunnya angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi jelas menjadi sebuah kebanggaan pemerintah.

Adanya penurunan angka kemiskinan menurut pemerintah, mampu menunjukkan keberhasilan penerapan kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden. Misalnya kebijakan program bansos – baik tunai atau pun non tunai, bantuan kredit untuk UMKM, pelatihan usaha hingga kondisi makro ekonomi dan politik yang membaik dan berpengaruh terhadap peningkatan investasi.

Meskipun demikian, menurunnya angka kemiskinan tersebut masih perlu diperjelas. Pasalnya, realitas yang terjadi di lapangan ternyata malah sebaliknya. Kemiskinan di depan mata kian tinggi dengan kondisi ketimpangan ekonomi yang makin luas. Hal ini bisa dilihat dari munculnya PHK massal yang terus melanda para pekerja ditambah dengan UMKM yang terpaksa gulung tikar.

Dampak kemiskinan di tengah masyarakat begitu sangat kentara dan terus meningkat. Misalnya tingginya angka stunting. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak para orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka. Para kepala keluarga mengalami tingkat stres yang tinggi akibat tak lagi memiliki pekerjaan karena PHK.

Beban ekonomi keluarga semakin tinggi sedangkan di sisi lain penghasilan malah kian menurun bahkan bisa jadi tidak ada penghasilan sama sekali. Hal ini jelas menyebabkan konflik sosial ataupun tindakan kriminalitas. Semisal penipuan, perampokan, pembegalan, pencurian dan sebagainya.

Buruknya kondisi ekonomi menjadikan kaum ibu harus bekerja membantu ekonomi keluarga yang terkadang berdampak menelantarkan anak-anak. Begitu berat beban menjadi seorang ibu zaman now. Hal ini tak jarang menjadikan ibu mengalami tekanan mental yang bermuara pada ketidak-harmonisan hubungan keluarga. Kondisi ini sangat rentan melahirkan konflik keluarga, semisal KDRT bahkan tindkan  pembunuhan dengan beragam perilaku yang sadis di luar batas kemanusiaan.

Bansos dengan segala bentuk yang direalisasikan pemerintah selama ini belum signifikan dan bisa dikatakan sangat jauh dari cukup. Dalam pendistribusian pun kurang bahkan tidak efektif. Secara teknis sering kali bermasalah dan salah sasaran. Dari segi kuantitas, besaran bantuan pun tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

Selain itu kualitas bantuan non tunai semisal beras, terkadang sangat tidak layak. Besarnya bansos tunai pun, tak mampu mencukupi kebutuhan hidup. Sehingga langkah ini masih sangat jauh dijadikan sebagai langkah strategis dan solusi mengatasi problematika kemiskinan.

Angka kemiskinan sebesar 9,03% tampaknya masih perlu dikaji secara proporsional karena indikasi di lapangan masih terdapat ketidak-sesuaian di tengah masyarakat. Realita menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam ketidak-mampuan terkait pemenuhan kebutuhan hidup secara layak. Dari fakta ini, standar angka dan pengukuran garis kemiskinan terbukti tidak sesuai realita dan tidak selaras pula dengan kesejahteraan rakyat.

Data BPS menunjukkan angka kemiskinan sebesar 9,03%. Hal itu menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp601.871 per bulan per kapita. Artinya, jika ada orang yang mengeluarkan uang di atas angka tersebut per bulannya, ia bukan termasuk kategori miskin. Padahal, kebutuhan hidup di negeri ini semakin tidak terjangkau.

Harga kebutuhan pangan dan transportasi terus merangkak naik, biaya pendidikan dan kesehatan juga semakin mahal. Begitu pun dengan biaya rumah tinggal, terus naik. Inilah realita ekonomi rakyat saat ini – jumlah pengeluaran secara ekonomi lebih besar dari penghasilan yang mereka peroleh.

Demokrasi kapitalisme selalu menggunakan permainan angka-angka atau menggunakan angka sebagai standar dalam mengukur sesuatu, sesuai kepentingan para penguasa semisal mengukur angka kemiskinan, angka ketimpangan bahkan kesejahteraan agar penguasa terlihat mampu memberikan solusi di tengah rakyat.

Padahal tidak jarang angka-angka tersebut hanya sebagai sebuah strategi pencitraan semata agar kekuasaan tetap mendapat dukungan rakyat. Hal ini lazim terjadi dalam sebuah negara yang mengusung kapitalime dan menjadi tradisi dari rezim ke rezim.

Dalam Islam, angka hanya sebagai alat bantu (tool) untuk menyelesaikan persoalan bukan sebagai upaya pencitraan. Penguasa atau pemimpin dalam Islam benar-benar amanah mengurus rakyat. Penguasa atau pemimpin dalam islam memiliki nilai nilai transendental ketakwaan dan visi akhirat sehingga mampu berbuat maksimal dan fokus mencari cara dan strategi bagaimana mensejahterakan rakyat.

Negara dalam konsep Islam memastikan bahwa kebutuhan primer rakyat baik sandang, pangan, dan papan terpenuhi secara maksimal. Bukan dengan kebijqkan membagi-bagikan sembako gratis ala kapitalisme yang tidak disadari memunculkan sifat malas rakyat  melainkan dengan sistem dan mekanisme integral untuk bisa mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.

Salasatu misalnya dengan menyediakan lapangan kerja yang luas dengan gaji layak sehingga setiap kepala keluarga mampu memberi nafkah yang layak bagi keluarga. Negara dalam konsep Islam memberlakukan zakat mal dan mendistribusikan secara benar untuk orang-orang yang berhak mendapatkannya.

Dengan demikian si kaya dan si miskin saling bantu dan ketimpangan ekonomi tidak lagi terjadi.

Islam mengatur kepemimpinan harta. Harta kepemilikan umum dikelola negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Harta kepemilikan negara pun demikian sehingga negara mudah membangun infrastruktur yang memadai bagi rakyat. Fasilitas pendidikan, transportasi, komunikasi, rumah sakit dan beragam fasilitas lainnya mampu diciptakan demi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, Islam mampu memberi solusi terhadap problematika dan persoalan kemiskinan nasional bahkan mewujudkan kesejahteraan global secara hakiki.[]

Comment