Anhy Hamasah Al Mustanir*: Pendidikan Di Indonesia Makin Memprihatinkan, Benarkah?

Opini824 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Diakui atau tidak, dunia pendidikan di Tanah Air terus menimbun berbagai masalah. Meski telah berganti kurikulum, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari sejumlah permasalahan klasik; baik menyangkut kualitas, daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan, budi pekerti para siswa, minimnya anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah, hingga minat belajar para siswa. Semuanya masih saja memprihatinkan.

Soal kualitas, sistem pendidikan di Indonesia terbilang rendah. Menurut Survei Political And Economic Risk Consultan (PERC),kualitas pendidikan di indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia, posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.

Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),Indonesia memiliki daya saing yang rendah,yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.(kompasiana.com).

Jangankan untuk mendapat sekolah yang bermutu, harapan untuk mendapat pendidikan saja menipis seiring krisis ekonomi di Tanah Air.

Menurut data yang ditulis Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) seperti dikutip laman tempo.co, jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332.(Tempo.co)

TNP2K mengungkap bahwa konsentrasi terbesar dari anak Indonesia yang tidak bersekolah atau putus sekolah berada di Provinsi Jawa Barat dengan angka 958,599 anak. Disusul oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing di angka 677,642 dan 609,131 anak. Menurut studi yang dilakukan Yayasan Sayangi Tunas Cilik (STC), ada berbagai alasan yang mendasari kondisi putus sekolah anak Indonesia. Dua penyebab terbesar adalah kemiskinan dan pernikahan dini.( Tempo.co)

Sementara itu, mereka yang mampu bersekolah pun belum tentu mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sebagaimana didasarkan pada Permendikbud nomor 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi. Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang di tetapkan. Sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing.

Dalam hal ini, peserta didik tidak bisa memilih sekolah yang kualitasnya lebih bagus dari tempat tinggalnya jika masih ada sekolah di daerahnya. Kalaupun memaksakan calon peserta didik harus membuat rekomendasi dari aparat pemerintah desa/kelurahan bahwa calon peserta didik tersebut menumpang tinggal pada sanak keluarganya.

Begitu pula pernyataan dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI mengatakan bahwa Perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia dinilai tidak memenuhi syarat untuk masuk ke dalam klasifikasi World Class University, karena terlalu fokus pada peningkatan kuantitas mahasiswa ketimbang kualitas pendidikan.

Bahkan sepanjang tahun 2019,Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menutup 243 perguruan tinggi swasta atau PTS di Tanah Air.

Kampus itu, kata Nasir usai menjadi pembicara utama pada sidang paripurna majelis senat akademi PTNBN 2019 di Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara di Medan seperti ditulis laman Antara (18/2/2020) dianggap bermasalah dan tidak mematuhi peraturan. Izin operasional PTS itu dibekukan sehingga lembaga pendidikan tersebut tidak dibenarkan lagi menerima mahasiswa baru,

Adapun alasan utama mencabut izin PTS itu setelah melakukan berbagai pertimbangan dan kajian bahwa kampus tersebut tidak mungkin lagi dipertahankan.

Selain itu, penyebab rendahnya mutu pendidikan di indonesia antara lain adalah masalah efektivitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran, di samping selain kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang membuat pendidikan semakin mundur.

Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Para pendidik hanya memaksakan anak untuk menguasai seluruh materi yang dikurikulumkan, tanpa mempertimbangkan apakah materi tersebut sesuai potensinya ataukah tidak sama sekali.

Di sisi lain, minoritas peserta didik sama sekali tidak memiliki cita – cita untuk menjadi apa nantinya. Meskipun ada yang punya namun semua itu masih mengambang. Sehingga mereka belajar pun terasa ngambang pula dan tidak memiliki arah bahkan tujuan yang jelas. Bagi mereka yang penting sekolah.

Para pendidik pun demikian, tidak mengarahkan anak untuk mewujudkan cita- citanya namun lebih cenderung bagaimana caranya peserta didiknya bisa menghapal semua materi pelajaran.

Selain itu pula, kurikulum 2013 yang terlalu menekankan kegiatan interaktif di kelas ternyata mempunyai halangan saat di lapangan karena tidak semua sekolah mampu menyediakan fasilitas yang bisa menunjang kegiatan tersebut.

Hal lain yang mengindikasikan ketidakberesan pendidikan nasional adalah kualitas budi pekerti siswa yang memprihatinkan.

Kejadian tawuran, curas (pencurian dengan kekerasan), dan pergaulan bebas, bullying terus terjadi berulang-ulang setiap tahunnya.

Dalam soal tawuran, menurut data yang direkam Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat mencatat, kasus kejahatan jalanan dari 2018 hingga Februari 2019 berjumlah 141 dengan sebagian besar adalah tawuran.

Pelakunya adalah anak-anak di bawah umur, ada anak SD, SMP dan SMA,” kata Hengki di Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Kamis, 14 Maret 2019.

Sungguh sangat disayangkan karena pelaku sudah ada dari kalangan anak SD tetapi yang lebih memprihatinkan adalah bahwa pelajar sudah berani melakukan aksi semisal penodongan hingga pembajakan kendaraan pribadi(motor) maupun umum (bus dan angkot), merampok penumpang atau istilah populernya begal, dan mereka tidak segan-segan melukai korbannya.

Kondisi demikian sepatutnya membuat kita mengurut dada, prihatin. Bukankah pendidikan itu merupakan sokoguru pembangunan dan keberhasilan suatu umat?

Bila anak-anak dan para pemuda Muslim tidak mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dibayangkan, generasi macam apa yang akan muncul di masa mendatang. Suram. Lalu, apakah Islam mampu memberikan solusi bagi dunia pendidikan? Apa yang harus dilakukan umat?

Menuntut Ilmu Adalah Kewajiban

Mencari Ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. (HR. Ibnu Adi dan Baihaqi).

Sabda Rasulullah saw. di atas menggambarkan bahwa umat Muslim adalah umat yang mencintai ilmu pengetahuan. Banyak nash Alquran maupun Hadis Nabi menyebutkan keutamaan mencari ilmu dan orang-orang yang berilmu. Allah Swt. antara lain berfirman:

Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. (TQS al-Mujadalah: 11).

Terkait hal ini, Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya menuju surga. (HR Muslim dan at-Turmudzi).

Kata ilman pada hadis di atas bersifat nakîrah (umum), artinya mencakup segala macam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak ada larangan dalam Islam untuk mempelajari pengetahuan apapun selama tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah.

Ada perbedaan nyata antara motivasi seorang Muslim dan non-Muslim dalam mencari ilmu. Dada seorang Muslim dalam mencari ilmu adalah dorongan ruhiyah, bukan untuk mengejar duniawi semata. Seorang Muslim giat belajar karena terdorong oleh keimanannya bahwa Allah sangat cinta dan memuliakan orang-orang yang mencari ilmu dan berilmu.

Hal inilah yang tampak jelas pada kehidupan generasi para sahabat dan tabiin serta tabi at-tabiin. Ketika Imam Syafii rahimahullah ditanya orang mengenai ikhtiarnya dalam mencari ilmu, ia menjawab,

Seperti seorang perempuan yang kehilangan anaknya, padahal ia tidak mempunyai anak selainnya. (K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab).

Dengan demikian, seorang Muslim yang tidak meluangkan waktunya untuk mencari ilmu telah berdosa dan telah menutup diri dari kemuliaan yang akan dilimpahkan Allah kepadanya.

Pertanyaannya, bila pendidikan menjadi wajib lalu sejauh mana peran pemerintah dalam menyukseskan program wajib belajar ini?

Pemerintah Wajib Menyelenggarakan Pendidikan

Dalam Islam, pendidikan menempati hukum wajib serta diakui sebagai kebutuhan pokok (primer) setiap Muslim dan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, upaya menghalangi seorang Muslim untuk mendapatkan pendidikan yang layak adalah tindakan kemungkaran.

Dalam hal ini, Islam telah memberikan solusi yang jelas dan tepat: mewajibkan negara berperan serta secara penuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Bahkan, negara harus memberikannya secara cuma-cuma dengan tanpa mengabaikan kualitas.

Kebijakan ini telah diambil oleh Rasulullah saw. dan al-Khulafa ar-Rasyidun serta para khalifah berikutnya. Rasulullah saw. telah menjadikan mengajar baca-tulis bagi 10 orang penduduk Madinah sebagai syarat pembebasan bagi setiap tawanan Perang Badar.

Ini menjadi dalil bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis bagi warga, karena lazimnya harta tebusan tawanan perang adalah milik Baitul Mal.

Dalam hal ini, ternyata Rasulullah saw. menjadikannya sebagai anggaran bagi pendidikan masyarakat. Hal serupa dilakukan pula pada masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a.

Beliau menugaskan tiga orang guru untuk mengajar penduduk kota Madinah baca-tulis, dengan gaji setiap orangnya 15 dinar setiap bulan (1 dinar=4,25 gram emas).

Amat kontras dengan sistem pendidikan yang kini berlaku, negara justru menjual pendidikan kepada warganya. Apalagi setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, dunia pendidikan juga mengalami imbas yang kian negatif.

Mereka harus lebih banyak berusaha untuk menghidupi jalannya roda pendidikan. Akibatnya, hampir semua PTN di Tanah Air serempak menaikkan SPP mahasiswa. Semua dilakukan tidak lain untuk bertahan menjalankan penyelenggaraan pendidikan.

Sementara itu, penghargaan yang diberikan kepada para tenaga pengajar, mulai di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, masih jauh dari layak. Seorang beberapa guru honorer di bebarapa sekolah negeri yang telah mengabdi selama beberapa tahun hanya berpenghasilan 300 ribu rupiah perbulan bahkan yang terbaru guru honorer di anggap sebagai beban negara.

Bandingkan dengan penghasilan para artis yang sekali teken kontrak iklan ataupun konser bisa meraup puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah!

Sementara itu, sistem pendidikan Indonesia secara nyata juga telah mengarahkan para pelajar menjadi sekularis ketimbang seorang Muslim yang kaffah. Porsi mata pelajaran agama yang minim dan monoton adalah gambaran sekularnya program pendidikan di Tanah Air.

Tidak mengherankan jika akhlak para pelajar terbilang jauh dari mulia. Pendidikan dalam sistem kapitalisme juga mengarahkan para pelajar hanya diorientasikan untuk mengisi dunia kerja. Mereka disiapkan untuk menjadi sekrup dan baut dalam mesin industri.

Sekilas Pendidikan pada Massa Kekhilafahan Islam

Al-Khulafa ar-Rasyidun dan khalifah setelah mereka dikenal sebagai negarawan yang amat menghargai orang-orang yang berilmu. Pada masa al-Makmun (dari Bani Abbasiyah), misalnya, berdiri lembaga ilmiah pertama di dunia yang dinamakan Darul Hikmah.

Lembaga ilmiah yang kedua, yang diberi nama dengan Lembaga Ilmiah an-Nizhamiah, didirikan. Tiga abad berikutnya, di kota Baghdad didirikan pula lembaga pendidikan lain bernama Al-Mustansiriyah.

Lembaga ini dibangun oleh Khalifah al-Mustansir al-Abasi pada tahun 640 H. Lembaga ini memiliki keistimewaan dengan adanya rumah sakit untuk mata kuliah kedokteran.

Lembaga-lembaga pendidikan tinggi lainnya juga banyak tersebar di negeri-negeri Islam. Nama-nama yang masyhur dalam sejarah Islam dijumpai di kawasan Siria, Mesir, Baghdad, Mosul, Damaskus, dan daerah lainnya. Di Siria terdapat nama-nama ar-Rasyidiyah, al-Aminiyah, at-Tarkhaniyah, al-Khatuniyah, dan as-Syarifiyah. Di Mesir terdapat an-Nasiriyah dan as-Salahiyah.

Tidak lama setelah itu, juga dibangun perguruan tinggi terkenal, al-Azhar. Model lembaga pendidikan terpadu seperti Nizhamiah diikuti dengan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan sejenis di kota-kota lain. Di Baghdad saja akhirnya terdapat 30 buah lembaga pendidikan sejenis Nizhamiah; di Damaskus 20 buah; di Iskandariyah, wilayah Mesir, 30 buah; dan di Mosul 6 buah. Hal yang sama bisa dijumpai di kota-kota seperti Kairo, Nishapur, Samarkand, Isfahan, Merv, Bulkh (Bactres), Aleppo, Ghazni, Lahore dan yang lainnya.

Di kawasan Andalusia, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Islam, juga dibangun banyak perguruan tinggi terkenal seperti Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, Granada, dan yang lainnya.

Orang-orang Eropa yang pertama kali belajar sains dan ilmu pengetahuan banyak tertarik untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia. Pada gilirannya, lahirlah kemudian murid-murid yang menjadi para pemikir dan filosof terkenal Eropa.

Sejak itu, dimulailah zaman Renaissance-nya Eropa. Perguruan tinggi Oxford dan Cambridge di Inggris merupakan tiruan dari lembaga pendidikan di daerah Andalusia yang menggabungkan pendidikan, pusat riset, dan perpustakaan.

Di samping lembaga pendidikan, sepanjang sejarahnya, Negara Islam menaruh kepedulian yang luar biasa terhadap keberadaan perpustakaan dan menganggapnya sebagai sarana umum yang harus disediakan bagi kepentingan rakyatnya.

Di antara banyaknya perpustakaan, yang ternama di masa pemerintahan Islam antara lain adalah Perpustakaan Mosul; didirikan oleh Jafar ibn Muhammad (wafat tahun 940 M).

Para pelajar dan ulama yang mengunjungi perpustakaan ini dapat membaca dan menyalin berbagai manuskrip yang tersedia. Kertas dan alat tulis dapat diperoleh tanpa dipungut biaya. Di perpustakaan lainnya bahkan disediakan tunjangan bagi para pengunjung perpustakaan yang secara regular mendatanginya.

Pinjaman-pinjaman buku maupun manuskrip ke luar perpustakaan adalah hal lazim saat itu. Salah seorang ulama, Yakut ar-Rumi, pernah memuji para petugas perpustakaan di kota Merv, karena mereka mengizinkannya meminjam dan membawa sebanyak 200 buku, tanpa jaminan apa pun!

Di Andalusia terdapat sekitar 20 perpustakaan umum. Di antaranya, yang terkenal, adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang pada abad ke-10 M saja telah mempunyai koleksi 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran pada zaman itu. Menurut Catholique Encyclopedia,

Perpustakaan Gereja Canterbury yang terbilang perpustakaan Masehi yang paling lengkap saat itu, hanya memiliki 1800 judul buku. Itu pada abad ke-14 M. Jumlah itu belum seberapa jika dibandingkan dengan Perpustakaan Darul Hikmah, Kairo, yang terkenal itu, yang memiliki koleksi 2 (dua) juta judul buku.

Perpustakaan Umum Tripoli di daerah Syam, yang dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, memiliki kurang-lebih 3 (tiga) juta judul buku, termasuk 50.000 eksemplar al-Quran dan tafsirnya.

Perpustakaan al-Hakim di Andalusia menyimpan buku-bukunya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangnya berisi sekitar 18.000 judul buku.

Perpustakaan-perpustakaan umum sejenis itu tersebar luas di seluruh wilayah Daulah Islam; baik di kota Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (dikenal juga sebagai kota Raghes, tempat lahirnya Khalifah Harun al-Rasyid dan Zakaria ar-Razi, seorang cendekiawan, dan Fakhruddin ar-Razi, yakni ahli tafsir terkenal), Merv (di daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan lain-lain.

Di samping itu, setiap masjid besar pasti memiliki perpustakaan tersendiri yang terbuka untuk umum.

Sedemikian bermanfaatnya perpustakaan-perpustakaan itu hingga banyak cendekiawan Muslim menapaki karirnya sebagai ulama dari pengawas atau penjaga perpustakaan.

Di situlah dimulainya penerjemahan buku-buku yang dilanjutkan dengan kajian dan pengembangan atas buku-buku tersebut. Tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, Ibn Maskawayh, Asy-Syabusti, dan lain-lain mewakili cendekiawan Muslim yang awalnya bekerja sebagai penjaga dan pengawas perpustakaan.

Fasilitas lain yang menonjol adalah tempat penginapan bagi para guru dan pelajar. Tempat-tempat ini dikenal dengan berbagai sebutan, ruaq, rubath, atau tikiyah. Mereka yang tinggal di tempat-tempat pemondokan tidak dipungut biaya sedikit pun.

Bahkan, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang memperoleh tunjangan dari negara karena kesungguhannya dalam belajar maupun melakukan riset.

Khalifah al-Makmun, misalnya, memberikan imbalan kepada setiap penerjemah buku dengan emas seberat buku yang diterjemahkannya. Khalifah Harun al-Rasyid memberikan imbalan 4000 dinar emas kepada setiap penghafal Alquran.

Untuk keperluan itu, para khalifah membentuk komisi khusus yang terdiri dari para ahli untuk mengkaji suatu ilmu tertentu: ekonomi, geografi, matematika, dan sebagainya.[]

Comment